Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Evolusi Partai Komunis China yang Semakin Membuat Grogi Dunia

Kompas.com - 07/06/2022, 11:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

CHINA lebih dulu menumbangkan tatanan aristokratik ketimbang Rusia. Sejak akhir abad ke 18, Sun Yat Sen telah melancarkan belasan pemberontakan melawan Dinasti Qing dan berhasil menumbangkan the last emperor tahun 1911.

Lalu Republik China berdiri. Emperor terakhir itu secara resmi turun tahta di awal tahun 1912.

Tapi, revolusi China saat itu dibangun dengan semangat nasionalisme antifeudalisme, bukan dengan semangat komunisme.

Sementara di Rusia, secara resmi Tsar Nicholas II turun tahta tahun 1917, sekitar sebulan sebelum Lenin kembali ke Petrograd.

Jadi Lenin tidak terlibat langsung dalam menjatuhkan Tsar, sama seperti Mao Zedong yang juga tak terlibat langsung dalam menumbangkan Emperor Puyi, the last emperor of Qing Dinasty.

Sebelum revolusi 1917, Rusia juga sempat bergejolak keras tahun 1905, dengan demonstrasi besar-besaran yang dikomandani Pendeta Georgi Gapon atau Father Gapon, karena ketertinggalan ekonomi dan buruknya kondisi kehidupan kalangan menengah bawah.

Gerakan 1905, yang dikenal juga dengan istilah Bloody Sunday, menjadi penting karena berhasil mengurangi kekuasaan Tsar Nicholas II dengan lahirnya Duma, parlemen Rusia.

Dan tahun 1917, sebulan sebelum Lenin kembali ke Petrograd, setelah demonstrasi besar-besaran, provisional government yang dibentuk oleh elite di Duma berhasil bernegosiasi dengan Tsar Nicholas untuk turun tahta.

Tsar menyerahkan kekuasaan kepada Provisional Government yang menjelang revolusi 1917 dipimpin oleh Alexander Kelenski.

Arahnya sangat jelas ketika itu, yakni menuju pemerintahan demokratik Rusia, sebelum akhirnya digantikan oleh gerakan Bloshevik (setelah memenangkan pemilihan) dengan dalih memindahkan kekuasaan ke tangan komisar (semacam dewan rakyat/majelis rendah) yang notabene sebenarnya ke tangan Lenin.

Jadi revolusi Bloshevik sebenarnya bukanlah mengambil kekuasaan dari tangan Tsar, tapi dari pemerintahan provisional yang dipimpin Kelenski.

Setelah itu perang sipil pecah, terutama antara Red Army dan White Army, sampai penghujung nafas Lenin.

Lalu Stalin menggantikan Lenin setelah menyingkirkan lawan-lawannya secara cerdik dan licik, termasuk mengasingkan Trotski.

Tak pelak, Stalin menjadi the big boss of Soviet Union. Dialah yang kerab dikenal dengan sebutan the man of steel.

Dari kajian-kajian Prof Antony C Suton, keterlibatan Amerika cukup besar dalam membantu Revolusi Bloshevik, terutama via faksi Trotski, mulai dari penerbitan passport Amerika untuk Trotski dari Presiden Widroow Wilson agar bisa pulang ke Rusia via Canada, lalu ke Siberia dan Moskow.

Begitu juga dengan kiriman dana beberapa juta dollar AS untuk gerakan Blosheviks dari bank Chase Manhattan (Rockefeller) sampai supply senjata untuk Red Army via Siberia.

Sementara dari Jerman, saingan Tsar Empire, bantuan untuk Lenin juga sangat jelas, terutama mengembalikan Lenin ke Petrograd dengan “Sealed Train” via Jerman dari Swiss, lalu ke Petrograd.

Bahkan di awal kedatangannya, Lenin dicap sebagai agen Jerman oleh anggota Bloshevik lainya.

Kembali ke China. Sama seperti Rusia pasca-Tsar, perang sipil pecah setelah rezim aristokratik tumbang.

Kekuatan revolusi Sut Yat Sen berbenturan dengan kekuatan Jenderal Xang Sun, yang mendeklarasikan diri sebagai kekaisaran baru, sampai akhirnya Dr Sun Yat Sen diasingkan dan meninggal dunia.

Perjuangan Sun Yat Sen dilanjutkan oleh jenderal (generalissimo) Chiang Kai Shek di tahun 1920-an sampai berhasil berkuasa.

Sementara tahun 1917-an, semasa revolusi Rusia, pemuda bernama Mao Zedong berkenalan dengan ide Marxisme dan Leninisme, di Kampus Beijing University.

Dan bersama kawan-kawannya, tahun 1921, berhasil menginisiasi kongres pertama Partai Komunis China (CCP).

Tak pelak, CCP langsung berhadapan dengan gerakan nasionalis Partai Kuomintang (Guomintang) yang dipimpin Chiang Kai Shek (yang didukung penuh oleh Paman Sam).

Karena kerasnya benturan kelompok nasionalis, Mao Zedong mundur ke pedesaan tahun 1927-an, untuk memulai gerakan baru komunis China.

Sementara sampai tahun 1926-1927, Deng Xiaoping masih di luar China, karena sejak sekolah menengah atas, Deng berada di Eropa, yakni Perancis.

Lalu pindah ke Rusia karena terlibat gerakan kiri di Perancis, kemudian pulang ke China untuk bergabung dengan Mao Zedong di pedesaan.

Di pedesaan itulah Mao mempraktikkan konsep marxisme maoisme pada kehidupan petani, sembari melakukan perlawanan atas dominasi kalangan nasionalis dari Partai Kuomintang.

Gerakan Maois mendapat momen di saat Jepang menginvasi China tahun 1937. Inilah alasan mengapa Prof. Rana Mitter dari Universitas Oxford menulis bahwa Perang Dunia Kedua dimulai di Asia, yakni di China, bukan Eropa (1941).

Akhirnya gerakan komunisme Mao harus bersisian dulu dengan kelompok nasionalis untuk melawan penajajahan Jepang.

Tapi pada fase inilah Mao sebenarnya mendapat momen karena ajaran komunisme maoisme memang bisa menjadi oli yang sangat produktif untuk membangun solidaritas petani melawan penjajahan Jepang, terutama yang terkait dengan ide kolektifisasi lahan dan penghancuran hak kepemilikan lahan dari para taun tanah. Rakyat pedesaan sangat menyukainya.

Sampai tahun 1945, setelah Jepang kalah oleh sekutu, kekuatan Partai Komunis yang dipimpin Mao menjadi sangat besar, sehingga berhasil memenangkan beberapa peperangan dengan kelompok nasionalis.

Setelah gagal bernegosiasi dengan Chiang Khai Shek tahun 1949, kelompok Maoism makin di atas angin.

Mereka akhirnya sukses melakukan longmarch besar-besaran ke Beijing dan merebut kekuasaan dari Partai Kuomintang.

PKT dan Chiang Kai Shek kemudian mundur ke arah barat dan menyeberang ke sebuah pulau yang kita kenal hari ini sebagai Taiwan.

Kekalahan tersebut juga sekaligus menjadi kekalahan terbesar Amerika di awal perang dingin. Paman Sam shocked luar biasa.

Bagaimana tidak, setelah kematian Lenin Uni Soviet dibajak oleh Stalin, setelah Jepang kalah China justru diambil alih oleh Mao.

Setelah itu, Mao berkuasa penuh dan bersiap untuk mewujudkan ide marxisme maoismenya di China, yang masih terbelakang kala itu.

Menjelang pertengahan 1950-an, uji coba pertama dimulai dengan konsep Great Leap Forward.

Ketika itu, nampaknya Mao memang tak sabaran. Mao ingin China segera menjadi maju dan besar secara cepat. Ide kolektivisasi lahan ala Stalin diterapkan.

Petani harus bekerja keras untuk memperoduksi gandum dan komoditas lainya dengan sistem kuota, selain untuk konsumsi domestik juga untuk dibarter dengan Stalin, agar Soviet membantu China dalam membangun industri berat, industri persenjataan dan pembangunan reaktor nuklir.

Proyek ekonomi politik ini dipercayakan kepada tangan kanan Mao, Liu Shaoqi

Ternyata, korban kelaparan bertumbangan, diyakini puluhan juta. Mao memaksa orang tua dan anak-anak ikut bekerja, jika tidak, maka jatah makanan tak diberikan.

Saat kuota tak terpenuhi, Mao yang semakin tergila-gila dengan ide utopia komunisme malah menyalahkan burung-burung yang memakan hasil panen petani. Perintah untuk membunuh burung-burung pun lahir.

