Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisakah Orang Jawa Jadi Presiden Suriname Kelak?

Kompas.com - 09/08/2023, 15:40 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

Peter Meel mengatakan perbedaan-perbedaan ini memecah komunitas Jawa.

Puncak dari tajamnya perbedaan antara KTPI dan PBIS adalah keputusan Hardjo untuk pulang ke Indonesia pada 1950-an.

Bersama sekitar 1.000 orang, Salikin Hardjo meninggalkan Suriname dan menetap di Tongar, Sumatera Barat.

Pada 1970-an, wajah politik Jawa di Suriname diwakili oleh dua figur: Willy Soeminta, anak Iding Soemita, yang memimpin KTPI menggantikan sang ayah dan Paul Somohardjo, yang meninggalkan presidium Jawa di Partai Nasional Suriname (NPS) dan mendirikan Partai Pendawa Lima pada 1977.

Lagi-lagi, dua tokoh ini memiliki pandangan yang berseberangan.

Saat berkembang wacana kemerdekaan Suriname pada 1970-an, Soemita mendukung negara Suriname yang lepas dari Belanda, sementara Somohardjo menolak kemerdekaan Suriname.

Somohardjo beralasan, lepasnya Suriname dari Belanda dikhawatirkan akan memicu kerusuhan etnik. Somohardjo mendorong gagasan pindah ke Belanda untuk menyelamatkan orang Jawa di Suriname.

Dalam perjalanannya, Somohardjo meneguhkan diri sebagai salah satu tokoh politik utama masyarakat Jawa di Suriname.

Pada 1998 ia mendirikan Pertjajah Luhur, partai yang hingga sekarang dikenal menjadi wadah suara orang-orang Jawa. Ketokohannya mengantarkan dirinya menjadi ketua parlemen pada 2005.

Baca juga: Kenapa Banyak Orang Jawa di Suriname? Ini Sejarah dan Perbedaan Bahasanya

Bisa disimpulkan, suara dan aspirasi politik orang-orang Jawa sejak awal memang tidak terwadahi oleh satu partai tunggal, karena secara historis tokoh-tokoh Jawa berseberangan visi dan perbedaan ini berdampak pada soliditas komunitas.

Rosemarijn Hoefte, guru besar sejarah Suriname di Universitas Amsterdam, Belanda, mengatakan politik di Suriname sering kali bersifal personal.

"Ini soal aliansi dan kesetiaan personal. Ada Somohardjo, Willy Soemita, dan keduanya tak bersedia bekerja sama. Selalu berseberangan," kata Hoefte, yang juga adalah peneliti di Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), di Leiden, kepada wartawan BBC News Indonesia, Mohamad Susilo.

"Jika yang satu bilang A, yang satu bilang B. Contohnya, ketika kemerdekaan Suriname menjadi agenda politik. Ini wacana yang tidak populer karena mungkin sebagian besar orang tidak setuju," kata Hoefte.

"Somohardjo mengatakan tidak setuju dan mengatakan akan membawa orang-orang Jawa ke Belanda dan kemudian ke Jawa, karena khawatir dengan kerusuhan etnik. Soemita sebaliknya, ia mendukung kemerdekaan," katanya.

"Karena bersifat personal, jika ada konflik, politisi akan keluar [dari partai], dan membawa keluar pula para pendukung. Suriname itu kecil, orang-orang saling kenal. [Akibatnya jika ada konflik antarpersonal] partai terpecah," tandasnya.

Pengamat politik dari Universitas Leiden, Peter Meel, yang bersama Hoefte menyunting buku Departing from Java, mengatakan fragmentasi menjadi salah satu kenyataan sejarah politik orang Jawa, sebagamana kenyataan politik di Suriname secara umum.

Upaya keluar dari jebakan etnisitas

Evert Karto, anggota parlemen dari Pertjajah Luhur, sepertinya menyadari betul perjalanan sejarah partai-partai berbasis etnis Jawa di Suriname.

Ia meminta komunitas Jawa mengambil pelajaran dari perjalanan masa lalu dan meningkatkan soliditas. Jika tidak, suara orang Jawa di politik tidak akan lantang.

"Sudah ada pelajaran, mereka sudah melihat sendiri [sejarah partai Jawa di masa lalu]. Orang-orang Jawa harus memilih dan mendukung politisi-politisi Jawa. Jika tidak, maka kelompok Jawa tidak akan punya suara di parlemen," kata Karto, anggota parlemen dari daerah pemilihan Commewijne, distrik di dekat ibu kota Paramaribo, yang banyak didiami orang-orang Jawa.

Baca juga: Putri Jawa Suriname 2022 Dimulai, Inilah Para Peserta dan Hadiahnya

Karto mengatakan bisa saja politisi Jawa masuk ke parlemen melalui partai-partai yang bukan berbasis etnik Jawa, namun mekanisme ini, ia pandang tak menjamin bisa memperjuangkan kepentingan orang-orang Jawa 100 persen.

Dalam pandangan Karto, selama orang-orang Jawa di Suriname masih melihat sejarah masa lalu, masih melihat kesalahan-kesalahan di masa lalu, suara orang Jawa tidak akan kuat.

Selain itu, kata Karto, partai Jawa juga harus memperjuangkan kepentingan etnik-etnik lain demi untuk membesarkan partai dan memiliki suara yang lebih besar di politik.

"Populasi Jawa sekitar 70.000 orang, yang terbesar keempat di Suriname (jadi harus ada dukungan dari etnik-etnik lain)," kata Karto. Dalam konteks ini, membuka partai dan menggandeng etnik-etnik lain menjadi penting.

Keluar dari "jebakan etnisitas" sudah ada dalam pikiran Raymond Sapoen, politisi yang pernah menjadi anggota Pertajah Luhur dan sekarang aktif di Partai Gerakan Pembaharuan dan Reformasi (HVB).

Sapoen mengatakan tidak cukup hanya mengandalkan dukungan orang-orang Jawa. Kelompok-kelompok etnik lain harus dirangkul dan diakomodasi.

Sapoen juga punya visi HVB sebagai partai yang modern, progresif, dan inklusif. Termasuk memberi kesempatan bagi figur-figur lain untuk menjadi tokoh sentral partai. Ia tidak ingin melihat partai terfokus pada satu tokoh.

"Tidak baik bagi partai yang ketua umumnya menjabat selama beberapa dekade. [Jika ini terjadi] anak-anak muda akan mengatakan 'saya sudah masuk partai, mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan, namun saya merasa tidak punya kesempatan untuk menjadi pengurus'. Anak-anak muda ini tidak bisa menjadi tokoh karena posisi ketua diisi oleh seseorang yang sudah menjabat selama 20 tahun misalnya. Ini tidak sehat," kata Sapoen.

Dari sini, ia dan para pengurus di HVB memutuskan, seseorang bisa menjabat sebagai ketua partai maksimal selama dua periode, dengan satu periode berdurasi lima tahun.

"Dengan begitu, ketua hanya maksimal menjabat selama sepuluh tahun. Membatasi masa jabatan ketua sangat penting," tegas Sapoen.

Mendorong orang Jawa aktif berpolitik di Suriname

Yang tidak kalah penting, kata Sapoen, partai harus hadir menjawab isu-isu penting yang dihadapi rakyat. Partai harus memiliki program yang jelas di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi, pembangunan, dan bidang-bidang penting lainnya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com