SABANG, KOMPAS.com - Kapal kayu yang membawa 219 pengungsi Rohingya berlabuh di Pantai Ujung Kareung, Kecamatan Sukajaya, Kota Sabang, Aceh, pada Selasa (21/11/2023) malam.
Kedatangan mereka mendapat penolakan dari warga. Para pengungsi itu pun harus meringkuk di pantai semalaman, dilingkari pita kuning garis polisi yang dimaksudkan untuk mencegah melarikan diri.
Penduduk setempat bahkan berupaya mendorong para pengungsi Rohingya kembali ke laut pada Rabu (22/11/2023).
Baca juga: Berlabuh di Sabang Aceh, 219 Pengungsi Rohingya Ditolak Warga
Namun, beberapa orang Rohingya menolak, sehingga terjadi kebuntuan di pantai.
Kantor berita AFP melaporkan, beberapa orang terdengar menangis dan yang lainnya pingsan karena kelelahan.
"Kami telah menderita selama 15 hari di laut," kata seorang pengungsi Roghingya, Abdul Rahman (15) kepada AFP.
Dia mengaku sangat cemas setelah menerima penolakan dari warga Indonesia.
"Kami sangat khawatir sekarang. Kami tidak ingin pergi ke tempat lain, kami hanya ingin tinggal di negara ini," ucap dia.
Ini adalah ketiga kalinya dalam seminggu terakhir, penduduk lokal Aceh berusaha mendorong ratusan pengungsi Rohingya kembali ke laut setelah mereka mencapai pantai.
Pekan lalu, penduduk setempat mencegah sebuah kapal merapat, memaksa beberapa orang Rohingya yang kelelahan untuk berenang ke daratan dan memohon agar mereka mengizinkan sesama penumpang turun.
Baca juga: Pengungsi Rohingya Pilih Lebih Baik Dibunuh daripada Dipulangkan ke Myanmar
Termasuk mereka yang terdampar di Sabang, lebih dari 1.000 orang Rohingya telah mendarat di pantai Aceh dalam sepekan terakhir, menurut pejabat setempat.
Dilaporkan AFP, di samping bayi-bayi yang merengek, beberapa anak di pantai terlihar bermain pasir dan membangun istana pada Rabu.
Mereka tampaknya tidak menyadari situasi yang tidak menentu yang terjadi di sekitar merekam.
Sementara, pengungsi lain berusaha menutupi wajah mereka dari sinar matahari di atas tanah yang tidak teduh.
Malam sebelumnya, setelah mendarat, kelompok besar itu duduk bersama dalam barisan yang dikelilingi oleh penduduk setempat dan petugas keamanan, dengan hanya senter yang menerangi mereka di tepi pantai, menurut gambar dan rekaman yang dibagikan kepada AFP oleh PBB.