Tapi yang terjadi semakin parah. Kalau burung-burung dibunuh, lantas yang memakan serangga atau hama siapa? Hasil panen pun malah semakin buruk karena hama malah semakin menjadi-jadi.

Tapi Mao tak menerima kritik dan memang tak ada yang berani mengkritik beliau, meskipun korban kelaparan bertumbangan di desa-desa.

Sampai akhirnya di salah satu pertemuan Partai, tangan kanan Mao Sendiri yang mencoba mengingatkan Mao soal kegagalan proyek Great Leap Forward, Liu Shaoqi.

Di permukaan, Mao hanya tersenyum. Tapi di balik itu, Mao menyiapkan sesuatu untuk menyingkirkan Shaoqi.

Maka kemudian lahirlah proyek politik baru bernama Revolusi Budaya (Cultural Revolution), yang tidak lagi dipercayakan kepada Shaoqi, tapi justru kepada istri Mao sendiri, yang tenar dengan panggilan Madame Mao (salah satu anggota Gang of Four).

Dalam fase ini, Deng Xiaoping juga tersingkir, karena dianggap terlalu liberal dan nasionalis.

Nyatanya Revolusi Budaya lebih sadis lagi dibanding proyek politik sebelumnya. Semua pihak harus menjadi komunis- maois, jika tidak, disingkirkan, dihabisi, atau dikirim ke camp. Korban makin bergelimpangan.

Di tahun 1960-an akhir, perang Vietnam juga sedang berkecamuk. Di tengah-tengah hubungan Soviet dan China kian mendingin, Amerika masuk.

Henry Kissinger dengan lihai memainkan taktik-taktik diplomasi berkelasnya. Pertama untuk menyelesaikan perang di Vietnam yang kian berkecamuk karena keterlibatan Soviet dan China.

Kedua, untuk menjauhkan Soviet dari China (dual containtment).

Diplomasi tersebut melahirkan pertemuan bersejarah antara Ketua Mao dan Richard Nixon di tahun 1972, yang akhirnya membuat Vietman pelan-pelan berhasil diredam dan Soviet semakin terisolasi.

Pada pertemuan itulah ucapan Mao yang tenar itu muncul, yakni China akan siap bersabar menunggu sampai 100 tahun untuk menyatukan Taiwan dengan The Mainland.

Ketua Mao yang sudah sakit-sakitan akhirnya tutup usia tahun 1976. Zhou Enlai, perdana menteri, yang memang telah mengenal Deng Xiaoping sedari di Perancis, memberikan dukungan pada Deng yang dua tahun sebelumnya sudah kembali ke dalam pemerintahan dan partai.

Deng tidak serta merta menjadi petinggi, karena Gang of Four terus berjuang untuk menyingkirkannya, agar bisa melanjutkan estafet kekuasaan Mao.

Untung bagi Deng, Gang of Four akhirnya terdepak dan tahun 1978 Daeng berhasil menduduki posisi petinggi di Partai, lalu di awal tahun 1980an, Daeng menggantikan Mao sebagai paramount leader.

Beliaulah yang kini dianggap sebagai bapak bangsa China Modern, yang memperkenalkan konsep “sosialisme dengan karakter China.”

Deng melakukan reformasi bertahap (gradual) pada kebijakan ekonomi China dan memperkenalkan empat konsep modernisasi yang tenar itu, agrikultur, industri, defense, dan science and technology.

Unjuk rasa Tiananmen 1989 atau Demonstrasi Tiananmen yang meletus di China pada 15 April 1989.AP/Sadayuki Mikami Unjuk rasa Tiananmen 1989 atau Demonstrasi Tiananmen yang meletus di China pada 15 April 1989.
Namanya sempat sedikit tercoreng karena insiden Tiananmen tahun 1989. Tapi gaya Daeng dan CCP bertahan sampai ke tangan Jiang Zemin dan Hu Jintao, sampai China akhirnya masuk WTO tahun 2000-an berkat usaha luar biasa dari Bush Senior dan Clinton.

Ekonomi China semakin menggila, pertumbuhan ekonominya duoble digit, meski korupsi juga menggila.

Lantas mengapa China belum juga menunjukan tanda-tanda transisi ke sistem demokratis?

Jalan dan Strategi China memang tak sama dengan Korea Selatan, Taiwan, atau Afrika Selatan, di mana kemajuan ekonomi berperan besar dalam mempercepat proses demokratisasi. China nampaknya adalah pengecualian.

