YANGON, KOMPAS.com - Konflik antara militer Myanmar dengan pemerintahan sipil sudah berlangsung sejak 1940-an, dan negara itu sudah tiga kali mengalami kudeta.
Setelah merdeka, pemerintahan sipil mengalami awalan buruk pada 1948. Setahun sebelumnya pemimpin nasionalis karismatik Jenderal Aung San yang merupakan ayah Aung San Suu Kyi dibunuh.
Kepemimpinan lalu dilimpahkan ke U Nu yang secara politik kurang kuat.
Baca juga: Kisah Perang: Ketika Sekutu AS-Kanada Serang Pulau Kosong dan Saling Bunuh, 300 Tentara Tewas
Perang Saudara kemudian pecah pada 1949 antara pemerintah dengan pemberontak, termasuk tentara komunis dan beragam etnis.
Pertempuran itulah yang menjadi momentum militer untuk mengambil alih kekuasaan melalui Jenderal Ne Win.
Ia membawa ideologi baru yang menggabungkan Buddhisme dan Marxisme, yang dikenal sebagai "Jalan Burma menuju Sosialisme".
Akibatnya, institusi demokrasi dan kebebasan sipil pun berakhir.
Setelahnya militer berkuasa selama hampir 60 tahun. Ada beberapa motif kenapa mereka bersikeras memimpin negara, tetapi yang terkuat adalah mempertahankan hak veto.
Baca juga: Kisah Perang Saudara Amerika yang Ditonton Warga Sambil Piknik Makan Sandwich
Indian Express mengabarkan, para eselon atas militer dan keluarga memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri mereka sendiri.
Oleh karena itu mereka tak mau menyerahkan kekuasaan, karena penguasa baru pasti akan menjebloskan mereka ke penjara karena korupsi.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan