Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konflik AS dan China Makin Tegang, Siapa Raup Untung?

Kompas.com - 26/11/2023, 23:37 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

Penulis: DW Indonesia

WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Ketegangan China-Amerika Serikat memberikan dampak sangat signifikan bagi pasar global, lantaran kedua belah pihak berusaha untuk mengurangi ketergantungannya satu sama lain.

Persaingan kedua negara adidaya itu dapat memicu inflasi dan suku bunga tetap tinggi. Keduanya berupaya mengurangi ketergantungan satu sama lain, yang sudah terjalin dalam rantai pasokan yang "mapan" ini.

Dikutip dari Reuters, hal ini menjadi salah satu pemicu faktor inflasi dan tingkat suku bunga tetap tinggi. Namun, negara-negara berkembang dan raksasa teknologi juga mereguk keuntungan dalam pertarungan.

Baca juga: China Tawarkan Masuk Bebas Visa bagi Warga Malaysia dan Negara Eropa

Presiden AS Joe Biden bertekad untuk memindahkan sektor manufaktur strategis seperti kendaraan listrik dan semikonduktor ke dalam negeri.

Penelitian Goldman Sachs menemukan, memindahkan produksi mungkin berdampak inflasi, terutama jika produksi manufaktur di negara-negara Barat tidak meningkat cukup cepat untuk mengimbangi penurunan impor.

Kemudian, penguatan dollar AS dapat mengekspor inflasi ke negara-negara pengimpor sumber daya di Eropa, dengan memaksa mereka untuk membayar lebih banyak untuk komoditas yang dihargai dalam dollar.

Cari sobat baru

Washington mendorong friendshoring--gagasan untuk menggantikan peran China dalam rantai pasokan dengan negara sahabat.

Penelitian yang dipimpin oleh Laura Alfaro dari Harvard Business School mengidentifikasi Vietnam dan Meksiko sebagai penerima manfaat terbesar dari AS dalam pergeseran rantai pasokan sejauh ini.

Mongolia mencari AS untuk investasi dalam penambangan mineral logam tanah jarang, bahan yang digunakan dalam produk teknologi tinggi seperti ponsel pintar. Filipina mendekati AS untuk investasi infrastruktur.

Anna Rosenberg, kepala geopolitik di Amundi Investment Institute, mengatakan bahwa ketegangan kedua negara besar itu memberikan "lensa baru" untuk menganalisis prospek pertumbuhan pasar negara berkembang.

India terus mengejar

India dipandang sebagai negara yang paling mampu bersaing dengan China dalam manufaktur berbiaya rendah dan berskala besar.

Populasi kaum muda yang besar dan kelas menengah yang terus berkembang juga menciptakan peluang bagi perusahaan multinasional yang mengalami penurunan bisnis di China.

Saham India telah menguat 8 persen tahun ini dan prospek arus investor ke pasar obligasi mendapat dorongan dari rencana JPMorgan untuk memasukkan India dalam indeks obligasi utama tahun depan.

"India adalah peluang yang sangat besar,” kata Kepala Investasi J Stern, Christopher Rossbach. "Perusahaan global tempat kami berinvestasi sedang mengerjakannya.”

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com