SIANG di hari Jumat musim panas yang sejuk itu, saya duduk bersama jamaah mendengarkan khotbah di masjid IMAAM Center, Maryland, Amerika Serikat.
Di atas mimbar, seorang khatib berjenggot tebal mencoba menjawab pertanyaan mengapa Tuhan seperti diam saja pada tragedi kemanusiaan yang menimpa sebuah sekolah di Texas baru-baru ini?
Mengapa Dia tidak mencegah pembunuhan biadab pada 19 anak sekolah itu? Bukankah Tuhan maha kuasa dan maha mengetahui? Mengapa Dia seolah tak peduli? Ke mana sifat Maha Kasih itu?
Pertanyaan itu pernah saya baca dari seorang penganjur ateisme, Sam Harris. Dia bahkan memberi kesimpulan atas pertanyaan itu: “Either God can do nothing to stop catastrophes like this, or he doesn't care to, or he doesn’t exist.”
Entah Tuhan tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghentikan bencana seperti itu, kata Harris, atau Dia tidak peduli, atau bahkan memang (sebenarnya) Dia tidak ada.
Sang khatib dengan runut dan argumentatif menjawab pertanyaan teologis yang genting tersebut.
Dia menjelaskan bahwa Tuhan memang tidak melakukan intervensi pada tindakan manusia. Manusia memiliki free will.
Kalau Tuhan melakukan intervensi pada satu tindakan, maka ia seharusnya juga akan melakukan intervensi pada semua tindakan lain.
Kalau itu terjadi, maka kehendak bebas atau kebebasan untuk bertindak menjadi tidak ada. Lalu apa gunanya konsep pahala dan dosa? Apa pentingnya surga dan neraka jika kejahatan dicegah sejak awal?
Tapi yang jadi korban ini anak-anak, Pak. Kok Tuhan tega membiarkan mereka mati?
Khatib menjawab bahwa hidup ini sementara, anakku. Semua orang akan mati di usia yang berbeda dan dengan cara yang berbeda. Mati hanyalah soal waktu.
Yang paling penting, kata dia, bukan soal kapan seseorang berpulang, karena toh kehidupan memang pada dasarnya temporer.
Yang terpenting adalah setiap tindakan dalam hidup yang singkat ini akan dipertanggungjawabkan di kehidupan yang abadi.
Penderitaan dari ketidak-adilan di dunia ini sifatnya temporer belaka, nyaris tak punya arti dibanding kehidupan nanti yang kekal.
Tentu dia tidak mendukung pembiaran pada kejahatan. Di awal khutbah, dia menegaskan bahwa setiap Muslim memiliki kewajiban untuk mencegah kemungkaran: dengan tangan kekuasaan kalau mungkin, bisa dengan perkataan, atau setidaknya dengan kutukan dalam hati.
Terlepas dari setuju atau tidak setuju dengan isi khotbah sang khatib, namun cara dia mengemukakan pikiran di atas mimbar sangat baik.
Dia mengajak jamaah ikut berpikir. Dan semua itu disampaikan dengan gaya seorang narasumber yang sedang bicara di forum seminar atau kelas ilmiah. Tenang. Sama sekali tidak meledak-ledak.
Di tengah khotbah, dia meminta jamaah bergeser ke depan, mengisi ruang-ruang kosong shaf. Khotbah yang santai.