Pasca-1978, China memodifikasi gaya pembangunan ekonomi negara tetangganya (developmental state), Jepang, Korsel, dan Taiwan, dengan cara "mengendalikan gerak langkah pasar" dan mengurangi peran pemerintah secara bertahap.

Untuk penyesuaian harga, China memperkenalkan strategi "dual track pricing". Sementara untuk Badan Usaha Milik Negara, China menerapkan pendekatan "rangkul yang besar lepaskan yang kecil (yang ditiru oleh Erick Tohir) "

Pada dasarnya, kedua pendekatan developental ini setali tiga uang. Tiga negara pertama menambahkan peran negara ke dalam gerak langkah ekonomi pasar, sementara China mengurangi peran negara sampai batas tertentu.

Karena China berangkat dari titik yang berbeda, demokrasi tidak lahir semudah yang diproyeksikan.

China mengendalikan pasar sesuai dengan pengaruhnya kepada partai. Jika liberalisasi ekonomi membahayakan eksistensi partai, maka China menekanya.

"Membahayakan partai" bermakna (1) mengurangi legitimasi partai di mata rakyat China dan (2) mengurangi pengaruh partai dalam menentukan arah kebijakan politik dan ekonomi.

Sebelum peristiwa Tianamen Square 1989, dua pemimpin partai pengikut Deng Xiaoping, Hu Yaobang dan Zao Ziyang, telah berhasil meliberalisasi ekonomi China secara cepat sehingga menyebabkan eforia politik yang berlebihan.

Demonstrasi besar-besaran (gerakan liberal progresif) terjadi di saat inflasi meninggi pascameninggalnya Hu Yaobang yang dianggap proliberalisme politik.

Dan Zao Ziyang yang dipercaya Deng Xiaoping sebagai pengganti Hu Yaobang beberapa tahun sebelumnya ternyata memilih berpihak kepada para mahasiswa.

Deng menyingkirkan dan mengasingkan Zao Ziyang, lalu memerintahkan Jiang Zemin, yang kala itu sebagai wali kota Shanghai, untuk menekan demonstrasi dengan pendekatan militeristik.

Reaksi tersebut berbuah pahit untuk pergerakan liberal progresif, tapi memberi pelajaran berharga bagi Deng dan CCP bahwa cara Soviet (liberlisasi politik) harus dikesampingkan dan liberalisasi ekonomi bertahap adalah opsi terbaik.

Atas perannya, Jiang Zemin akhirnya dipilih oleh Deng sebagai pengganti Zao Ziyang, yakni menjadi sekretaris umum CCP, lalu kemudian menjadi presiden.

Namun pascatahun 1989 sampai 1992 awal, reformasi Deng terhenti sejenak. Karena peristiwa Tiananmen, kekuatan kanan menguat di dalam partai, yang dinahkodai Chen Yun.

Meskipun Deng yang revisionis (reformis) menjadi "paramount leader," di dalam CCP sendiri tetap ada oposisi konservatif yang "setengah Maois" tapi kurang reformis, yaitu Chen Yun (pendiri Central Planning Commision di era Mao) dan pengikutnya, yang menginginkan peran negara tetap dipertahankan secara signifikan.

Dialektika ide berlangsung selama dua tahun di mana Deng mendapat banyak kritikan dari kelompok konservatif, sampai awal tahun 1992, pada "Southern Tour" Deng yang terkenal itu, reformasi ekonomi digaungkan kembali, dengan peran politik partai tetap dipertahankan secara dominan.

Sebagian pengamat mengenal gaya tersebut dengan "Birdcage Style (gaya sangkar burung)" yang diperkenalkan pengikut Chen Yun di mana kapitalisme dianggap sebagai "burung" dan sosialisme sebagai “sangkarnya.”

Bagi Deng, "birdcage style" adalah "win-win solution" antara kelompok konservatif Chen Yun dan kelompok reformis Deng.

Ide dasar "birdcage" inilah yang menjadi roh dari Kawasan Ekonomi Khusus di China di mana liberalisasi ekonomi dikerangkeng hanya di dalam kawasan semata.

Dan tak lupa, model "birdcage" pula yang membuat CCP berhasil mengendalikan liberalisasi ekonomi dengan tiga pendekatan utama (legitimation, cooptation, dan repression) sebagaimana dibahas secara apik oleh Bruce J Diction dalam bukunya "The Dictator's Dillema" beberapa tahun lalu.

