Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ilmuwan Negara Asing Berlomba Olah Urine Jadi Pengganti Pupuk Sintetis

Kompas.com - 09/12/2022, 09:00 WIB
Irawan Sapto Adhi

Penulis

Sumber DW

Penulis: DW/ Beatrice Christofaro

KOMPAS.com - Semua mata tertuju pada sistem pangan ketika perang Rusia di Ukraina semakin mendorong kenaikan harga pupuk.

Para ilmuwan berpikir urine bisa menjadi solusi untuk membantu tanaman tumbuh dan memperkuat ketahanan pangan.

Orang-orang mungkin tidak menyangka Battleboro, sebuah kota yang indah di negara bagian Vermont, Amerika Serikat, adalah tuan rumah lomba pipis.

Baca juga: Daftar Negara Teratas Pemasok Pupuk ke Indonesia

Setiap tahun, sekitar 200 peserta bersaing mengumpulkan urine paling banyak untuk memenangkan piala. Dan yang lebih penting, untuk menyuburkan tanaman.

Acara ini diselenggarakan oleh Rich Earth Institute, sebuah organisasi nirlaba lokal yang melakukan pasteurisasi urine yang disumbangkan dan memasoknya ke pertanian untuk digunakan sebagai pengganti pupuk sintetis.

Urine mengandung nitrogen, fosfor, kalium, dan mikronutrien, yang semuanya bisa membantu tanaman tumbuh.

Untuk mendukung program itu, lembaga tersebut memasang toilet khusus di sebagian besar rumah para sukarelawan, yang dapat memisahkan urine dari sumbernya, sehingga nantinya dapat dipompa keluar dan diangkut ke tempat yang dibutuhkan.

"(Para sukarelawan) sangat bangga dengan apa yang mereka lakukan," kata Abraham Noe-Hays, Direktur Penelitian Rich Earth Institute. "Mereka melihatnya sebagai cara lain untuk mendaur ulang."

Sistem pangan lebih tangguh karena urine?

Mengubah urine menjadi pupuk tidak terbatas pada komunitas ini. Perusahaan spin-off Rich Earth sedang mengembangkan sistem yang bisa digunakan di gedung-gedung sehingga dapat memperluas program ke tempat lain.

Lebih jauh di negara-negara seperti Swedia, Perancis, Jerman, Afrika Selatan, dan Australia, organisasi lain bekerja untuk menggunakan kembali limbah manusia dalam upaya mengurangi ketergantungan pada pupuk komersial, yang memiliki serangkaian tantangan lingkungan dan ekonomi.

Baca juga: Buka KTT G20, Jokowi: Jika Masalah Pupuk Tak Selesai, 2023 Jadi Lebih Suram

Pupuk nitrogen sintetis mencemari air tanah dan merupakan pendorong perubahan iklim yang signifikan.

Produksi dan penggunaan pupuk tersebut menyumbang 2,4 persen dari emisi global, menurut sebuah studi tahun 2021.

Cadangan fosfor global juga menyusut dan petani di seluruh dunia telah menghadapi kekurangan dengan melonjaknya harga sejak Rusia, pengekspor pupuk utama, menginvasi Ukraina.

Para ilmuwan telah lama menilai sumber daya yang ditemukan dalam kotoran manusia sebagai cara untuk mengurangi ketergantungan impor, kata Prithvi Simha, seorang peneliti di Universitas Ilmu Pertanian Swedia (SLU).

"Ketika ada guncangan pada rantai pasokan, bagaimana kita menanam makanan? Mendaur ulang urine, kita menambah ketahanan sistem pangan kita," katanya.

Menurut Simha, sekitar sepertiga dari semua nitrogen dan fosfor yang digunakan dalam pertanian secara global berpotensi digantikan oleh nutrisi yang diperoleh dari urine.

Persentase ini tumbuh secara dramatis untuk negara-negara seperti Uganda atau Etiopia, di mana terdapat populasi yang besar untuk menyediakan urine, tetapi tidak banyak pupuk sintetis yang digunakan karena terlalu mahal.

