Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisakah Orang Jawa Jadi Presiden Suriname Kelak?

Kompas.com - 09/08/2023, 15:40 WIB
BBC News Indonesia,
Irawan Sapto Adhi

Tim Redaksi

PARAMARIBO, KOMPAS.com - Nada bicaranya kalem, tidak meledak-ledak. Namun di dalamnya terasa ada keyakinan aspirasi politik orang Jawa di Suriname, negara di ujung utara benua Amerika Selatan.

"Suatu saat nanti, saya bisa menjamin akan ada orang Jawa yang menjadi presiden di Suriname, yang leluhurnya berasal dari Indonesia," kata Sapoen saat menerima wartawan BBC News Indonesia, Mohamad Susilo, di rumahnya bercat hijau yang asri di Lelydorp, sekitar satu jam perjalanan dengan mobil di sebelah selatan ibu kota Paramaribo.

"Saya ingin menyampaikan kepada warga di Indonesia, bahwa suatu hari nanti akan ada presiden dari komunitas Jawa di Suriname," tegas Sapoen dalam bahasa Jawa dicampur bahasa Inggris dan Belanda.

Baca juga: Mengapa Makanan Jawa Seperti Soto dan Pecel Populer di Suriname?

Nama Sapoen tiba-tiba saja viral ketika pada 2015 mengumumkan pencalonan diri sebagai presiden.

Media di Indonesia memberitakan bahwa seorang politisi keturunan Jawa meramaikan pemilu dan mencalonkan diri sebagai presiden Suriname.

Perhatian tak hanya tertuju pada sosok Sapoen tetapi juga ke kerabatnya yang diyakini tinggal di Banyumas, Jawa Tengah.

Delapan tahun kemudian, dalam wawancara khusus dengan BBC News Indonesia, Sapoen mengungkapkan alasan mengapa ia dicalonkan oleh partainya, Pertjajah Luhur, untuk menjadi orang nomor satu di Suriname.

Bronto Somohardjo tokoh Jawa yang menjabat sebagai menteri dalam negeri kabinet Presiden Chan Santokhi.BBC NEWS INDONESIA Bronto Somohardjo tokoh Jawa yang menjabat sebagai menteri dalam negeri kabinet Presiden Chan Santokhi.

"(Pencalonan) itu merupakan kebijakan partai untuk meraih lebih banyak dukungan dari masyarakat Jawa, meskipun saya sebenarnya sejak awal sadar bahwa peluang saya untuk terpilih menjadi presiden sulit," kata Sapoen, yang pernah menjadi menteri pendidikan dan menteri perdagangan.

Perjalanan sejarah Suriname menunjukkan kekuatan dan pengaruh politik komunitas Jawa tidak sebesar komunitas Afro-Suriname dan Indo-Suriname.

Kelompok pertama yang dibawa ke Suriname oleh Belanda beberapa abad silam adalah komunitas keturunan orang-orang Afrika Barat untuk menjadi budak. Di dalamnya ada orang-orang Maroon dan Creole.

Baca juga: Raja Belanda Minta Maaf atas Perbudakan, Warga Suriname Merespons

Kelompok kedua adalah keturunan pekerja migran India yang masuk ke Suriname setelah penghapusan perbudakan pada abad ke-19.

Dalam pemilu 2015, Partai Demokrat Nasional (NDP) menang besar dengan meraih 26 kursi dari 51 kursi di parlemen nasional.

Partai berbasis etnik Jawa, Pertjajah Luhur, masuk dalam aliansi partai-partai politik yang menamakan diri V7.

Secara keseluruhan aliansi V7 mendapatkan 18 kursi. Pertjajah Luhur sendiri mendapatkan lima kursi.

"Dalam pemilu (2015), suara yang didapat partai Pertjajah Luhur tidak mengalami kemajuan yang berarti. Suara yang didapat mengecewakan," kata Sapoen.

Suara dan aspirasi orang-orang Jawa di Suriname secara historis tidak terwadahi oleh satu partai.BBC NEWS INDONESIA Suara dan aspirasi orang-orang Jawa di Suriname secara historis tidak terwadahi oleh satu partai.

Selain Pertjajah Luhur, ikut pula tiga partai lain yang juga berbasis etnik Jawa dalam pemilu 2015.

