Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita WNI Jadi Korban Penipuan Ferienjob di Jerman

Kompas.com - 31/03/2024, 22:46 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Penulis: Ayu Purwaningsih/DW Indonesia

BERLIN, KOMPAS.com - "Kami bekerja selama sebelas jam. Pulangnya sekitar jam 20.00 malam. Taksi untuk pulang tidak disediakan oleh agen pemberi kerja. Stasiun terdekat jaraknya, kalau berjalan kaki itu satu setengah jam."

"Kami berjalan kaki dalam gelap dan di tengah hujan dan dingin, suhunya 4 derajat Celsius, dan saya sedang datang bulan pada hari itu. Kami kelelahan. Sampai di penginapan tengah malam," tutur Ramayana Monica kepada DW.

Ia meminta maaf menghentikan wawancara sejenak untuk menyeka air matanya yang berlinang mengenang malam yang traumatis baginya itu.

Baca juga: Cerita WNI di Rusia soal Penembakan Konser Moskwa

Ramayana merupakan salah satu dari lebih seribu mahasiswa yang menjadi korban penipuan berkedok "magang" di Jerman, periode Oktober-Desember 2023.

Dua kali semasa di Jerman ia terancam diusir dari tempat penginapan karena agen penyalur kerja belum membayar ongkos penginapan.

Pernah pula perempuan asal Jambi dan dua kawan perempuan lainnya diinapkan di satu kamar berisi enam tempat tidur yang dihuni para pria.

"Tanggal 23 (Desember), kami dipindahkan ke sebuah apartemen di Bremen. Apartemen tersebut ternyata disewa satu kamar yang harus kami huni bersama laki-laki asing,” keluhnya kesal.

Ramayana juga bercerita ia sempat dipekerjakan untuk membantu renovasi apartemen di Bremen tanpa kontrak kerja. Dari rekaman video yang ia kirimkan tampak Ramayana mengelupas pelapis dinding.

"Kami juga membantu untuk mencopot papan di lantai apartemen, membuang semua material dari lantai tiga ke lantai satu. Naik turun sambil membawa material tersebut yang cukup berbahaya karena tajam, kami tidak punya sarung tangan dan barang-barangnya juga berat,” imbuhnya.

Dari korban penipuan berkedok "magang" di Jerman ini, hanya beberapa saja yang mau bersuara dengan identitas jelas. Beberapa korban lainnya mengaku waswas karena ancaman intimidasi berbagai pihak, termasuik tekanan dari rekan-rekan mahasiswa sendiri yang batal berangkat gara-gara mencuatnya kasus ini.

Ade (bukan nama sebenarnya) misalnya, yang pernah pingsan dua kali saat bekerja di bagian logistik pos di Jerman karena kelelahan mental dan fisik, mengaku kini ketakutan. Oleh karena itu ia tidak mau mengajukan gugatan.

Baca juga: Cerita WNI Asal Surabaya Ikut Garap Kung Fu Panda 4, Kerjakan Adegan Tersulit

"Saya sudah berada di semester akhir dan proses untuk kelulusan saya itu sudah dekat, sehingga saya menghindari konflik dengan pihak kampus, terutama yang mungkin akan berdampak pada kelulusan saya," ujarnya lirih dengan wajah yang tertutup masker dan kacamata hitam serta topi untuk menutupi identitasnya kala diwawancara DW via Zoom.

Berkali-kali ia dipindah kerja: "100 persen kerja fisik, mulai dari angkat barang seberat 0,5-30 kg, lalu dipindah lagi ke gastronomi, bersih-bersih dapur hingga WC," keluh Ade yang pingsan di hari pertama kerja.

"Baru sampai ke kota lokasi kerja, kami langsung diminta untuk tanda tangan kontrak dalam bahasa Jerman yang kami tidak mengerti, dan paginya sudah diminta untuk bekerja, itu tidak manusiawi karena saya sudah memohon untuk meminta waktu istirahat namun tidak diberikan dan mereka tetap menekankan bahwa waktu adalah uang," keluhnya.

Saat pingsan dan dibawa ke rumah sakit. dia sangat stres karena awalnya harus membayar sendiri, padahal uangnya pas-pasan. Untungnya Ade membawa berkas dokumen asuransi sehingga tidak perlu membayar.

"Selewat akhir pekan, di hari berikutnya bekerja dan pingsan lagi, tapi karena ingat betapa ribetnya administrasi di rumah sakit Jerman, saya putuskan tidak mau dibawa ke rumah sakit ketika pingsan untuk kedua kalinya."

Vincent Arianto Gunawan dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Bonn, pernah bertemu beberapa mahjasiswa lainnya yang mengikuti program serupa.

"Di bulan Oktober itu, ada mahasiswi yang jam 23.00 terlunta-lunta tidak ada tempat menginap karena terusir dari akomodasinya setelah diberhentikan bekerja. Ada juga yang kena syaraf kejepit disuruh kerja angkat-angkat barang berat," tuturnya.

Sebelum berangkat ke Jerman, para mahasiwa mendapat informasi tentang program itu rata-rata dari kampus yang bekerja sama dengan sejumlah agen penyalur tenaga kerja di Indonesia dan Jerman.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com