Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hujan Sanksi Makin Deras, Prospek Ekonomi Rusia Makin Suram

Kompas.com - 06/04/2023, 21:31 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

Penulis: VOA Indonesia

MOSKWA, KOMPAS.com - Ketahanan ekonomi Rusia selama setahun terakhir mengejutkan banyak pengamat. Pasalnya Moskwa berhasil beradaptasi dengan hujan sanksi Barat yang belum pernah terjadi sebelumnya terkait agresi Rusia di Ukraina.

Namun Presiden Vladimir Putin pada akhir bulan lalu menegaskan potensi terjadinya masalah ekonomi di masa depan dan mendesak pemerintah untuk bertindak cepat.

"Sanksi yang dijatuhkan terhadap ekonomi Rusia dalam jangka menengah benar-benar dapat berdampak negatif," kata Putin dalam pertemuan yang disiarkan televisi.

Baca juga: Putin: Intel Barat Bantu Ukraina Serang Rusia

Padahal sebelumnya Putin mengatakan masa terburuk kondisi ekonomi Rusia telah berakhir. Bahkan Putin memuji kebijakan kedaulatan ekonomi dan berkeras bahwa strategi sanksi yang diterapkan Barat malah menjadi bumerang.

Lalu apa sebenarnya pesan yang disampaikan Putin?

"Pengamatan Putin cukup realistis," kata Arnaud Dubien, direktur lembaga kajian Observatorium Perancis-Rusia di Moskwa.

Dubien, seorang ahli veteran Rusia, mengatakan Putin berusaha untuk lebih memobilisasi perusahaan dan pejabat pemerintah karena Moskwa memutuskan hubungan dengan Barat.

Baca juga: Rusia Tidak Akan Komentari Dakwaan Donald Trump

"Situasinya lebih baik dari yang diharapkan, tapi jangan santai, terus cari alternatif," katanya menggambarkan logika kepala Kremlin.

Alexandra Prokopenko, mantan pejabat bank sentral Rusia, menyatakan bahwa pesan Putin terutama menargetkan perusahaan yang terkena sanksi berat.

“Ini pesan untuk bisnis,” kata Prokopenko, yang bekerja di bank sentral antara 2017 dan 2022 dan berhenti setelah dimulainya serangan Moskwa di Ukraina.

"Anda hanya aman di Rusia di bawah tanggung jawab saya, tidak ada jalan kembali," katanya.

Baca juga: NATO Sambut Hangat Finlandia, Rusia Tak Berhenti Murka

Situasi sulit

Lebih dari setahun setelah serangan Moskwa di Ukraina, Rusia menjadi semakin bergantung pada ekspor energi ke Asia dan semakin tertinggal di banyak sektor bernilai tinggi. Eksodus ratusan ribu orang Rusia dan gerakan mobilisasi wajib militer Kremlin menyebabkan negara itu kekurangan tenaga kerja.

Dubien menggarisbawahi masalah khusus dalam industri mobil, yang berkembang pesat ketika produsen mobil asing terkemuka mendirikan toko di Rusia pada awal 2000-an.

“Sektor yang paling terkena sanksi seperti produksi otomotif adalah yang paling terbuka untuk investasi dan kerja sama internasional,” ujarnya.

Pada akhir Maret, produsen mobil andalan Rusia AvtoVAZ mengatakan bahwa sejumlah pemasok suku cadang menghentikan pengiriman, mendorong perusahaan yang kesulitan itu untuk memajukan liburan tahunan.

Baca juga: Finlandia Resmi Gabung NATO, Warga Rusia: Cari Gara-gara Dia

Prokopenko, yang sekarang meneliti pembuatan kebijakan pemerintah Rusia di Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman yang berbasis di Berlin, mengatakan bahwa sektor-sektor yang terkait dengan kompleks industri militer -- seperti optik, farmasi, dan produksi logam -- adalah sektor di mana pertumbuhan ekonomi berjalan baik.

Sergei Tsyplakov, seorang profesor di Sekolah Tinggi Ekonomi Moskwa, memperingatkan bahwa perubahan poros Kremlin yang kini mengarah kepada China dan India tidak dapat menyelesaikan semua masalah.

"Meski ekonomi Rusia tidak langsung runtuh setelah pengenaan sanksi, situasinya tetap sulit," katanya.

Baca juga: Finlandia Gabung NATO, Rusia Siapkan Balasan

Kemunduran Ekonomi

Banyak ekonom memperkirakan prospek ekonomi Rusia akan semakin gelap dalam beberapa bulan mendatang.

Prokopenko menunjukkan bahwa rejeki nomplok dari harga energi yang sangat tinggi itulah yang membantu Rusia mengatasi guncangan awal dari sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

"Ini tidak akan terjadi tahun ini. Pada 2023, tidak ada tanda-tanda Rusia akan mendapatkan penghasilan tambahan ini," katanya.

Pada Februari, pendapatan Moskwa dari ekspor minyak anjlok hingga 42 persen dibandingkan pada tahun lalu, menurut Badan Energi Internasional.

Baca juga: Finlandia Segera Gabung NATO, Rusia Langsung Perkuat Militer

Reorientasi Rusia, yang pernah menjadi pemasok gas utama Eropa, menuju pasar Asia diperkirakan akan memakan waktu.

Putin, kata para pengamat, memiliki kepentingan vital untuk melihat pendapatan energi yang tinggi jika dia ingin membiayai serangan Moskwa ke Ukraina dan menjauhkan perbedaan pendapat di dalam negeri.

Prokopenko mengatakan dia melihat banyak masalah di depan.

"Dalam perspektif jangka pendek ekonomi Rusia tidak buruk, masih berfungsi," katanya, tetapi menekankan bahwa menemukan mitra baru akan memakan waktu.

Baca juga: Rusia Beda Klaim dengan Wagner, Sebut Tak Ada Kemajuan di Bakhmut

"Masa depan (Rusia) berkabut," lanjutnya.

Dubien memperkirakan Putin mampu membiayai serangan di Ukraina selama tiga hingga empat tahun lagi. Namun ia memperingatkan bahwa ekonomi Rusia akan menghadapi kemunduran lebih lanjut selama bertahun-tahun.

“(Rusia) kehilangan pembangunan yang setara dengan satu dekade sejak 2014,” katanya, mengacu pada tahun ketika Barat memukul Rusia dengan sanksi atas pencaplokan Krimea dari Ukraina.

"Sekarang hal tersebut dapat terjadi kembali," sambungnya.

Artikel ini pernah tayang di VOA Indonesia dengan judul Hujan Sanksi Makin Deras, Prospek Ekonomi Rusia Makin 'Berkabut'.

Baca juga: Atlet Taekwondo Rusia dan Belarusia Boleh Tanding di Kejuaraan Dunia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com