Thomas Hobbes dalam karyanya yang berjudul Leviathan, menjelaskan bahwa salah satu alasan antropologis mengapa kondisi alamiah manusia diwarnai konflik dan peperangan adalah competition, diffidence, dan glory (persaingan, curiga, dan nafsu akan popularitas).
Persaingan lahir karena terbatasnya jumlah barang kebutuhan ataupun sumber daya, curiga mengakar dari dimensi rasionalitas atas kewaspadaan, sedangkan nafsu akan popularitas adalah naluri manusia untuk mengejar prestise.
Agar negara-negara besar dapat survive, terkadang berbagai tindakan rasional harus dilakukan, termasuk penggunaan cara-cara kekerasan dalam mengakuisisi sumber daya maupun meraih pengaruh kekuasaan.
Hal ini tentunya turut berkontribusi pada kondisi anarki dalam dinamika politik internasional saat ini.
Dari poin-poin tersebut, tentunya tidak mengherankan bagi para kaum realis, termasuk dalam hal ini juga penulis, menganggap bahwasanya perdamaian dunia hanyalah sebuah omong kosong belaka, karena berangkat dari kondisi real (nyata) dari dinamika politik global yang terjadi.
Meskipun terdengar sebagai suatu pemikiran yang pesimistik, bukan berarti realisme tidak memiliki konsep yang menjadi syarat utama bagi terwujudnya perdamaian.
Morgenthau membangun sebuah argumen penting, bahwa tujuan hubungan internasional, yaitu membangun perdamaian dunia yang terdiri atas negara-negara berdaulat hanya dapat diraih dengan dua cara.
Pertama, adanya keseimbangan kekuasaan (balance of power), sebagai mekanisme otonom dari kekuatan sosial yang termanifestasi dalam perebutan kekuasaan dalam kancah politik internasional.
Kedua, adanya batasan normatif yang tegas berbentuk hukum internasional, moralitas internasional, serta opini publik dunia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.