“Dampak ketidakpastian yang bisa kita rasakan secara langsung adalah harga minyak dunia,” ucapnya.
“Namun, ini tidak akan berlangsung lama karena ya akan ada spike, tapi spike-nya mungkin paling lama sebulan sampai dua bulan.”
Meski demikian, Fithra tak menutup kemungkinan kondisi tiba-tiba memburuk karena salah satu pihak “menarik pelatuk” dengan melancarkan serangan lebih lanjut.
Baca juga: Menlu Inggris David Cameron Yakin Israel Akan Balas Serangan Iran
Jika kemungkinan buruk terjadi dan perang pecah, Fithra khawatir harga minyak dunia akan naik.
“Kalau sudah seperti itu, maka kalau kita lihat dampak secara globalnya, pastinya harga minyak dunia akan di atas 100 dollar AS per barel,” ucap Fithra.
Iran memang masuk daftar 10 besar penghasil minyak terbesar dunia. Negara itu juga berada di Timur Tengah, kawasan yang kaya minyak.
Namun, menurut Fithra, harga minyak bakal naik bukan karena pasokannya berkurang akibat perang, tapi lantaran jalur perdagangannya yang terganggu.
Di selatan Iran, membentang Selat Hormuz yang merupakan jalur perdagangan minyak terpenting dunia. Sekitar seperlima produksi minyak global mondar-mandir Selat Hormuz setiap harinya.
Merujuk pada data Badan Informasi Energi Amerika Serikat, pada 2018 saja distribusi minyak melalui Selat Hormuz mencapai 21 juta barel per hari. Angka ini setara sekitar 21 persen konsumsi minyak global.
Baca juga: Pujian China untuk Iran, Disampaikan Menlu Lewat Telepon
Fithra memaparkan bahwa jika skenario itu terjadi, Indonesia sebagai negara importir minyak akan terkena imbasnya. Harga bahan bakar minyak (BBM) bakal meroket, yang kemudian diikuti dengan kenaikan harga komoditas lainnya.
“Dampak langsungnya bagi Indonesia adalah kalau pemerintah ingin mempertahankan harga BBM di level yang sekarang, maka beban subsidi BBM-nya itu pasti akan besar sekali,” tutur Fithra.
Berdasarkan perhitungan Fithra, pemerintah harus menambah anggaran untuk subsidi BBM hingga Rp 50 triliun-Rp 110 triliun.
Dengan proyeksi ini, pengeluaran pemerintah akan lebih besar ketimbang pendapatan dari pajak. Kondisi ini dikenal dengan istilah defisit fiskal.
“Kalau sudah Rp 50 triliun-Rp 100 triliun, artinya beban fiskal atau defisit fiskal yang sebelumnya APBN 2024 antara 2,3 persen-2,4 persen, defisit fiskalnya bisa jadi 2,8 persen-2,9 persen,” jelasnya.
Akibatnya, nilai rupiah akan semakin turun. Saat ini saja, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sudah tembus Rp 16.000.
Lebih jauh, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, juga menyoroti kemungkinan dampak jika pemerintah nantinya harus menaikkan harga BBM non-subsidi, bahkan hingga tarif dasar listrik dan elpiji untuk mengimbangi ongkos subsidi.
Baca juga: Daftar Sanksi AS pada Iran yang Sudah Berlaku dan yang Akan Datang
BBM, listrik, dan gas merupakan komoditas penting dalam proses produksi yang dilakukan produsen. Jika tarif komoditas itu naik, maka biaya produksi juga bisa meningkat.
Produsen pun dapat membebankan kenaikan itu ke masyarakat dengan cara menaikkan harga barang yang mereka produksi.