SEHARI sebelum Paus Fransiskus mengunjungi Bahrain untuk menghadiri penutupan “Bahrain Forum for Dialogue: East and West for Human Coexistence”, di Bali digelar "G20 Religion Forum".
Kedua forum itu, sepertinya hendak mengingatkan siapa saja bahwa dengan siapa saja kita berjumpa, bagaimana kita harus bersikap; bukan mengajak perang tapi mendudukkan kembali sebagai saudara sekehidupan. Kita sama-sama peziarah menuju ke keabadian.
Bukankah, perjalanan umat manusia dalam pengembaraan di Bumi ini merupakan misteri yg hanya digenggam oleh Sang Pencipta; Sang Penulis dan Pemegang Kitab Kehidupan. Maka, menjadikan sesama sebagai saudara sekehidupan, sangatlah penting.
Baca juga: Paus Fransiskus Pimpin Misa di Bahrain: Tunjukkan Kebaikan meski Diperlakukan Buruk
Sejarah telah mengajarkan pahitnya perpecahan; yang bahkan juga terjadi di sekitar kita. Tetapi, anehnya, di negeri ini ada saja yang sengaja menanam dan menebarkan benih-benih perpecahan untuk berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik kekuasaan.
Dari fakta di lapangan, kita juga menyaksikan konflik lama muncul kembali, bahkan dengan sengaja dimunculkan lagi. Terjadi konflik kepentingan, entah kepentingan ekonomi, politik, budaya, maupun agama.
Kita juga menyaksikan, dunia membuang sesama ‘yang dianggap tak berguna, yang berbeda berguna’, terjadi pelanggaran hak-hak asasi di mana-mana, entah di negara maju, maupun berkembang. Maka itu perlu dibangun sebuah “hidup persaudaraan dalam kebersamaan".
Dalam persaudaraan yang terbuka antara kita, dimungkinkan untuk mengakui, menghargai, dan mengasihi setiap orang, terlepas dari kedekatan fisiknya, terlepas dari tempat mereka dilahirkan atau tinggal, terlepas dari latar-belakang sosial-budayanya.
Kata Paus Fransiskus, September lalu dalam VII Congress of Leaders of World and Traditional Religions, di Astana, Kazakhstan, "Perdamaian lahir dari persaudaraan; ia tumbuh melalui perjuangan melawan ketidakadilan dan ketidaksetaraan; itu dibangun dengan mengulurkan tangan kepada orang lain."
Sampai di sini, kita merasakan kiranya kedua forum itu, di Bahrain dan di Bali, tidak hanya memiliki semangat yang sama, tetapi bahkan dijiwai oleh roh yang sama: Roh Persaudaraan. Roh persaudaraan antar-umat manusia sangatlah penting bagi kelangsungan hidup umat manusia dan perdamaian dunia.
Kata orang bijak dari Balkh (Afganistan), Jalal al-Din Muammad Rumi (1207-1273), “Ritual doa mungkin berbeda di setiap agama, tetapi kepercayaan (dasar) tidak pernah berubah.”
Agama-agama berbeda karena keadaan masing-masing bangsa yang menerimanya berbeda. Kitab suci mereka berbeda-beda, tetapi itu tidak meniadakan satu sama lain; mereka hanya memberikan cahaya tambahan satu sama lain.
Di Manama, Bahrain, pertemuan dua hari dimaksudkan untuk membangun jembatan dialog antara para pemimpin agama, sekte, pemikiran, budaya, dan media. Forum ini diselenggarakan oleh Bahrain bekerja sama dengan Al Azhar, Gereja Katolik, Dewan para Tetua Muslim, dan lembaga internasional lainnya yang peduli terhadap dialog , koeksistensi manusia, dan toleransi.
Baca juga: Paus Fransiskus di R20: Agama Tak Dapat Menghindar dari Dinamika Dunia
Semua itu bisa dicapai, bila ada dialog antar-umat beriman. Dalam dialog dituntut adanya kerelaan hati dan pikiran untuk membuka diri, untuk bisa saling memahami dan menghormati keyakinannya masing-masing, untuk saling menerima perbedaan sebagai rahmat Allah. Kata Paus di Kenya (2016), dialog antaragama merupakan hal yang sulit tetapi harus dilakukan (BBC NEWS).
Karena itu dibutuhkan keberanian untuk terus melakukan dialog, untuk menjadi inisiator sekaligus promotor dialog lintas agama. Hal itu perlu dilakukan agar semua orang bisa hidup bersama-sama secara rukun dan damai, saling menghormati dalam perbedaan. Ibarat kata menyusun mosaik kehidupan manusia.