Intinya, CCP berhasil menjinakan kapitalisme dan memangkas "ambisi demokratisasi" yang di bawanya.

Walhasil, China menjadi anomali dalam teori pembangunan ekonomi di mana kesejahteraan dan kemakmuran yang dihasilkan oleh kebijakan-kebijakan liberalisasi ekonomi ternyata gagal membawa angin demokrasi ke negeri Tirai Bambu.

Sampai tahun 2012, Xin Jinping naik pangkat jadi General Secretary CCP dan presiden China.

Karena berbagai faktor internal dan ekternal (penurunan jumlah penduduk produktif, ekonomi melambat, korupsi, gelembung kredit, gelembung properti, krisis finansial global, declining America, dll), Xi memilih tancap gas.

Layaknya Putin di awal tahtanya, anggota partai dan pejabat yang korupsi disikat. Sekitar 2 jutaan pengurus partai dan pejabat dari CCP tersingkir, lalu konsep baru diperkenalkan, yakni peremajaan China (rejuvenation) via Made in China 2025 dan Belt and Road Initiative, yang ternyata di tataran global berbenturan dengan banyak kepentingan Paman Sam.

Xi nampaknya tidak sesabar Mao. Xi terlihat berambisi mengambil kembali Taiwan, berhasil melanggar kesepatakan One Countries Two Systems atas Hong Kong dengan Inggris, dan sangat asertif di Laut China Timur dan Selatan, yang membuat Amerika, Jepang, dan ASEAN gelagapan.

Saat ini, jumlah anggota Partai sudah hampir seratus juta anggota (91 juta), yang isinya kebanyakan adalah generasi muda terdidik (cooptation strategy).

Berbeda dengan Partai Komunis Soviet, Korea Utara, Kuba, atau Venezuela, Partai Komunis China punya narasi yang sangat kuat untuk bertahan dan disukai oleh mayoritas rakyat China.

Di tangan Partai ini, ratusan juta orang China terangkat dari garis kemiskinan.

Empat konsep modernisasi Daeng Xiaping nyaris terdekati dengan baik. China beradaptasi dengan teknologi, dengan menjadi powerhouse bagi industri manufaktur supermasif dan teknologi superkomputer, artificial intelegent, dan praktis menjadi kekuatan militer yang ditakuti.

Dan pada 1 Juli 2021 lalu, genap sudah 100 tahun Partai Komunis China. Partai ini melewati usia Partai Komunis yang pernah menginspirasinya dulu di Soviet.

Partai Komunis Soviet bertahan di perang dunia kedua dari gempuran Nazi dengan anggota 7 juta, lalu tumbang tahun 1991 dengan anggota 20 juta.

Presiden China Xi Jinping berpidato dalam upacara peringatan 100 tahun Partai Komunis China di Beijing, China, Kamis (1/7/2021). Partai Komunis China merayakan ulang tahun ke-100 dengan beragam acara.LI XUEREN/XINHUA via AP PHOTO Presiden China Xi Jinping berpidato dalam upacara peringatan 100 tahun Partai Komunis China di Beijing, China, Kamis (1/7/2021). Partai Komunis China merayakan ulang tahun ke-100 dengan beragam acara.
Tapi Partai Komunis China, dari Deng Xiaoping sampai Xi, nampaknya belajar banyak dari kegagalan Soviet.

Di umurnya yang sudah di atas 100 tahun itu, Amerika dan Uni Eropa justru dibuat semakin gelagapan, Jepang dan ASEAN serba salah, Australia dan Canada memendam perasaan was-was yang bercampur baur.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia masih malu-malu kucing, layaknya anggota ASEAN lainya. Atas dasar ekonomi, China adalah mitra yang tak terhindarkan.

Atas dasar geopolitik dan pertahanan, Amerika juga masih seksi untuk dihormati. Di mana ujung seteru bertajuk “rivalry competition” antara China dengan Amerika dan “strategic competition” antara China dengan Uni Eropa ini?

Apakah CCP memang ingin mengganti tatanan dunia baru yang lebih CCP minded sebagaimana dikhawatirkan Amerika?

Waktu akan menjawabnya. Indonesia tentu harus siap-siap atas apapun itu. Yak kan Pak Jokowi?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com