Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar: Indonesia Bisa Jadi Negara Terakhir di Dunia yang Keluar dari Krisis Pandemi Covid-19

Kompas.com - 28/07/2021, 20:44 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia diprediksi akan menjadi negara terakhir di dunia yang keluar dari krisis pandemi Covid-19, jika tidak ada kebijakan strategis yang luar biasa pada pemulihan kesehatan, kata seorang pakar.

Pasalnya hampir satu setengah tahun pandemi berjalan, kebijakan yang diambil pemerintah lebih dipengaruhi oleh kompromi politik dan ekonomi ketimbang kesehatan.

Kondisi seperti ini, kata pengamat kebijakan publik, dikhawatirkan akan menggerus kepercayaan publik kepada pemerintah dan bisa memicu aksi protes.

Baca juga: Sebelum Indonesia, 5 Negara Ini Juga Batasi Waktu Makan di Luar Saat Pandemi

Namun, pemerintah menampik anggapan itu dan menjanjikan penambahan anggaran APBN untuk kesehatan pada tahun depan, seperti yang dilansir dari BBC Indonesia pada Rabu (28/7/2021).

Sepanjang pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir satu setengah tahun ini, pemerintah Indonesia setidaknya telah menelurkan lima kebijakan.

Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Maret 2020, kemudian Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mulai Januari 2021.

Tak berselang lama pemerintah memberlakukan PPKM Mikro di seluruh provinsi yang mengatur hingga tingkat RT/RW. Setelah itu mengganti dengan PPKM Darurat pada awal Juli 2021 di provinsi Jawa-Bali lantaran melonjaknya kasus infeksi setelah Lebaran.

Baca juga: WHO Desak Indonesia Batasi Mobilitas Lebih Ketat, PPKM Belum Cukup

Sarat kompromi

Setelah habisnya jangka waktu penerapan PPKM Darurat, pemerintah memperpanjang dengan membuat aturan baru yakni PPKM level 1 hingga 4 sampai 2 Agustus mendatang.

Epidemilog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, menilai seluruh kebijakan pandemi Covid-19 Indonesia banyak dipengaruhi oleh kompromi politik dan ekonomi ketimbang kesehatan.

Ia mencontohkan kengototan pemerintah menggelar pilkada serentak pada Desember 2020, meski banyak penolakan dari pakar kesehatan.

Namun, selalu lemah pada pelaksanaan 3T (pengetesan, pelacakan, perawatan).

Pengamatannya hingga saat ini Indonesia masih berkutat pada rasio 1 banding 1 dalam melakukan pelacakan kontak erat Covid-19, jauh dari standar Badan Kesehatan Dunia, WHO, 1 banding 30.

"Di tahun pertama pemerintah meremehkan pandemi dan keputusan yang diambil tidak berbasis sains. Tahun kedua, mau jalan di dua kaki yaitu kesehatan dan ekonomi tapi tidak seimbang. Kesehatan berada di kaki yang lemah. Testing rendah, tracing sekadarnya, dilakukan pembatasan, tapi sangat longgar," ujar Dicky Budiman kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (27/07).

Kebijakan yang sarat kompromi itu, kata dia, menimbulkan dampak besar pada sektor kesehatan. Indonesia berada di posisi teratas sebagai penyumbang kasus tertinggi harian dan kematian di dunia dalam beberapa hari terakhir.

Data Kementerian Kesehatan pada Selasa (27/7/2021) menyebutkan tambahan kasus virus corona sebesar 45.203 orang.

Ada pun angka kematian lagi-lagi mencatatkan rekor tertinggi selama pandemi Covid-19 yakni 2.069.

"Inilah yang dihadapi Indonesia karena sudah menempatkan pilihan strategi yang salah dari awal, sehingga masalah kesehatan terlanjur membesar. Mau tidak mau kita akan melihat kasus kematian dari hasil kompromi ini, kematian yang sangat banyak," ujar Dicky.

Dicky memprediksi Indonesia akan menjadi negara terakhir di dunia yang keluar dari krisis pandemi Covid-19, jika tidak ada "perubahan kebijakan strategis yang luar biasa".

Seperti menggenjot pengetesan Covid-19 dan pelacakan hingga tiga juta orang dalam sehari, menerapkan karantina wilayah, dan mempercepat vaksinasi.

"Tampaknya Indonesia akan selesai belakangan dari situasi krisis pandemi. Ini bukan estimasi yang mengenakkan, tapi kondisi saat ini mengarah ke situ," ucapnya.

"Sebab Indonesia bukan tidak mungkin akan menghasilkan suatu varian virus baru dari pergerakan manusia yang tidak terkendali dari pulau-pulau lain. Potensi itu besar, seperti pada kasus flu burung muncul strain super," ungkapnya.

"Ketika swine flu juga Indonesia yang terakhir keluar dari wabah," imbuhnya.

Baca juga: Jamur Hitam di India: Ribuan Orang Meninggal, Kasusnya Sudah Ada di Indonesia

Tak ada skenario kebijakan yang matang

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Zuliansyah, menilai pemerintah tidak memiliki skenario kebijakan yang matang, meski pandemi Covid-19 sudah setahun lebih berjalan.

Kebijakan yang kerap dikeluarkan, justru katanya, diambil tanpa mitigasi dan kerap mengikuti opini publik. Semisal, vaksin Covid-19 individu berbayar yang akhirnya dibatalkan karena ditentang masyarakat.

"Saya khawatir belum ada skenario kebijakan (pandemi) sampai 2 hingga 3 tahun ke depan. Pemerintah masih meraba-raba dengan pandemi yang berlangsung panjang bahkan ada gelombang varian baru, saya belum lihat skenario kebijakan ekonomi dan kesehatan," imbuh Zuliansyah kepada BBC News Indonesia.

"Padahal skenario ini seharusnya sudah dimiliki pemerintah terlepas situasinya tidak bisa diprediksi," ucapnya.

Jika kondisi ini terus berlanjut, kata Zuliansyah, maka ia khawatir "tingkat kesabaran masyarakat" akan meledak, sehingga muncul ketidakpercayaan kepada pemerintah.

"Masyarakat mulai jenuh dengan kondisi ini. Kalau tidak diantisipasi dengan berbagai macam skenario kebijakan, saya khawatir akan terjadi demo, seperti di negara lain."

Baca juga: Jamur Hitam di India: Ribuan Orang Meninggal, Kasusnya Sudah Ada di Indonesia

Apa kata pemerintah?

Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Raden Pardede, menampik anggapan itu.

Ia mengatakan pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit dalam membuat kebijakan pandemi Covid-19.

"Ini antara life and livelihood. Itu pilihan yang sulit dalam hal ini pemerintah memutuskan gas dan rem. Tapi, masalah kesehatan tetap diutamakan, bukan ekonomi," tutur Raden Pardede kepada BBC News Indonesia.

Pemerintah, sambungnya, mustahil menerapkan kebijakan karantina wilayah karena ketiadaan dana.

Oleh karena itu strategi terkini yang digencarkan pemerintah adalah mempercepat vaksinasi sembari memperbaiki fasilitas layanan kesehatan dan memperbanyak persediaan obat-obatan.

"Kalau membuat mereka total tidak bergerak, rasanya itu utopis. Idealnya bisa begitu, tapi kita tidak dalam keadaan ideal," ujar Raden.

Selain itu, kata Raden, pemerintah juga sedang menggenjot pengetesan dan pelacakan di daerah-daerah yang angka kasus infeksinya tinggi.

Untuk tahun depan pemerintah berancang-ancang untuk menambah dana di sektor kesehatan dalam APBN.

"APBN tahun depan kemungkinan besar ditambah untuk memperbaiki fasilitas kesehatan. Lalu bagaimana kita memproduksi sebagian vaksin di dalam negeri dan mendorong universitas-universitas untuk menggairahkan research and development untuk vaksin dan obat-obatan," ucapnya.