Ketiga partai itu adalah Kerukunan Tulodo Pranatan Inggil (KTPI), pecahan KTPI bernama KTPI Gaya Baru (NSK), dan Partai Demokrasi dan Pembangunan (PDO).

Analis politik dari Universitas Leiden, Belanda, Peter Meel, dalam buku Departing from Java, mengatakan populasi Jawa di Suriname sekitar 14 persen. Suara mereka terpecah ke sejumlah partai, tidak hanya partai etnis Jawa.

Baca juga: Kontes Putri Jawa Suriname Ucapkan Terima Kasih atas Perhatian Indonesia

Setelah pemilu 2015, yang terpilih menjadi presiden adalah Desi Bouterse, pemimpin NDP berlatar belakang militer.

Di rumahnya di Lelydorp, Raymond Sapoen kepada Mohamad Susilo berbicara tentang masa depan partai berbasis etnik Jawa dan apakah suatu saat nanti ada orang Jawa memimpin Republik Suriname.BBC NEWS INDONESIA Di rumahnya di Lelydorp, Raymond Sapoen kepada Mohamad Susilo berbicara tentang masa depan partai berbasis etnik Jawa dan apakah suatu saat nanti ada orang Jawa memimpin Republik Suriname.

Naiknya Bouterse menjadi presiden bisa dipahami mengingat NDP adalah pemegang mayoritas kursi di parlemen.

Menurut sistem ketatanegaraan Suriname, presiden dipilih oleh minimal dua pertiga anggota parlemen.

Bagi Bouterse ini adalah kali kedua ia menduduki kursi tersebut. Pada 2010 ia juga terpilih sebagai presiden menyusul kemenangan aliansinya, Megacombinatie. Dengan naiknya Bouterse di pemilu 2015, keinginan untuk melihat orang Jawa menjadi presiden di Suriname harus dikubur.

Mengapa ada beberapa partai Jawa di Suriname?

Muncul pertanyaan, mengapa tidak didirikan satu partai yang mewadahi suara masyarakat Jawa di Suriname? Bukankah dengan munculnya beberapa partai berbasis orang Jawa, suara orang-orang Jawa menjadi terpecah?

Jawabannya bisa dirunut pada akhir 1940-an. Suriname yang menjadi koloni Belanda mendapatkan hak pilih, yang pada praktiknya mengakhiri kekuasaan elite.

Pada 1949 digelar pemilu pertama, yang mendorong pendirian partai-partai politik. Corak yang muncul adalah partai berbasis etnik dan agama karena faktor komposisi populasi dan juga karena penerapan politik pecah belah (divide et impera), kata pengamat politik Universitas Leiden, Peter Meel.

Baca juga: Suriname, Negara Kecil dengan Keberagaman dan Toleransi Antar-agama yang Mengejutkan

Ada Partai Nasional Suriname (NPS), yang berbasis komunitas Creole beragama Protestan. Komunitas pendatang dari India mendirikan Partai Hindustani Bersatu (VHP).

Adapun sebagian orang Jawa mendirikan Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI) pada 1948 melalui tokohnya, Iding Soemita. Selain KTPI, ada Pergerakan Bangsa Indonesia Suriname (PBIS) yang dirikan oleh Salikin Hardjo pada 1947.

Soemita dan Hardjo memiliki latar belakang yang berbeda dan menerapkan gaya kepemimpinan yang tidak sama di organisasi masing-masing.

Visi KTPI dan PBIS berseberangan. KTPI mencitrakan diri sebagai organisasi yang mendukung gagasan kembali ke Jawa, sementara PBIS mendorong orang Jawa menetap di Suriname dan membangun masa depan di negara tersebut.

Soemita memproyeksikan diri sebagai tokoh yang dekat orang-orang Jawa kebanyakan, sedangkan Hardjo yang berpendidikan dikesankan sebagai elitis.

Peter Meel mengatakan perbedaan-perbedaan ini memecah komunitas Jawa.

Puncak dari tajamnya perbedaan antara KTPI dan PBIS adalah keputusan Hardjo untuk pulang ke Indonesia pada 1950-an.

Bersama sekitar 1.000 orang, Salikin Hardjo meninggalkan Suriname dan menetap di Tongar, Sumatera Barat.

