TRANSISI dari Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok ke Global Development Initiative (GDI) telah menarik perhatian dunia.
Mempertimbangkan konteks Indonesia, sangat penting untuk menganalisis transisi ini secara kritis, mengingat Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 pertama kali diusulkan di Indonesia.
Tren ekonomi internasional, konteks geopolitik, dan kendala keuangan domestik memengaruhi perubahan strategi pembangunan global Tiongkok.
Pergeseran dari BRI ke GDI mencerminkan respons Tiongkok terhadap dinamika yang berubah, dengan mengambil pendekatan yang lebih multilateral daripada BRI yang didominasi bilateral.
Secara historis, BRI muncul sebagai langkah strategis untuk mempertahankan hubungan ekonomi dengan negara-negara Selatan setelah berakhirnya booming komoditas bahan mentah.
Saat ini, GDI berkembang di tengah pandemi COVID-19, menawarkan pendekatan baru yang tidak terlalu bergantung pada pembangunan infrastruktur yang besar.
Evolusi ini penting bagi Indonesia, yang telah lama dianggap sebagai simpul strategis dalam BRI karena keunggulan geografis dan permintaan yang kuat untuk pembangunan infrastruktur.
Namun, pergeseran operasional GDI dapat menyebabkan Indonesia mengevaluasi kembali posisi strategisnya.
Berbeda dengan BRI, GDI menekankan pada pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, tanggap pandemi, pembangunan hijau, dan ekonomi digital.
Meskipun tujuan-tujuan ini sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan dan prioritas nasional Indonesia, perubahan ini menunjukkan pergeseran dari fokus BRI pada infrastruktur, yang merupakan faktor penting dalam kerja sama Tiongkok-Indonesia.
Sebagai contoh, proyek-proyek seperti Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung, salah satu proyek unggulan BRI, akan dianggap berperan penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi, meskipun menimbulkan kontroversi karena isu-isu seperti pembebasan lahan dan penyelesaiannya yang tidak tepat waktu.
Indonesia, dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan ekonomi digital yang sedang berkembang, dapat menjadi pemain penting dalam paradigma baru ini. Inisiatif yang berfokus pada ekonomi digital dan respons pandemi sangat relevan bagi Indonesia.
Di tengah pandemi, Indonesia telah mengalami ledakan ekonomi digital, menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi digital terbesar dan tercepat di Asia Tenggara.
Sebagai contoh, raksasa teknologi lokal seperti Tokopedia dan Gojek telah berkembang pesat, yang mengindikasikan lanskap digital yang sedang berkembang.
Pergeseran Tiongkok menuju GDI yang menggabungkan pengembangan digital dapat semakin mempercepat ekspansi digital Indonesia.
Fokus GDI pada multilateralisme dan keterlibatan masyarakat sipil juga menandai pergeseran yang signifikan dari pendekatan bilateral BRI.
Bagi Indonesia, hal ini mengindikasikan adanya peluang kerja sama yang lebih luas dan transparan. Namun, hal ini juga memperkenalkan serangkaian tantangan baru.
Untuk secara efektif menavigasi lanskap multilateral ini dan memastikan kepentingan nasionalnya terwakili secara memadai, Indonesia mungkin perlu meningkatkan kemitraan dengan entitas regional seperti ASEAN, yang pengambilan keputusannya dilakukan berdasarkan konsensus, yang sangat kontras dengan karakteristik kesepakatan bilateral BRI.
Salah satu aspek penting dari GDI adalah skema pembiayaannya. Berbagai aktor membiayai BRI, tetapi GDI terutama bergantung pada Dana Pembangunan Global dan Kerja Sama Selatan-Selatan (GDSSCF).
Pergeseran ini dapat menjawab kritik terhadap bantuan luar negeri tradisional Tiongkok kepada negara-negara berkembang, seperti korupsi, kurangnya transparansi, dan akuntabilitas.