Penulis: Marjory Linardy/DW Indonesia
ZURICH, KOMPAS.com - Pingkan Lydia Mamesah, panggilannya Lydia, lahir di Pekanbaru, Riau. Sebelum berimigrasi ke Eropa, di Indonesia pun dia sudah pernah tinggal di beberapa kota berbeda, karena ayahnya bekerja di perusahaan minyak.
Namun, sejak SMA mereka menetap di Jakarta, karena orangtua Lydia besar di Jakarta, dan mereka ingin dia mengalami masa remajanya di Jakarta.
Setelah lulus SMA ia berkuliah Strata 1 (S1) di Universitas Indonesia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), jurusan biologi. Setelah itu, dia juga sempat bekerja beberapa bulan di bidang biologi laut.
Baca juga: Cerita WNI Jual Makanan Indonesia di Warung Mobil Jerman, Sedia Mi Ayam hingga Batagor
Tapi ia segera sadar, dari segi pendapatan profesi itu kurang sesuai dengan apa yang dia inginkan. Itu bidang karier yang masih kurang mendapat perhatian dari banyak orang atau pemerintah, kata Lydia setelah berpikir sebentar.
Setelah enam bulan dia berusaha mencari pekerjaan yang lebih sesuai dengan keinginan dan supaya tidak bergantung pada orangtua lagi. Akhirnya ia mulai bekerja di bidang perbankan. Tapi tidak di bank, melainkan sebagai foreign exchange broker, atau pedagang perantara valuta asing.
Lydia bercerita, kliennya ketika itu adalah semua bank yang ada di Jakarta. “Jadi lumayan sih, network-nya,” kata Lydia.
Ketika itu, lewat pekerjaannya, dia sudah bertemu dengan pria Belgia yang sekarang jadi suaminya. Dari pacarnya itulah dia mengenal orang-orang yang bekerja di negara lain. Termasuk teman-temannya yang bekerja di bidang supply chain atau rantai pasokan di Singapura.
Dari mereka ia terinspirasi untuk membangun karier di bidang itu juga. Sejak itu dia mulai menabung, agar bisa mengambil gelar Master atau S2 di bidang supply chain.
Setelah cukup menabung dan menganalisa kemungkinan, dia memutuskan mengambil S2 di Belgia, tepatnya di Antwerp Management School (AMS), Fakultas Global Supply Chain Management.
Keputusan itu ia ambil, karena di jurusan itu setengah kuliah berupa teori, dan setengahnya lagi berupa kerja di lapangan.
“Jadi semacam praktek konsultasi langsung ke perusahaan-perusahaan. Jadi ada pengalaman langsung dengan perusahaan yang bergerak di bidang supply chain.”
“Asia mahal juga, rata-rata,“ katanya sambil tertawa, “Misalnya Singapura, Hong Kong, mahal.” Jadi dia memutuskan ke Eropa, karena banyak sekolah tinggi di Eropa yang mendapat subsidi. Pilihannya adalah Jerman, Belgia atau Belanda, karena ketiga negara itu berpengalaman banyak dalam bidang logistik.
Baca juga: Cerita WNI Sukses Bekerja di Amerika walau di Luar Bidang Studinya
Lydia menjelaskan, memang bidang supply chain sangat berbeda dengan biologi laut yang jadi bidangnya ketika kuliah di Indonesia dulu. Tetapi ia bisa melanjutkan ke bidang baru itu, karena AMS melihat bahwa saat dua tahun pertama kuliah di FMIPA, dia belajar ilmu alam yang umum, seperti matematika, fisika dan kimia.
Selain itu, memang Lydia juga harus lulus tes untuk di jadi mahasiswa AMS. Proses kuliahnya sendiri berlangsung dalam bahasa Inggris, begitu kata Lydia.
Dia menceritakan juga, sebetulnya ketika selesai SMA dan akan mulai berkuliah, dia belum punya ide apa profesi yang diinginkan. Dia sempat ingin menjadi jurnalis, katanya sambil tertawa. Akhirnya dia memutuskan memilih bidang yang seumum mungkin, agar nanti bisa diperdalam jika perlu.
Jadi ketika berkuliah di bidang biologi, dia tidak terlalu penuh gairah untuk mendalami bidang itu, melainkan karena suka ilmu pengetahuan alam, juga konsep analisis dan penelitian.
Jadi ketika beralih ke bidang supply chain, dia tidak terlalu merasa kehilangan bidang biologi. Ketika menjadi “broker” salah satu yang diuji apakah dia mampu mengingat angka.
“Karena saya memang suka angka dan analisa, itulah yang menjadi benang merah karier sampai sekarang,” begitu dijelaskan Lydia. Sekarang, kariernya sudah jelas di bidang supply chain.