Baca juga: Putin: Rusia Siap Beri Pupuk Gratis ke Negara Berkembang

Dari "emas cair" hingga pupuk kering

Simha adalah bagian dari tim peneliti yang mengembangkan cara untuk mengubah urine menjadi pupuk padat dengan volume lebih kecil dan terlihat seperti pelet sintetis yang digunakan kebanyakan petani saat ini.

Perusahaan spin-off SLU, Sanitation 360, yang berbasis di Pulau Gotland, Swedia, melengkapi toilet dengan kaset yang membuat urine menjadi alkali.

Toilet Laufen yang menggunakan teknologi Sanitation 360 untuk mengeringkan urine telah dipasang di Malmo, Swedia.Sanitation 360 via DW Toilet Laufen yang menggunakan teknologi Sanitation 360 untuk mengeringkan urine telah dipasang di Malmo, Swedia.

Proses ini memungkinkan nutrisi yang dikandungnya tetap stabil sementara kipas menguapkan air, dan meninggalkan bubuk kering.

"Ada cukup banyak chemistry yang kompleks di balik bagaimana kami mewujudkan ini, tetapi pada kenyataannya itu cukup sederhana untuk diterapkan," kata Simha.

Sanitation 360 telah bekerja sama dengan perusahaan yang menyewakan toilet portabel. Langkah ini meningkatkan pengumpulan urine dari 1.500 liter menjadi 25.000 liter dan tahun depan, 250.000 liter ditargetkan akan tercapai.

Baca juga: Rusia Nyatakan Siap Tingkatkan Ekspor Bahan Pangan dan Pupuk

Jika pupuk urine ingin menjadi mainstream maka harus mampu bersaing dengan pupuk sintetis yang diproduksi secara massal.

Upaya itu termasuk membuat disertifikasi oleh regulator nasional karena beberapa bagian dunia masih memberi label urine yang dipisahkan dari sumbernya sebagai limbah.

Namun, opsi itu juga melibatkan pembuatan teknologi dan peralatan tersedia secara luas. Toilet pengalih urine adalah bagian penting dari teka-teki.

Pisahkan sebelum didaur ulang

Jika kita ingin menggunakan kembali air kencing untuk pupuk, itu perlu dipisahkan dari kotoran manusia, juga air toilet, dengan cara yang sama kita memisahkan sampah daur ulang, seperti plastik dan sampah lainnya.

Toilet pengalih urine bisa dari jenis "flush atau dry" dan biasanya bekerja dengan mengumpulkan limbah cair di baskom khusus di depan toilet.

Model-model ini sebenarnya pertama kali dikembangkan sebagai cara untuk mengurangi polusi air.

Urine hanya menghasilkan 1 persen dari air limbah di pabrik pengolahan Eropa, tetapi itu juga menjadi salah satu sumber nutrisi utama, seperti nitrogen yang mencemari dan merusak sungai dan danau.

Tove Larsen, seorang ilmuwan senior di Institut Sains dan Teknologi Perairan Federal Swiss (Eawag), berpendapat, menggunakan kembali urine yang dialihkan pada sumbernya menjadi pupuk bukanlah hal yang sulit.

Baca juga: Usai Bertemu Jokowi, Putin Nyatakan Siap Penuhi Permintaan Pupuk Negara Sahabat, Termasuk Indonesia

"Jika tidak, Anda mengekstrak emas dari air limbah Anda dan bukan mendaur ulangnya ke industri, Anda hanya membuangnya," katanya.

Teknologi yang berkembang

Menurut Larsen, sejauh ini, salah satu tantangan utama toilet pengalih urine adalah toilet tersebut dianggap tidak praktis untuk digunakan dan diproduksi.

Namun, kata dia, toilet model baru yang dikembangkan oleh perusahaan Swiss, Laufen dan Eawag, diharapkan bisa mengubah itu.

Toilet pengalih urine adalah kunci.DW Toilet pengalih urine adalah kunci.

Model ini menggunakan "efek teko".

Di bagian atas, di depan mangkuk, dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan urine menetes ke dalam lubang terpisah mirip dengan saat teh menetes ke bagian luar pot saat dituangkan pada sudut tertentu.

