Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyoal Kenaikan Angka Perceraian di Indonesia

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian mencapai 516.344 kasus pada 2022, meningkat sekitar 15,31 persen dibanding 2021 sebanyak 447.743 kasus.

Selain itu, mayoritas kasus perceraian merupakan cerai gugat, yaitu perkara yang gugatan cerainya diajukan oleh pihak istri yang telah diputus oleh pengadilan. Pada 2022, jumlahnya sebanyak 388.358 kasus atau sekitar 75,21 persen total kasus perceraian di Indonesia.

Sedangkan sisanya sebanyak 127.986 kasus atau 24,78 persen perceraian terjadi karena cerai talak, yaitu perkara yang permohonan cerainya diajukan oleh pihak suami. (BPS, 2022)

Meningkatnya angka perceraian setiap tahunnya justru berbanding terbalik dengan penurunan angka perkawinan.

Data BPS 2022, terdapat 1,7 juta perkawinan yang tercatat di Indonesia. Jumlah ini mengalami penurunan sekitar 2,1 persen dibandingkan 2021, yaitu 1,74 juta perkawinan.

Selain itu, angka perkawinan nasional pada 2022 menjadi yang terendah dalam satu dekade terakhir.

Tentu saja ini perlu menjadi perhatian semua pihak, bagaimana institusi keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sedang mengalami masalah cukup serius dengan meningkatnya angka perceraian setiap tahunnya.

Penyebab perceraian

Ada banyak faktor yang menyebabkan pasangan suami istri mengakhiri perkawinan dengan perceraian.

Namun setidaknya menurut Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.

Lebih lanjut alasan perceraian diatur secara limitatif dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP 9/75), perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-asalan, yaitu:

  1. suami/isteri melakukan zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan perbuatan lainnya yang sukar disembuhkan;
  2. meninggalkan pasangan selama 2 tahun berturut-turut;
  3. suami/isteri mendapat hukum penjara 5 tahun atau lebih;
  4. pasangan melakukan kekejaman atau penganiayaan berat;
  5. suami/isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang membuat tidak bisa melaksanakan kewajibannya; dan
  6. terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran.

Selain itu, alasan perceraian juga dinyatakan secara tegas dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), enam di antaranya seperti yang telah disebutkan dalam UU Perkawinan di atas.

Ditambah dua poin lain, yaitu: suami melanggar taklik talak; dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Di Indonesia setidaknya ada lima faktor tertinggi penyebab perceraian, yaitu perselisihan dan pertengkaran, ekonomi, meninggalkan salah satu pihak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan mabuk (Databoks.katadata.co.id, 2023).

Faktor lainnya dilatarbelakangi alasan lain, yaitu murtad, dihukum penjara, poligami, zina, madat, dan lainnya.

Pada 2022, menurut catatan BPS, penyebab perceraian karena perselisihan dan pertengkaran jumlahnya sebanyak 284.169 kasus atau sekitar 63,41 persen total faktor penyebab perceraian yang terjadi di Indonesia.

Perselisihan atau pertengkaran (Pasal 19 huruf f PP 9/75) menjadi alasan paling sering dan umum digunakan dalam mengajukan gugatan/permohonan perceraian.

Hal itu karena pertengkaran atau perselisihan yang dialami oleh suami dan istri sifatnya sangat subjektif dan beban pembuktian pada persidangan untuk kasus perceraian dengan menggunakan dasar hukum Pasal 19 huruf (f) yang tidak terlalu sulit untuk dibuktikan.

Pasal 22 ayat (2) PP 9/75 menyebutkan:

“Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami istri itu.”

Saat proses pembuktian, Penggugat/Pemohon cukup dengan mengajukan bukti surat dan dua orang saksi yang dapat menerangkan tentang alasan perceraian berupa perselisihan dan pertengkaran.

Sedangkan perselisihan dan pertengkaran dalam kehidupan perkawinan tidak selalu dinilai dengan pertengkaran hebat yang kasat mata.

Silent treatment atau mendiamkan pasangan yang menyebabkan pisah ranjang/pisah rumah dalam beberapa waktu, masalah komunikasi yang kecil dan sering memantik pertengkaran, adanya orang ketiga dalam perkawinan, relasi dengan keluarga pihak suami/istri dan mertua yang tidak harmonis, maupun masalah ekonomi yang berujung sering cekcok, sering dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan perceraian menggunakan Pasal 19 huruf (f) tersebut dalam posita.

Ketentuan dalam poin tersebut tidak meminta kejelasan mengenai siapa pemicu dan apa penyebab perselisihan/pertengkaran.

Hal ini berbeda jika gugatan menggunakan alasan perceraian lain. Misal, jika menggunakan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut (Pasal 19 huruf b).

Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 21 ayat (3) PP 9/75, yaitu gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Selanjutnya dalam Pasal 23 PP 9/75, gugatan perceraian karena alasan salah satu pihak mendapat hukum penjara lima tahun atau lebih (Pasal 19 huruf c), Pemohon/Penggugat harus menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagai bukti.

Sedangkan perceraian dengan alasan zina diatur dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Sebagaimana telah diubah tentang Peradilan Agama, yaitu apabila Pemohon/Penggugat tidak dapat melengkapi bukti dan Termohon/Tergugat menyanggah alasan tersebut dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari Pemohon/Penggugat maupun dari Termohon/Tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh Pemohon/Penggugat untuk bersumpah.

Dengan demikian, banyaknya Penggugat/Pemohon yang menggunakan alasan perselisihan atau pertengkaran sebagai alasan perceraian dalam gugatan karena dianggap lebih mudah untuk dibuktikan dan diputus oleh Majelis Hakim meskipun pertengkaran/perselisihan tersebut hanya sebagai akibat hukum, bukan sebagai alasan yang berdiri tunggal.

