WELLINGTON, KOMPAS.com - Bagi jutaan orang di seluruh dunia, pengunduran diri Jacinda Ardern barangkali mengejutkan.
Tetapi, beberapa perempuan mungkin akan membaca kata-katanya dengan ketertarikan khusus.
Karisma dan filosofi kepemimpinan sang perdana menteri Selandia Baru telah membuat namanya dikenal di seluruh dunia.
Baca juga: Sepak Terjang PM Selandia Baru Jacinda Ardern, Ikon Inspiratif yang Akhirnya Mundur
Banyak penggemarnya adalah perempuan, yang rajin mengikuti perjalanannya dari PM pemula menjadi ibu yang bekerja, dan memandangnya sebagai panutan.
Ardern bukan satu-satunya pesohor yang menjadi berita dalam beberapa tahun terakhir karena tiba-tiba mengumumkan pengunduran diri dengan alasan kelelahan atau burnout.
Sosok lain yang pernah melakukan hal sama, termasuk atlet Naomi Osaka, Ash Barty dan Virat Kohli; serta bos seperti James Packer.
Namun, Ardern juga menduduki posisi yang amat langka sebagai ibu yang bekerja sambil memimpin sebuah negara.
Dia melahirkan saat menjabat.
Satu-satunya pemimpin dunia lain yang pernah melakukannya adalah Benazir Bhutto dari Pakistan.
Dalam banyak hal, itu adalah contoh ujian ekstrem "unik" untuk menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga.
Tetapi jelas ada faktor politik yang juga berperan.
Baca juga: Pengunduran Diri PM Selandia Baru Jacinda Ardern Kejutkan Banyak Pihak
Pengunduran dirinya terjadi di tengah meningkatnya kekacauan politik, dengan tingkat penerimaannya menurun seiring kekhawatiran warga Selandia Baru tentang biaya hidup dan tingkat kejahatan meningkat.
Memang tidak mudah berada di puncak, tetapi masa jabatan Ardern telah menemui banyak tantangan.
Dia telah memimpin negara melalui pandemi yang tidak pernah terjadi sebelumnya, serangan teror domestik yang mengerikan, dan letusan gunung berapi.
Dalam pidatonya pada Kamis (19/1/2023), PM Ardern menyebut tentang keputusan "sulit dan konstan" yang dia hadapi.
Dia juga harus bersaing dengan pengawasan publik yang intens sepanjang perjalanannya, dari mengumumkan kehamilannya hanya beberapa bulan setelah menjabat hingga keputusannya untuk mengambil cuti hamil selama enam minggu, yang memicu perdebatan tentang apakah itu terlalu singkat.
Baca juga: PM Selandia Baru Jacinda Ardern Ingin Mundur, Tak Mau Lanjut Periode Berikutnya
Untuk sementara, dia tampak bertekad untuk menghadapinya secara langsung.
"Saya selalu memperkirakan, karena (Neve) masih sangat muda dan sangat kecil, akan ada ketegangan nyata antara memastikan bahwa saya dapat memenuhi semua kebutuhannya dan tentu saja tanggung jawab saya (sebagai PM). Tapi saya yakin dengan semua dukungan yang saya dapatkan, kami benar-benar akan melakukannya dengan baik," kata dia kepada wartawan waktu itu.
Dia juga senang berbagi pengalaman mengasuh anak di media sosial, mulai dari perjuangan untuk membuat kue ulang tahun yang sempurna untuk putrinya, hingga menemukan noda krim popok di jaketnya setelah rapat seharian.
Tetapi pada akhirnya, adalah biaya manusia dari jabatan tinggi politik yang dia sebutkan di bagian paling emosional dari pidato pengunduran dirinya.
"Politikus itu manusia. Kami memberikan semua yang kami bisa, selama kami bisa, dan kemudian inilah saatnya," kata Ardern, suaranya goyah.
"Dan bagi saya, sudah waktunya... Saya tahu apa yang dibutuhkan pekerjaan ini, dan saya tahu bahwa saya tidak lagi memiliki cukup energi di dalam tangki untuk melakukannya dengan baik," udap dia.
Ardern berbicara tentang bagaimana dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarganya karena mereka telah paling banyak berkorban.
Baca juga: PM Ardern: Selandia Baru Mungkin Akan Lepas dari Inggris, tapi...
Dia berkata ingin bisa hadir untuk putrinya ketika dia mulai sekolah, dan memberi tahu kekasihnya Clarke untuk akhirnya bisa menikah.
Banyak orang yang berharap bisa menyaksikannya terus membuka jalan dan kecewa karena Ardern tidak bisa melangkah lebih jauh.
Tetapi, banyak orang itu diyakini juga akan bersimpati atas kesulitan yang dihadapi PM Ardern.
Tentu saja ada perhitungan politik dalam keputusannya.
Dia telah mengalami kenaikan meteorik ke tampuk kekuasaan yang dipicu oleh "Jacinda-mania".
Tetapi, hubungan Selandia Baru dengannya mulai masam ketika pemerintahannya kesulitan menavigasi tantangan ekonomi pasca-pandemi Covid-19, seperti meningkatnya biaya hidup dan memburuknya kesenjangan sosial.
Hanya beberapa minggu yang lalu, tingkat penerimaannya mencapai level terendah sejak Agustus 2017 -tepat sebelum Ardern menjadi PM- seiring popularitas partai Buruh yang dipimpinnya juga menurun.
Baca juga: Profil Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru
Terlepas dari penolakannya, langkah Ardern juga dapat dilihat sebagai keputusan yang cerdik untuk menyelamatkan partainya dan menghindari kekalahan yang memalukan dalam pemilihan mendatang sebagai PM petahana.
Beberapa pengkritiknya yang merayakan kepergiannya bahkan menuduhnya menggunakan burnout sebagai alasan untuk menyelamatkan sisa-sisa reputasi politiknya.
Terlepas dari apakah ini benar-benar burnout, atau upaya keluar dari situasi politik yang rumit, atau keduanya, beberapa orang pasti akan melihat kepergiannya sebagai pernyataan yang kuat bahwa penting untuk menetapkan batasan dan menghormati batas pribadi.
Jacinda Ardern sendiri mengatakan pada 2018, "Saya sama sekali bukan perempuan pertama yang melakukan banyak tugas sekaligus, dan dalam politik, ada banyak perempuan yang sudah setahap demi setahap membuka jalan bagi orang-orang untuk melihat masa kepemimpinan saya dan berpikir, ya, saya bisa melakukan pekerjaan itu dan menjadi seorang ibu".