Pada 1970-an, wajah politik Jawa di Suriname diwakili oleh dua figur: Willy Soeminta, anak Iding Soemita, yang memimpin KTPI menggantikan sang ayah dan Paul Somohardjo, yang meninggalkan presidium Jawa di Partai Nasional Suriname (NPS) dan mendirikan Partai Pendawa Lima pada 1977.

Lagi-lagi, dua tokoh ini memiliki pandangan yang berseberangan.

Saat berkembang wacana kemerdekaan Suriname pada 1970-an, Soemita mendukung negara Suriname yang lepas dari Belanda, sementara Somohardjo menolak kemerdekaan Suriname.

Somohardjo beralasan, lepasnya Suriname dari Belanda dikhawatirkan akan memicu kerusuhan etnik. Somohardjo mendorong gagasan pindah ke Belanda untuk menyelamatkan orang Jawa di Suriname.

Dalam perjalanannya, Somohardjo meneguhkan diri sebagai salah satu tokoh politik utama masyarakat Jawa di Suriname.

Pada 1998 ia mendirikan Pertjajah Luhur, partai yang hingga sekarang dikenal menjadi wadah suara orang-orang Jawa. Ketokohannya mengantarkan dirinya menjadi ketua parlemen pada 2005.

Baca juga: Kenapa Banyak Orang Jawa di Suriname? Ini Sejarah dan Perbedaan Bahasanya

Bisa disimpulkan, suara dan aspirasi politik orang-orang Jawa sejak awal memang tidak terwadahi oleh satu partai tunggal, karena secara historis tokoh-tokoh Jawa berseberangan visi dan perbedaan ini berdampak pada soliditas komunitas.

Rosemarijn Hoefte, guru besar sejarah Suriname di Universitas Amsterdam, Belanda, mengatakan politik di Suriname sering kali bersifal personal.

"Ini soal aliansi dan kesetiaan personal. Ada Somohardjo, Willy Soemita, dan keduanya tak bersedia bekerja sama. Selalu berseberangan," kata Hoefte, yang juga adalah peneliti di Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), di Leiden, kepada wartawan BBC News Indonesia, Mohamad Susilo.

"Jika yang satu bilang A, yang satu bilang B. Contohnya, ketika kemerdekaan Suriname menjadi agenda politik. Ini wacana yang tidak populer karena mungkin sebagian besar orang tidak setuju," kata Hoefte.

"Somohardjo mengatakan tidak setuju dan mengatakan akan membawa orang-orang Jawa ke Belanda dan kemudian ke Jawa, karena khawatir dengan kerusuhan etnik. Soemita sebaliknya, ia mendukung kemerdekaan," katanya.

"Karena bersifat personal, jika ada konflik, politisi akan keluar [dari partai], dan membawa keluar pula para pendukung. Suriname itu kecil, orang-orang saling kenal. [Akibatnya jika ada konflik antarpersonal] partai terpecah," tandasnya.

Pengamat politik dari Universitas Leiden, Peter Meel, yang bersama Hoefte menyunting buku Departing from Java, mengatakan fragmentasi menjadi salah satu kenyataan sejarah politik orang Jawa, sebagamana kenyataan politik di Suriname secara umum.

Upaya keluar dari jebakan etnisitas

Evert Karto, anggota parlemen dari Pertjajah Luhur, sepertinya menyadari betul perjalanan sejarah partai-partai berbasis etnis Jawa di Suriname.

Ia meminta komunitas Jawa mengambil pelajaran dari perjalanan masa lalu dan meningkatkan soliditas. Jika tidak, suara orang Jawa di politik tidak akan lantang.

"Sudah ada pelajaran, mereka sudah melihat sendiri [sejarah partai Jawa di masa lalu]. Orang-orang Jawa harus memilih dan mendukung politisi-politisi Jawa. Jika tidak, maka kelompok Jawa tidak akan punya suara di parlemen," kata Karto, anggota parlemen dari daerah pemilihan Commewijne, distrik di dekat ibu kota Paramaribo, yang banyak didiami orang-orang Jawa.

Baca juga: Putri Jawa Suriname 2022 Dimulai, Inilah Para Peserta dan Hadiahnya

Karto mengatakan bisa saja politisi Jawa masuk ke parlemen melalui partai-partai yang bukan berbasis etnik Jawa, namun mekanisme ini, ia pandang tak menjamin bisa memperjuangkan kepentingan orang-orang Jawa 100 persen.