Menekan angka perceraian

Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menekan angka perceraian. Seperti yang telah dilakukan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dengan mengadakan bimbingan perkawinan pra-nikah bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan.

Selain itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) juga menginisiasi kelas orangtua hebat untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan orangtua dalam pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak yang diselenggarakan secara virtual.

Namun sampai saat ini antusiasme para calon pengantin untuk mengikuti bimbingan perkawinan pranikah maupun para orangtua untuk mengikuti kelas orangtua hebat masih sangat rendah sehingga upaya tersebut belum bisa membuat angka perceraian menurun.

Dalam sistem hukum acara peradilan agama, di satu sisi peradilan agama menganut asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana tercantum dalam Pasal 57 ayat (3) UU Peradilan Agama.

Sedangkan di sisi lain, dalam Penjelasan Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang Perkawinan menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Tentu dua hal tersebut seakan bertolak belakang.

Apalagi menurut data Badan Peradilan Agama (Badilag) menyebutkan, seringnya untuk kasus perceraian didominasi oleh putusan tanpa kehadiran tergugat (putusan verstek).

Dalam praktiknya, sidang gugatan cerai pada kasus putusan verstek memakan waktu kurang dari satu bulan sejak perkara didaftarkan.

Biasanya minggu pertama untuk panggilan para pihak, apabila pihak tergugat tidak hadir meski sudah dipanggil secara patut, maka akan dipanggil sekali lagi untuk sidang berikutnya.

Apabila pada panggilan kedua tergugat tidak hadir juga, maka agenda selanjutnya langsung masuk pokok perkara.

Bahkan jika bukti-bukti dan saksi-saksi sudah dipersiapkan, maka putusan bisa langsung dibacakan majelis hakim pada hari itu juga dengan putusan verstek. Akta cerai kemudian bisa diambil paling lama 60 (enam puluh) hari setelah putusan.

Sedikit berbeda jika permohonan cerai yang diajukan oleh pihak suami. Apabila putusan dijatuhkan secara verstek, maka masih ada panggilan sekali lagi untuk ikrar talak.

Hal tersebut yang menjadi salah satu faktor angka cerai gugat selalu lebih tinggi dari cerai talak.

Banyak yang menganggap bahwa prosedur cerai gugat lebih mudah dan cepat selesai. Selain karena faktor lain, yaitu keengganan pihak suami untuk membayar kewajiban yang timbul akibat adanya cerai talak, yaitu nafkah iddah, nafkah mut’ah, nafkah anak, dan tuntutan lain.

Upaya sistem peradilan dengan mewajibkan para pihak yang berperkara untuk menempuh prosedur mediasi sebelum hakim memeriksa pokok perkara sebagaimana berdasarkan PERMA RI Nomor 1 Tahun 2016 sulit terwujud apabila salah satu pihak tidak hadir, dalam hal ini tentunya pihak tergugat.

Padahal, mediasi di pengadilan diharapkan dapat menjadi upaya penyelesaian sengketa sebelum masuk pokok perkara dan proses litigasi.

Namun dengan banyaknya putusan verstek yang mendominasi putusan kasus perceraian di Indonesia, mediasi di pengadilan ternyata belum efektif.

Selain itu, meskipun para pihak hadir dan terjadi mediasi di pengadilan, presentase jumlah keberhasilannya hanya sekitar 4 persen-15 persen di tiap pengadilan agama.

Membandingkan dengan sistem mediasi di negara lain, salah satunya Jepang yang merupakan negara dengan tingkat keberhasilan mediasi yang tinggi.

Di Jepang mediasi terbagi dua, yaitu chotei (mediasi yang dilakukan para pihak sebelum perkara di daftarkan ke pengadilan) dan wakai (mediasi yang dilakukan para pihak setelah perkara didaftarkan ke pengadilan).

Dalam perkara perdata keluarga, chotei bersifat wajib sehingga perkara perdata keluarga tidak boleh diajukan ke Family Court sebelum dilakukan proses chotei. Jika chotei tidak berhasil, maka perkara tersebut didaftarkan ke Family Court dan di sana terlebih dahulu dilakukan proses wakai sebelum hakim memeriksa pokok perkara (A. Hartawati, 2019).

Di Indonesia, PERMA RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mengadopsi sistem wakai di Jepang. Namun sampai sejauh ini mediasi belum cukup efektif sehingga penumpukan perkara di pengadilan dan meningkatnya angka perceraian di Indonesia sulit dihindarkan.

Mediasi yang dilakukan di luar pengadilan seperti mediasi oleh keluarga dari kedua belah pihak juga tidak dapat diukur tingkat keberhasilannya.

Selain itu, kesadaran personal masyarakat dalam memandang pernikahan sebagai ikatan yang sakral semakin bergeser sehingga perlu ditingkatkan lagi melalui peranan agama sebagai pedoman hidup.

Kurangnya memahami peran suami dan peran istri dalam kehidupan berumah tangga juga menjadikan pernikahan menjadi minim tanggung jawab.

Di era gempuran media sosial seperti saat ini di mana informasi positif maupun informasi negatif begitu mudah diakses, sehingga sedikit saja berita tentang perceraian maupun keretakan rumah tangga di masyarakat mencuat, banyak membuat anak muda akhirnya ketakutan untuk menikah.

Meningkatnya gaya hidup materialis yang memandang pernikahan sebagai suatu hal yang memberikan manfaat atau tidak membuat banyak orang yang berumah tangga melihat pernikahan hanya dari sisi keuntungan semata, sehingga apabila pernikahan dianggap tidak memberikan banyak keuntungan pribadi, maka perceraian dianggap sebagai solusi.

https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2023/12/31/070435480/menyoal-kenaikan-angka-perceraian-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke