Tom Andrews, utusan khusus PBB untuk masalah hak asasi manusia di Myanmar (The Conversation, 28 Juli 2022) memberikan gambaran kebrutalan rezim militer. Junta telah membunuh paling kurang 1.600 penduduk sipil dan menyebabkan 500.000 orang tercerai-berai.
Separuh jumlah penduduknya (jumlah penduduk Myanmar 54 juta jiwa) jatuh miskin. Tiga belas juta orang menghadapi kerawanan pangan. Data terbaru PBB menunjukkan, lebih dari 857.000 mengungsi akibat kekerasan sejak kudeta 1 Februari 2021.
Dari fakta di lapangan, tergambar bahwa junta militer yang berkuasa tidak peduli pada usaha ASEAN, termasuk terhadap lima butir konsensus; tidak mau kerja sama dengan ASEAN untuk menciptakan perdamaian.
Baca juga: Jokowi Bertemu PM Singapura, Bahas G20 hingga Isu Myanmar
Ini adalah sebuah sikap tak terpuji dari Myanmar sebagai anggota ASEAN. Sikap Myanmar itu juga sangat mempermalukan ASEAN karena mengesankan ASEAN tak berdaya menghadapi ulahnya.
Barangkali benar pendapat Lina Alexandra, dari CSIS Jakarta, para pemimpin ASEAN gagal memahami militer Myanmar dan motivasinya. Kata Alexandra, mereka beranggapan militer Myanmar sama (dengan militer lain di kawasan ini). Padahal, mereka adalah semacam binatang politik, pilitical animal (Aljazeera, 3 Agustus 2022).
Rasanya, melihat realitas di lapangan hingga saat ini, kecil kemungkinan militer akan berhenti melakukan kekerasan terhadap rakyat. Selama militer masih berkuasa, maka mereka yang haus kekuasaan akan seperti itu.
Pada akhirnya, harus diakui bahwa penanganan krisis Myanmar di ASEAN mencerminkan perpecahan dalam organisasi dan sifatnya yang khas. Meskipun Piagam ASEAN menetapkan tujuan dan prinsip kerja organisasi yang luas, ia tidak memberikan pedoman yang jelas tentang cara menangani kudeta di negara anggota yang tidak hanya memicu ketidakstabilan domestik tetapi juga regional.
Padahal jelas, seperti dinyatakan dalam Deklarasi ASEAN. Bahwa ASEAN dibentuk sebagai perwakilan “kehendak kolektif negara-negara Asia Tenggara untuk mengikat diri bersama dalam persahabatan dan kerja sama dan, melalui upaya dan pengorbanan bersama, mengamankan rakyat mereka dan untuk berkat perdamaian, kebebasan, dan kemakmuran."
Rasanya, tidak bisa dipungkiri bahwa Myanmar menjadi batu sandungan terwujudnya tekad bersama itu. Maka, semestinya, Myanmar harus menanggung akibatnya
Pertanyaan terakhirnya, beranikah ASEAN menjatuhkan tindakan tegas terhadap Myanmar saat ini?
Kalau pada KTT 40 di Phnom Penh tetap belum dijatuhkan "hukuman" keras bagi Myanmar, maka ini akan menjadi tugas berat Indonesia yang tahun depan akan menduduki kursi kepemimpinan ASEAN.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.