Dalam pandangan Karto, selama orang-orang Jawa di Suriname masih melihat sejarah masa lalu, masih melihat kesalahan-kesalahan di masa lalu, suara orang Jawa tidak akan kuat.

Selain itu, kata Karto, partai Jawa juga harus memperjuangkan kepentingan etnik-etnik lain demi untuk membesarkan partai dan memiliki suara yang lebih besar di politik.

"Populasi Jawa sekitar 70.000 orang, yang terbesar keempat di Suriname (jadi harus ada dukungan dari etnik-etnik lain)," kata Karto. Dalam konteks ini, membuka partai dan menggandeng etnik-etnik lain menjadi penting.

Keluar dari "jebakan etnisitas" sudah ada dalam pikiran Raymond Sapoen, politisi yang pernah menjadi anggota Pertajah Luhur dan sekarang aktif di Partai Gerakan Pembaharuan dan Reformasi (HVB).

Sapoen mengatakan tidak cukup hanya mengandalkan dukungan orang-orang Jawa. Kelompok-kelompok etnik lain harus dirangkul dan diakomodasi.

Sapoen juga punya visi HVB sebagai partai yang modern, progresif, dan inklusif. Termasuk memberi kesempatan bagi figur-figur lain untuk menjadi tokoh sentral partai. Ia tidak ingin melihat partai terfokus pada satu tokoh.

"Tidak baik bagi partai yang ketua umumnya menjabat selama beberapa dekade. [Jika ini terjadi] anak-anak muda akan mengatakan 'saya sudah masuk partai, mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan, namun saya merasa tidak punya kesempatan untuk menjadi pengurus'. Anak-anak muda ini tidak bisa menjadi tokoh karena posisi ketua diisi oleh seseorang yang sudah menjabat selama 20 tahun misalnya. Ini tidak sehat," kata Sapoen.

Dari sini, ia dan para pengurus di HVB memutuskan, seseorang bisa menjabat sebagai ketua partai maksimal selama dua periode, dengan satu periode berdurasi lima tahun.

"Dengan begitu, ketua hanya maksimal menjabat selama sepuluh tahun. Membatasi masa jabatan ketua sangat penting," tegas Sapoen.

Mendorong orang Jawa aktif berpolitik di Suriname

Yang tidak kalah penting, kata Sapoen, partai harus hadir menjawab isu-isu penting yang dihadapi rakyat. Partai harus memiliki program yang jelas di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi, pembangunan, dan bidang-bidang penting lainnya.

Partai tidak cukup hanya menggelar acara-acara keramaian.

"Masalah-masalah penting harus masuk ke visi-misi, [masalah yang ada di tengah masyarakat] harus dicarikan solusinya dan dijabarkan di visi dan misi partai. Ini juga agar anak-anak muda tertarik masuk partai. Ini tantangan besar bagi partai berbasis etnik," kata Sapoen.

Hambatan lain yang dihadapi masyarakat Jawa adalah minimnya figur yang bersedia menjadi tokoh-tokoh partai.

Baca juga: Putri Jawa Suriname 2022 Digelar, Semua Peserta Keturunan Indonesia

"Kami kesulitan mencari orang-orang Jawa yang mau menjadi calon anggota legislatif. Anak-anak muda yang berpendidikan tinggi, mereka tidak mau terlibat aktif di politik. Mereka umumnya mencari pekerjaan yang menjamin kesejahteraan. Saya paham, tetapi akibatnya adalah partai diisi oleh orang-orang tua. Ketika orang tua ini meninggal, partainya juga meninggal. Ini harus kita pikirkan agar partai wong Jowo bisa bertahan hidup," kata Sapoen.

Di luar ini semua, tengah terjadi perkembangan yang menarik di Suriname.

Sekat etnisitas yang mencair

Sekat-sekat etnisitas "makin cair" yang membuat populasi mixed (kelompok campuran) makin besar dari tahun ke tahun. Data terbaru menunjukkan, jumlah mereka menempati urutan keempat setelah Afro-Suriname, Indo-Suriname, dan Jawa.

Sapoen memperkirakan kelompok mixed makin besar dalam 10-20 tahun ke depan.

Rosemarijn Hoefte, guru besar di Universitas Amsterdam yang banyak melakukan kajian tentang orang Jawa di Suriname mengatakan meningkatnya proporsi kelompok mixed bisa mengubah dinamika lanskap politik di Suriname.

