Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Harryanto Aryodiguno
Dosen

Dosen Hubungan Internasional di Universitas Presiden

Beijing dan Taipei Mencari Simpati Luar Negeri, Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?

Kompas.com - 09/01/2023, 16:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis Tiongkok tahun 2022, pergantian direktur Kantor Urusan Dewan Negara seksi Taiwan telah menarik perhatian yang besar dari pengamat hubungan Taiwan dan Tiongkok Daratan.

Pada tanggal 28 Desember 2022, kolom "Kepemimpinan" di situs web Kantor Urusan Taiwan di Tiongkok Daratan memuat berita bahwa direktur Kantor urusan Taiwan Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok dan Kantor Urusan Dewan Negara seksi Taiwan telah dipegang oleh direktur Song Tao.

Song Tao sebelumnya adalah direktur Departemen Internasional Pusat dari Komite Pusat CPC.

Sepuluh hari kemudian, tepatnya tanggal 5-8 Januari 2023, rombongan legislatif Republik Tiongkok (Taiwan) yang dipimpin oleh mantan Ketua Umum Partai Kuo Min Tang (KMT) Johnny Chiang, beserta Wen Hua, Hsia, Sandy Yu, dan Wu Si Huai yang sama-sama berasal dari satu partai mengunjungi Indonesia.

Lantas apa hubungan pergantian ketua Dewan Urusan Taiwan di Tiongkok Daratan dan kunjungan anggota legislatif KMT di Taiwan ke Indonesia? Apa makna buat Taiwan maupun Indonesia?

Karena selain mengunjungi komunitas Tionghoa di Indonesia, anggota legislatif ini juga menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan beberapa anggota DPR RI dan akademisi Hubungan International di Indonesia.

Mari kita lihat kembali sejarah terpisahnya Tiongkok dan Taiwan dan hubungan dengan pemerintah Indonesia maupun masyarakat Tionghoa Indonesia pada saat berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada 1949.

Sekilas tentang Taiwan dan Daratan Tiongkok

Jepang menjajah Taiwan ketika Taiwan masih berada di bawah kekuasaan dinasti Qing pada tahun 1874. Tentu saja pendudukan Jepang terhadap Taiwan mendapat perlawanan yang sengit dari penduduk Taiwan.

Berbeda dengan negara penjajah lainnya, kecerdikan Jepang adalah melakukan Japanisasi dengan pendidikan selain tentunya dengan kekuatan senjata.

Proses pen-jepang-an di Taiwan berhasil dalam bidang pendidikan di Taiwan, dan berhasil membentuk pemikiran penduduk Taiwan bahwa mereka adalah bagian dari kekaisaran Jepang yang mempunyai tujuan mulia, yaitu memakmurkan Asia Timur.

Oleh karena itu, ketika Jepang kalah pada perang dunia ke-2, dan sesuai dengan "Deklarasi Kairo" bahwa Taiwan harus dikembalikan kepada Tiongkok, dalam hal ini Republik Tiongkok (pemerintahan nasionalis/KMT) menimbulkan gejolak di masyarakat Taiwan sendiri.

Sebagian generasi tua yang masih merasa bahwa diri mereka atau identitas mereka sebagai warga negara dinasti Qing yang digantikan oleh Republik Tiongkok tentu saja menyambut kembalinya Taiwan ke Tiongkok dengan suka cita.

Lantas, bagaimana dengan mereka yang telah ter-Japanisasi melalui pendidikan? Atau generasi muda saat itu?

Kedatangan pemerintah Republik Tiongkok ke Taiwan melalui Gubernur Jenderal Chen Yi telah menimbulkan rasa antipati dari generasi muda Taiwan saat itu, terutama pegawai negeri, polisi, tuan tanah, penguasa maupun mereka yang mendapat keuntungan selama masa pendudukan Jepang.

Terlebih pemerintah pusat dari Nanjing mengutus Gubernur Jenderal yang notabene bukan putra asli Taiwan, tentu saja kesalahpahaman dan perlawanan dari penduduk Taiwan kepada otoritas yang diutus dari pemerintah pusat tak pernah putus.

