Kupas tuntas dan jelas perkara hukum
Ajukan pertanyaan tanpa ragu di konsultasi hukum Kompas.com
Praktik pembagian harta waris di masyarakat tak selamanya berlangsung secara damai. Dalam proses tersebut, tak jarang terjadi sengketa hukum di antara ahli waris dan bahkan dapat berujung di pengadilan.
Sengketa yang terjadi di antaranya bersumber dari penjualan rumah warisan tanpa persetujuan seluruh ahli waris.
Terdapat penolakan dari salah satu ahli waris --dengan berbagai dasar pembenar tentunya-- yang menyebabkan ahli waris lainnya merasa dirugikan sehingga melakukan penjualan sepihak.
Untuk itu, menarik diketahui bagaimana tinjauan hukum terhadap penjualan rumah waris yang dilakukan tanpa persetujuan seluruh ahli waris?
Selain membicarakan tentang harta waris, hal yang tak kalah penting untuk diperjelas apabila seseorang meninggal dunia adalah siapa ahli warisnya.
Baca juga: Berencana Membeli Rumah, Ini Ketentuan Hukum yang Perlu Diketahui
Menurut hukum, keberadaan ahli waris menjadi penting mengingat segala bentuk hak atas harta waris, tidak terbatas pada hak atas bidang tanah, yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia akan beralih kepada ahli waris.
Untuk itu, setiap dan segala tindakan hukum terhadap harta waris hanya sah secara hukum apabila dilakukan oleh seluruh ahli waris.
Tentunya dengan catatan bahwa tidak terdapat penolakan sebagai ahli waris, di mana hal ini dimungkinkan menurut hukum.
Peralihan hak dari almarhum kepada ahli waris ini merujuk Pasal 833 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.
Sebagai ilustrasi, apabila ahli waris terdiri dari tiga orang, maka tindakan hukum terhadap harta warisan, termasuk penjualan rumah warisan, harus disetujui oleh seluruh ahli waris tersebut.
Tidak adanya persetujuan dari salah satu ahli waris akan menimbulkan konsekuensi hukum.
Undang-undang telah memberikan persyaratan yang harus dipenuhi dalam membuat perjanjian, termasuk perjanjian jual beli rumah, agar terpenuhi keabsahannya secara hukum.
Secara umum syarat sahnya perjanjian termuat pada Pasal 1320 KUH Perdata.
Pertama adalah syarat subjektif, yakni kesepakatan dan kecakapan para pihak. Kedua adalah syarat objektif, yakni adanya objek yang jelas dan kausa yang halal.
Baca juga: Apakah Pindah Kewarganegaraan Masih Berhak Warisan Orangtua?