"Jadi fasilitas rumah sakit, obat, dan vaksin harus diperbaiki tahun depan," katanya.

Baca juga: Sudah Ada di Indonesia Sebelum Pandemi, Kenali Gejala Jamur Hitam dan Cara Mencegahnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Ikut Pendaftaran Wajib Militer, Ratu Kecantikan Transgender Thailand Kejutkan Tentara

Ikut Pendaftaran Wajib Militer, Ratu Kecantikan Transgender Thailand Kejutkan Tentara

Global
Presiden Ukraina Kecam Risiko Nuklir Rusia karena Mengancam Bencana Radiasi

Presiden Ukraina Kecam Risiko Nuklir Rusia karena Mengancam Bencana Radiasi

Global
Jelang Olimpiade 2024, Penjara di Paris Makin Penuh

Jelang Olimpiade 2024, Penjara di Paris Makin Penuh

Global
Polisi Diduga Pakai Peluru Karet Saat Amankan Protes Pro-Palestina Mahasiswa Georgia

Polisi Diduga Pakai Peluru Karet Saat Amankan Protes Pro-Palestina Mahasiswa Georgia

Global
Pemilu India: Pencoblosan Fase Kedua Digelar Hari Ini di Tengah Ancaman Gelombang Panas

Pemilu India: Pencoblosan Fase Kedua Digelar Hari Ini di Tengah Ancaman Gelombang Panas

Global
Kim Jong Un: Peluncur Roket Teknologi Baru, Perkuat Artileri Korut

Kim Jong Un: Peluncur Roket Teknologi Baru, Perkuat Artileri Korut

Global
Anggota DPR AS Ini Gabung Aksi Protes Pro-Palestina di Columbia University

Anggota DPR AS Ini Gabung Aksi Protes Pro-Palestina di Columbia University

Global
Ditipu Agen Penyalur Tenaga Kerja, Sejumlah Warga India Jadi Terlibat Perang Rusia-Ukraina

Ditipu Agen Penyalur Tenaga Kerja, Sejumlah Warga India Jadi Terlibat Perang Rusia-Ukraina

Internasional
Rangkuman Hari Ke-792 Serangan Rusia ke Ukraina: Jerman Didorong Beri Rudal Jarak Jauh ke Ukraina | NATO: Belum Terlambat untuk Kalahkan Rusia

Rangkuman Hari Ke-792 Serangan Rusia ke Ukraina: Jerman Didorong Beri Rudal Jarak Jauh ke Ukraina | NATO: Belum Terlambat untuk Kalahkan Rusia

Global
PBB: 282 Juta Orang di Dunia Kelaparan pada 2023, Terburuk Berada di Gaza

PBB: 282 Juta Orang di Dunia Kelaparan pada 2023, Terburuk Berada di Gaza

Global
Kata Alejandra Rodriguez Usai Menang Miss Universe Buenos Aires di Usia 60 Tahun

Kata Alejandra Rodriguez Usai Menang Miss Universe Buenos Aires di Usia 60 Tahun

Global
Misteri Kematian Abdulrahman di Penjara Israel dengan Luka Memar dan Rusuk Patah...

Misteri Kematian Abdulrahman di Penjara Israel dengan Luka Memar dan Rusuk Patah...

Global
Ikut Misi Freedom Flotilla, 6 WNI Akan Berlayar ke Gaza

Ikut Misi Freedom Flotilla, 6 WNI Akan Berlayar ke Gaza

Global
AS Sebut Mulai Bangun Dermaga Bantuan untuk Gaza, Seperti Apa Konsepnya?

AS Sebut Mulai Bangun Dermaga Bantuan untuk Gaza, Seperti Apa Konsepnya?

Global
[POPULER GLOBAL] Miss Buenos Aires 60 Tahun tapi Terlihat Sangat Muda | Ukraina Mulai Pakai Rudal Balistik

[POPULER GLOBAL] Miss Buenos Aires 60 Tahun tapi Terlihat Sangat Muda | Ukraina Mulai Pakai Rudal Balistik

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com