Itulah ketegangan pertama antara penduduk lokal Taiwan dengan pemerintah pusat di Nanjing yang saat itu masih dipegang oleh Republik Tiongkok atau Chiang Kai Shek.

Republik Tiongkok di bawah Chiang Kai Shek, pada awal-awal baru merdeka dari Jepang, juga tak putus-putusnya bertahan hidup menghadapi berbagai serangan dari oposisi yang tidak menyukai pemerintahan Republik Tiongkok, terutama dari Partai Komunis yang dipimpin oleh Mao Tze Tung dan kawan-kawan.

Seperti negara-negara lainnya yang baru bebas dari penjajahan asing, memang tidak gampang untuk menstabilkan berbagai bidang kehidupan seperti kesejahteraan, ekonomi, keamanan maupun kemakmuran rakyat.

Komunis menggunakan kesempatan ini untuk menggulingkan pemerintahan yang sah pada saat itu.

Perang saudara antara pemerintah pusat dalam hal ini tentara Chiang Kai Shek yang lebih dikenal dengan tentara Nasionalis atau KMT dengan gerilyawan komunis yang kemudian mengakibatkan kalahnya Chiang Kai Shek dan membuat pemerintah yang sah semakin terpukul mundur sampai wilayah Taiwan.

Inilah ketegangan kedua kalinya antara pemerintah Tiongkok (Kuomintang yang mengungsi ke Taiwan atau selanjutnya disebut Taiwan) dengan pemerintah baru di Tiongkok yang menamakan dirinya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang berasaskan nilai-nilai komunis.

Pemerintah Komunis Tiongkok yang ber-ibu kota di Beijing pada saat itu belum mendapat pengakuan dari dunia luar, meskipun secara de-facto saat itu komunis atau RRT telah berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Tiongkok.

Dunia internasional tetap mengakui pemerintah Chiang Kai Shek atau Republik Tiongkok yang ber-ibu kota di Taipei sebagai satu-satunya negara yang mewakili Tiongkok dan mendapat kursi di Dewan keamanan PBB.

Situasi Komunitas Tionghoa di Indonesia

Komunitas Tionghoa di Indonesia seperti yang kita ketahui, jauh sebelum adanya Indonesia atau sebelum Indonesia merdeka, telah terbelah menjadi tiga kelompok, baik secara pendidikan, kebiasaan sehari-hari, maupun pandangan politik.

Kita tahu ada kelompok pro Tiongkok dengan Tiong Hwa Hwee Koan-nya yang terkenal, kemudian ada kelompok pro Belanda atau yang merasa dirinya adalah kawula Belanda.

Kelompok terakhir yang pro dengan pembentukan negara Republik Indonesia berdaulat yang dipimpin oleh Liem Koen Hian dengan partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang terkenal saat itu.

Meskipun kedua kelompok berbeda pandangan politik dengan kelompok PTI, bukan berarti kedua kelompok “asing” tersebut tidak mempunyai kontribusi terhadap perjuangan pembentukan negara Republik Indonesia.

Contoh yang paling nyata adalah lagu kebangsaan Indonesia Raya pertama kalinya disebarluaskan oleh koran Sin-Po milik kelompok Tiong Hwa Hwee Kan yang berafiliasi ke Tiongkok.

Kemudian juga, para kelompok Tionghoa yang menjadi kawula belanda juga mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit di Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka pada 1945, kelompok PTI otomatis menjadi warga negara Indonesia, sesuai dengan pernyataan Presiden Soekarno pada waktu itu.

Bahwa kelompok Peranakan Tionghoa yang telah menyatakan dirinya orang Indonesia dan berjuang bersama dengan rakyat Indonesia adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia.

Kita lihat bagaimana dengan pandangan sikap maupun nasib dengan kelompok pertama dan kedua ini.

Kelompok kedua, jelas banyak yang memilih hijrah ke Belanda dan sebagian ada yang kembali ke Tiongkok.

Kelompok pertama yang bertahan di Indonesia tetap menyatakan diri mereka adalah warga negara Tiongkok dan bagian yang tak terpisahkan dari Tiongkok.

Republik Rakyat Tiongkok berdiri pada 1949. Di antara tahun 1940-1949, paham komunis Tiongkok telah masuk ke Indonesia dan menjadi pertentangan di antara kelompok masyarakat Tionghoa.

