WELLINGTON, KOMPAS.com - Protes terhadap tindakan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19 memasuki minggu kedua di ibu kota Selandia Baru.
Rasa frustrasi tumbuh di antara penduduk kota meskipun ada peringatan hujan lebat akibat Topan Dovi.
Dilansir Al-Jazeera, Wellington telah menghadapi penundaan lalu lintas dan jalan-jalan ditutup sejak 8 Februari ketika pengunjuk rasa, yang terinspirasi apa yang disebut konvoi kebebasan di Kanada, memarkir mobil, van, dan bus di ibu kota sebagai bagian dari upaya untuk menduduki halaman parlemen.
"Polisi sejauh ini terus memantau dan menahan aktivitas di halaman parlemen," kata Komandan Distrik Wellington Corrie Parnell.
“Polisi telah mengidentifikasi berbagai penyebab dan motivasi yang berbeda di antara para pengunjuk rasa, sehingga sulit untuk membuka jalur komunikasi yang jelas dan bermakna,” tambahnya.
Sekitar 122 orang sebelumnya sudah ditangkap ketika polisi mencoba membersihkan daerah tersebut.
Semua menghadapi tuduhan pelanggaran yang disengaja dan bisa menghadapi hukuman maksimal tiga bulan penjara atau denda 1.000 dollar Selandia Baru.
Baca juga: PM Selandia Baru Ardern Isolasi Mandiri, Pembatasan Covid-19 yang Ketat Jadi Sorotan
"Dewan Kota Wellington telah mengeluarkan lebih dari 100 pelanggaran parkir, tetapi jumlah sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukannya dan keefektifan tanggapan sedang dipertimbangkan," kata juru bicara Richard MacLean.
Ada 4.057 kasus virus corona yang dikonfirmasi pada 14 Februari. Selandia Baru telah melaporkan hanya kurang dari 20.000 kasus dan 53 kematian sejak pandemi dimulai.
Ini membuat Hall khawatir para pengunjuk rasa akan menyebarkan Covid-19 di Wellington.
“Mereka tidak divaksinasi. Mereka berada di kerumunan besar, membuka kedoknya, dan mereka bukan tipe orang yang diuji Covid-19. Mereka juga pergi ke supermarket untuk mendapatkan persediaan dan penduduk Wellington lainnya juga pergi ke sana,” katanya.
Baca juga: Jurnalis Selandia Baru Ditolak Pulang ke Negaranya, Akhirnya Minta Bantuan Taliban
Warga lokal Wellington, Tane Morris, merasa frustrasi karena para pengunjuk rasa mendapat begitu banyak perhatian.
“Para pengunjuk rasa adalah minoritas tetapi mereka memiliki suara paling keras,” katanya.
“Perlu ada ruang untuk perbedaan pendapat, tetapi Anda harus mempertanyakan, apakah itu berbahaya?" tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.