"Mereka bisa mengubah dinamika politik karena kelompok mixed ini tidak memiliki loyalitas etnik. Kehadiran kelompok mixed bisa mengubah perimbangan politik yang selama ini berbasis etnisitas," kata Hoefte.

Selama ini, ada kesadaran kekuasaan dibagi di antara kelompok Afro-Suriname, Indo-Suriname dan Jawa.

Perimbangan politik ini pula yang membuat orang-orang Jawa mendapatkan kekuasaan di Suriname.

Tokoh-tokoh Jawa menduduki jabatan di kementerian, seperti Sapoen yang pernah menjabat sebagai menteri pendidikan dan menteri perindustrian dan perdagangan, lalu Mike Noersalim yang pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri.

Juga ada Soewarto Moestadja yang pernah menjabat sebagai menteri sosial, menteri tenaga kerja, menteri kesehatan, dan menteri dalam negeri.

Willy Soemita dan Paul Somohardjo pernah diangkat pula sebagai pembantu presiden.

Dalam pemerintahan presiden Suriname saat ini, Chan Santokhi (pemimpin Partai Reformasi Progresif, VHP, yang berbasis kelompok Indo-Suriname), ada Bronto Somohardjo - anak Paul Somohardjo - yang menjabat sebagai menteri dalam negeri.

Sejak merdeka pada 1975, Suriname belum memiliki presiden berlatar belakang Jawa. Di kalangan tokoh-tokoh Jawa ada keyakinan bahwa orang Jawa pantas dan layak menjadi orang nomor satu di Suriname.

Untuk bisa mewujudkan aspirasi tersebut, perlu meningkatkan soliditas di masyarakat Jawa sendiri dan tentu saja menarik dukungan dari kelompok-kelompok etnik lain dengan memperjuangkan kepentingan mereka.

Baca juga: Di Usia 60 Tahun, Wapres Suriname Jadi Pemain Sepak Bola Profesional

Keberhasilan meraih dukungan multietnik menjadi penyebab kemenangan Partai Demokrat Nasional (NDP) di pemilu 2015, kemenangan yang mengantarkan sang pemimpin, Desi Bouterse, menjadi presiden.

Bagi Bronto Somohardjo, tokoh Pertjajah Luhur yang menjabat sebagai menteri dalam negeri, memperjuangkan kepentingan rakyat Suriname secara keseluruhan harus menjadi prioritas.

"Bagi saya itu yang mestinya menjadi tujuan utama, siapa pun yang menjadi presiden, dia harus menjadikan negara ini makmur. Dia bisa berasal dari mana saja, dari komunitas Jawa, Hindustan, atau dari kalangan Afro-Suriname," kata Bronto.

Raymond Sapoen menyebut visi nasional sebagai faktor penting untuk meraih dukungan rakyat Suriname yang multietnik.

"Di Suriname sudah ada presiden dari etnik Hindustan, Creole, China, kelompok mixed. Belum ada presiden dari orang Jawa ... apakah dimungkinkan? [Jawabannya mungkin, tetapi politisi Jawa] harus tegas. Perlu ada misi visi [yang jelas, yang menjawab persoalan riil di masyarakat]. Harus ada visi nasional," kata Sapoen.

Ia mengatakan kans orang Jawa menjadi presiden Suriname masih terbuka lebar.

"Itu menjadi mimpi saya, keinginan saya. Bahwa suatu saat nanti ada orang Jawa menjadi presiden Suriname," katanya mengakhiri perbincangan dengan BBC News Indonesia di rumahnya di Lelydorp.

Sapoen lantas mengajak makan siang. Di meja ada nasi dan oseng kacang panjang. Juga ada kudapan manis dari tepung ketela.

"Mangan iwak pitik karo sambel. Sambel bawang. Nak ora ana sambel yo ora enak (makan dengan ayam goreng dan sambal bawang. Jika tidak ada sambal, maka makanannya kurang enak)," kata Sapoen dalam bahasa Jawa, sambil tersenyum lebar.

Terasa ada nada optimisme dalam kata-kata Sapoen, satu dari beberapa tokoh masyarakat Jawa yang mencoba meningkatkan suara Jawa di lanskap politik Suriname, negara yang mengalami pencairan sekat-sekat etnisitas dalam beberapa tahun terakhir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com