Sistem penyiraman juga dirancang untuk membersihkan bagian atas dengan sedikit air, cukup untuk menghilangkan bau yang ditimbulkan. Keuntungan utama dari model baru ini adalah dapat digunakan dan diproduksi seperti toilet keramik lainnya, menurut Larsen.

Untuk saat ini, mereka terbatas hanya pada beberapa bangunan di seluruh dunia. Namun, para ilmuwan berharap bahwa ketika teknologi ini perlahan menyebar, mendaur ulang "emas cair" pada akhirnya akan semudah semua orang duduk dan membuang air kecil.

Baca juga: Pengusaha Amerika Ciptakan Pupuk Kompos Berbahan Mayat Manusia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

WHO: Penggunaan Alkohol dan Vape di Kalangan Remaja Mengkhawatirkan

WHO: Penggunaan Alkohol dan Vape di Kalangan Remaja Mengkhawatirkan

Global
Kunjungan Blinken ke Beijing, AS Prihatin China Seolah Dukung Perang Rusia

Kunjungan Blinken ke Beijing, AS Prihatin China Seolah Dukung Perang Rusia

Global
Rusia Serang Jalur Kereta Api Ukraina, Ini Tujuannya

Rusia Serang Jalur Kereta Api Ukraina, Ini Tujuannya

Global
AS Berhasil Halau Serangan Rudal dan Drone Houthi di Teluk Aden

AS Berhasil Halau Serangan Rudal dan Drone Houthi di Teluk Aden

Global
Petinggi Hamas Sebut Kelompoknya akan Letakkan Senjata Jika Palestina Merdeka

Petinggi Hamas Sebut Kelompoknya akan Letakkan Senjata Jika Palestina Merdeka

Global
Inggris Beri Ukraina Rudal Tua Canggih, Begini Dampaknya Jika Serang Rusia

Inggris Beri Ukraina Rudal Tua Canggih, Begini Dampaknya Jika Serang Rusia

Global
Siapa Saja yang Berkuasa di Wilayah Palestina Sekarang?

Siapa Saja yang Berkuasa di Wilayah Palestina Sekarang?

Internasional
Ikut Pendaftaran Wajib Militer, Ratu Kecantikan Transgender Thailand Kejutkan Tentara

Ikut Pendaftaran Wajib Militer, Ratu Kecantikan Transgender Thailand Kejutkan Tentara

Global
Presiden Ukraina Kecam Risiko Nuklir Rusia karena Mengancam Bencana Radiasi

Presiden Ukraina Kecam Risiko Nuklir Rusia karena Mengancam Bencana Radiasi

Global
Jelang Olimpiade 2024, Penjara di Paris Makin Penuh

Jelang Olimpiade 2024, Penjara di Paris Makin Penuh

Global
Polisi Diduga Pakai Peluru Karet Saat Amankan Protes Pro-Palestina Mahasiswa Georgia

Polisi Diduga Pakai Peluru Karet Saat Amankan Protes Pro-Palestina Mahasiswa Georgia

Global
Pemilu India: Pencoblosan Fase Kedua Digelar Hari Ini di Tengah Ancaman Gelombang Panas

Pemilu India: Pencoblosan Fase Kedua Digelar Hari Ini di Tengah Ancaman Gelombang Panas

Global
Kim Jong Un: Peluncur Roket Teknologi Baru, Perkuat Artileri Korut

Kim Jong Un: Peluncur Roket Teknologi Baru, Perkuat Artileri Korut

Global
Anggota DPR AS Ini Gabung Aksi Protes Pro-Palestina di Columbia University

Anggota DPR AS Ini Gabung Aksi Protes Pro-Palestina di Columbia University

Global
Ditipu Agen Penyalur Tenaga Kerja, Sejumlah Warga India Jadi Terlibat Perang Rusia-Ukraina

Ditipu Agen Penyalur Tenaga Kerja, Sejumlah Warga India Jadi Terlibat Perang Rusia-Ukraina

Internasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com