Presiden Soekarno tidak begitu peduli dengan kekisruhan di kelompok Tionghoa dan menganggap bahwa pertikaian tersebut tidak ada hubungannya dengan Indonesia.

Sementara itu, setelah perang dunia ke-2 berakhir, telah terjadi persaingan antara Amerika Serikat yang mewakili kaum kapitalis liberal dengan Uni soviet yang mewakili kaum komunis sosialis.

Sesuai dengan cita-cita Soekarno yang mewujudkan masyarakat yang merdeka, adil dan makmur, maupun menghapus penjajahan di atas dunia, maka Indonesia memilih tidak terlibat dengan perseteruan antara Amerika dan Uni soviet.

Bahkan dengan semangat politik luar negeri yang bebas aktif, Indonesia berhasil menjadi pemrakarsa berdirinya negara-negara anggota non-blok pada saat itu.

Indonesia memang mengakui berdirinya RRT pada 1949 di Tiongkok, tetapi bukan berarti Indonesia tidak mengakui keberadaan pemerintah Chiang Kai Shek pada saat itu.

Indonesia dari awal selalu menganggap perseteruan Tiongkok Komunis dan Tiongkok nasionalis adalah urusan rumah tangga Tiongkok yang hanya bisa diselesaikan oleh rakyat Tiongkok.

Indonesia mulai mengalihkan pengakuan kepada RRT ketika terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta di Indonesia sekitar tahun 1950-1957.

Republik Tiongkok yang beraliansi dengan Amerika Serikat dianggap mempunyai andil besar dalam mendanai pemberontakan tersebut.

Oleh karena itu, Indonesia mulai mengalihkan pengakuan kedaulatan kepada RRT, dan di dalam negeri, seluruh kegiatan komunitas Tionghoa yang berafiliasi dengan Tiongkok nasionalis dilarang.

Meskipun demikian, bukan berarti RRT telah berhasil menguasai seluruh kegiatan dan pemikiran masyarakat Tionghoa di Indonesia pada saat itu.

Melalui pemerintahan Soekarno, hak asasi masyarakat Tionghoa nasionalis dibatasi. Hasilnya masyarakat Tionghoa yang tidak mau tunduk dengan pemerintahan komunis Tiongkok memilih berintegrasi dengan bangsa Indonesia.

Sebagian memilih menjadi warga tanpa kewarganegaraan di Indonesia, artinya tidak memilih Tiongkok komunis maupun Indonesia sebagai kewarganegaraan mereka.

Kemesraan Indonesia dan RRT menjadi sirna ketika terjadi pemberontakan Gerakan 30 September yang dicurigai digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia dan yang mendapat dukungan Tiongkok Komunis saat itu.

Meskipun sampai saat ini, belum ada bukti kuat yang bisa membuktikan bahwa RRT mendukung kudeta berdarah di Indonesia pada 1965, tetapi di benak sebagian besar rakyat Indonesia maupun pemimpin kanan yang pro dengan Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto telah mengambil keputusan bahwa RRT adalah pendana utama kudeta berdarah di Indonesia dan dengan sepihak membekukan hubungan diplomatik dengan RRT.

Pembekuan hubungan diplomatik dengan RRT juga berimbas besar terhadap masyarakat Tionghoa pada saat itu.

Bukan saja terhadap masyarakat Tionghoa yang masih memegang kewarganegaraan RRT, tetapi masyarakat Tionghoa nasionalis yang tanpa kewarganegaraan maupun masyarakat Tionghoa yang dari awal telah berkontribusi besar dengan kemerdekaan Indonesia pada saat itu, contohnya pendukung PTI seperti yang telah ditulis di atas tulisan ini.

Tentu kita tahu, setelah membekunya hubungan Indonesia dengan RRT, Republik Tiongkok di Taipei selalu berusaha secara langsung maupun tak langsung melalui masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk memohon kepada Presiden Soeharto agar membuka hubungan diplomatik dengan Taipei.

Tetapi Soeharto menolak dengan alasan bahwa susah untuk membedakan Tionghoa pro komunis dan nasioalis.

