Penulis: VOA Indonesia
TRIPOLI, KOMPAS.com - Ribuan orang tewas dan ribuan lainnya hilang akibat bendungan yang seharusnya diperbaiki, jebol.
Rakyat marah dan kini dengan sebagian besar wartawan dilarang bertugas di Derna, Libya, penduduk setempat semakin sedikit mendapat jalur untuk mengungkapkan kemarahan mereka secara terbuka.
Ketika protes melanda rumahnya awal pekan ini, Khalid Alkowash (42), seorang pegawai pemerintah daerah di Derna, merasa khawatir. Tetapi, dia mengaku tak terkejut.
Baca juga: PBB: Korban Banjir Libya Hadapi Risiko Kolera, Diare, Dehidrasi, dan Malanutrisi
“Mereka sudah gila,” kata Alkowash di luar rumahnya di dekat rumah wali kota, yang hangus akibat kebakaran yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa.
“Mereka memecahkan barang-barang, berteriak-teriak,” tambahnya.
Banjir besar di Libya timur melanda Derna pada 11 September 2023, menyapu lingkungan ke laut, dan menghancurkan wilayah itu.
Organisasi Internasional untuk Migrasi mengatakan, lebih dari 43.000 orang mengungsi.
Penyelam dilaporkan berhasil menarik 125 jenazah dari laut pada Rabu (20/9/2023), dan petugas penyelamat masih mencari ribuan lainnya.
Pada Senin (18/9/2023), alun-alun utama Derna dipenuhi ribuan pengunjuk rasa, yang memulai hari itu dengan meneriakkan, “Tuhan Maha Besar!” dan “Libya adalah Satu Bangsa!” Seiring berjalannya waktu, mereka mulai menyerukan jatuhnya pemerintahan dan pengunduran diri wali kota.
Safwat Elgiathi, seorang guru sekolah menengah berusia 24 tahun mengatakan, warga marah pada setiap tingkat pemerintahan yang seharusnya bisa mencegah kegagalan prasarana yang menyebabkan banjir.
Baca juga: Hendak Bantu Korban Banjir Libya, 5 Orang Yunani Tewas Kecelakaan
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.