"Ketika keluhannya semakin memburuk, apa pun keluhannya hanya akan diberikan paracetamol (panadol). Seluruh deportan yang kami wawancara mengatakan bahwa tahanan hanya akan dibawa ke rumah sakit ketika sudah dalam kondisi sudah sangat parah, 'Tunggu sekarat, baru bawa pergi hospital'," terang laporan tersebut.
Baca juga: Dubes RI di Kuala Lumpur Persilakan Rohana Pilih Jadi WNI atau Warga Malaysia
Pengabaian itu dialami oleh deportan bernama Aris, menurut hasil wawancara beberapa deportan lainnya.
Sebelum meninggal, Aris mengeluh sakit, badannya lemas, dan beberapa kali mengalami pingsan.
Namun, dia tidak kunjung mendapatkan perawatan kesehatan.
Pada 25 September 2021 pagi hari, Aris kembali pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Dua jam kemudian ia dinyatakan meninggal.
"Itu kan menunjukkan bahwa PTS (Pusat Tahanan Sementara—yang disebut Depot Tahanan Imigresen) gagal menyediakan layanan Kesehatan, gagal menghormati hak tahanan imigrasi untuk mengakses layanan Kesehatan yang tersedia di Sabah," kata Abu.
Jerald mengatakan di DTI tidak ada dokter, hanya ada asisten medis.
"Memang kekurangan dari segi keterampilan seorang dokter," kata mantan Ketua Komnas HAM Malaysia itu.
Namun, Konsul Jenderal RI di Kinabalu, Rafail mengatakan ada dokter di tiga DTI yang dia pantau, yaitu di Menggatal, Papar, dan Sandakan.
"Rumah tahanan itu menyediakan dokter. Jadi pemeriksaan rutin, bahkan kalau ada yang sakit mereka tinggal menyampaikan. Kalau sakitnya parah, tentu akan dibawa ke rumah sakit," kata Rafail.
Meski demikian, Rafail mengakui bahwa ada masalah lain terkait sanitasi yang memang mengganggu kesehatan para deportan di DTI.
Dia sendiri menyaksikan kondisi para deportan yang banyak mengalami penyakit kulit.
"Saya melihat sendiri, memang masalah penyakit kulit, mereka itu banyak yang gatal-gatal dan sebagainya. Saya menyimpulkan mereka mungkin ketika mandi tidak bersih, tidak menggunakan sabun, dan sebagainya," kata Rafail.
Heni menjelaskan kondisi DTI yang sering kali melebihi kapasitas membuat buruknya sanitasi menjadi salah satu masalah yang dialami para deportan.
Di DTI Tawau, per Jumat (24/6/2022) jumlah deportan mencapai lebih dari 2.000 orang, sementara kapasitas DTI hanya 1.500 saja.
"Yang dikeluhkan selama ini memang fasilitas, misalnya ruang tahanan yang sempit, WC yang selalu penuhlah karena banyaknya tahanan, kemudian mungkin makanan juga dikeluhkan. Tapi ini sudah saya sampaikan ke pihak imigrasi untuk terus diupdate.
"Kalau memang tidak, kami biasanya intervensi dengan memberikan bantuan, seperti misalnya sabun, sarung. Untuk fasilitas, kami hanya bisa meminta mereka, agar ruang tahanan tidak berjubel dan sebagainya," kata Rafail menambahkan.
Rafail mengatakan pihaknya juga akan berkomunikasi dengan pihak imigrasi Malaysia untuk mengevaluasi masalah-masalah yang menjadi laporan TPF KBMB.
Sementara itu, Abu mengatakan pihaknya sudah menindaklanjuti laporan ini ke Suhakam, Komnas HAM, sampai ke PBB, tapi belum mendapatkan respons.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.