Akhirnya Soeharto dan Taipei bersama-sama membentuk kantor badan Intelijen di masing-masing negara untuk memantau perkembangan dan pergerakan paham komunis.

Soeharto mengizinkan berdirinya kantor perwakilan Taipei di Indonesia dengan alasan kerjasama antikomunis.

Tetapi secara de facto, kantor perwakilan Taipei di Indonesia terus menjalin hubungan dengan masyarakat Tionghoa yang pro Taipei.

Dari ditutupnya segala aktivitas Tionghoa di Indonesia, pemerintah Taipei dalam kurun waktu 1967 sampai dengan awal 2000 berhasil memulangkan tidak sedikit keturunan Tionghoa di Indonesia ke Taipei untuk mendapat pendidikan Tionghoa di Taipei.

Awal tahun 2000, terjadi perubahan politik di Taipei. Gerakan pro kemerdekaan atau gerakan yang ingin memisahkan diri dari Tiongkok berhasil memegang tongkat kendali di eksekutif maupun legislatif Taiwan.

Dengan demikian, juga terjadi perbedaan pengakuan politik maupun garis keturunan Tionghoa di Indonesia.

Pemerintah Taipei dari awal 2000 hanya mengakui keturunan Tionghoa yang perpaspor Taiwan dan belum memiliki warga negara Indonesia adalah keturunannya, demikian juga dengan RRT.

Masyarakat Tionghoa di Indonesia, setelah jatuhnya Orde Baru dan mengalami kesekian kalinya kasus diskriminasi dan kerusuhan berdarah juga semakin sadar pentingnya menjadi warga, bangsa dan bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia.

Untuk itu, sebenarnya pengakuan dari Taipei maupun Beijing itu tidak penting untuk Tionghoa Indonesia. Akan tetapi, bagi Taipei dan Beijing, masyarakat keturunan Tionghoa Indonesia dan Indonesia sendiri sebagai negara besar di dunia maupun pemimpin besar di Asia Tenggara tetapi memegang peran vital buat kelangsungan perdagangan, perekonomian, maupun hubungan internasional Beijing dan Taipei.

Oleh karena itu, Beijing mengangkat Dr. Song Tao sebagai direktur Kantor Khusus Urusan Taiwan di Beijing, maka kelompok nasionalis di Taipei harus tetap menunjukkan kepeduliannya dengan masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara.

Song Tao meskipun bukan orang Fujian/Hokkien asli, tetapi mempunyai pengalaman bekerja dan hidup bersama dengan rakyat di provinsi Fujian selama belasan tahun.

Song Tao diyakini mempunyai keahlian komunikasi dan mengerti budaya Hokkien yang sama dengan masyarakat Taipei maupun sebagian besar masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara.

Meskipun secara kasat mata, Kantor Urusan Taiwan di Tiongkok, tidak ada hubungannya dengan masyarakat Tionghoa di Asia Tenggara, tetapi naiknya Song Tao telah menjadi satu bukti nyata bahwa Beijing ingin lebih mendekatkan diri dengan masyarakat Tionghoa di bagian selatan Tiongkok melalui pendekatan budaya.

Oleh karena itu, delegasi partai nasionalis yang dipimpin oleh legislatif asal KMT, Doctor Johny Chiang berusaha mencuri start untuk melakukan pendekatan dengan pemerintah maupun rakyat Indonesia.

Pada Tanggal 6 Januari 2023, Johny Chiang dan rombongan di depan beberapa anggota DPR RI, akademisi Indonesia, maupun perwakilan masyarakat Taipei di Indonesia mengakui betapa pentingnya peran Indonesia untuk menjadi jembatan agar pemerintahan Taipei bisa ikut aktif berperan serta di aktivitas negara-negara Asia Tenggara.

Momentum ini harus dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia dengan politik luar negerinya yang bebas aktif untuk melakukan pendekatan kepada masyarakat dunia, maupun pendekatan kepada dua China yang masih berseteru, bahwa di era milenial ini kita mempunyai kepentingan maupun musuh bersama.

Kepentingan untuk mewujudkan masyarakat dunia yang makmur dan sejahtera dan musuh bersama yang harus diberantas, terorisme, penyakit menular seperti covid-19 maupun kemiskinan global.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com