Setelah merdeka, pemerintahan sipil mengalami awalan buruk pada 1948. Setahun sebelumnya pemimpin nasionalis karismatik Jenderal Aung San yang merupakan ayah Aung San Suu Kyi dibunuh.
Kepemimpinan lalu dilimpahkan ke U Nu yang secara politik kurang kuat.
Perang Saudara kemudian pecah pada 1949 antara pemerintah dengan pemberontak, termasuk tentara komunis dan beragam etnis.
Pertempuran itulah yang menjadi momentum militer untuk mengambil alih kekuasaan melalui Jenderal Ne Win.
Ia membawa ideologi baru yang menggabungkan Buddhisme dan Marxisme, yang dikenal sebagai "Jalan Burma menuju Sosialisme".
Akibatnya, institusi demokrasi dan kebebasan sipil pun berakhir.
Setelahnya militer berkuasa selama hampir 60 tahun. Ada beberapa motif kenapa mereka bersikeras memimpin negara, tetapi yang terkuat adalah mempertahankan hak veto.
Indian Express mengabarkan, para eselon atas militer dan keluarga memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri mereka sendiri.
Oleh karena itu mereka tak mau menyerahkan kekuasaan, karena penguasa baru pasti akan menjebloskan mereka ke penjara karena korupsi.
Maka tak heran kala itu sebagian besar wilayah Burma (nama lama Myanmar) sangat miskin.
Arogansi militer Myanmar semakin menjadi-jadi, setelah pada 1962 berhasil melakukan kudeta dari pemerintah sipil dan mengubah nama resminya pada 1974 menjadi Republik Sosialis Persatuan Burma.
Kemudian pada 1988 militer Myanmar kembali mengambil alih kekuasaan, setelah menggagalkan pemberontakan besar yang memakan nyawa ribuan orang.
Nama resmi negara pun diubah lagi menjadi Persatuan Burma, tetapi setahun kemudian menjadi Persatuan Myanmar.
Ibu kota juga dipindah dari Rangoon ke Yangon, lalu sejak 2005 pindah ke Naypyidaw.
Terbaru, kudeta Myanmar ketiga terjadi pada 1 Februar 2021 setelah Aung San Suu Kyi ditangkap dan pemerintahannya digulingkan.
Militer Myanmar beralasan, pemilu tahun lalu yang dimenangkan partai National League for Democracy (NLD)-nya Suu Kyi menang curang.
Kenapa berganti nama?
Menurut artikel The Conversation, militer ingin meninggalkan nama yang diwarisi oleh masa lalu kolonial, dan membuat nama baru yang dapat menyatukan semua 135 etnis secara resmi, bukan cuma orang Burma.
Namun, para kritikus tidak sependapat. Alasannya adalah Myanmar dan Burma sama saja artinya, hanya Myanmar lebih formal untuk menyebut Burma.
Begitu pun perubahan nama Rangoon menjadi Yangoon, disebut lebih mencerminkan bahasa Burma.
Bahkan, perubahan nama secara teknis hanya terjadi di bahasa Inggris.
Nama Myanmar mulai digunakan secara internasional untuk mendukung transisi demokrasi di negara itu, tetapi nama Burma tidak dihilangkan begitu saja.
Aung San Suu Kyi yang menjadi pemimpin sipil negara itu pada 2016 juga tidak mempermasalahkan nama Myanmar atau Burma.
Akan tetapi tidak semua negara mengikuti. Amerika Serikat (AS) misalnya yang tidak mengakui nama Myanmar, dan masih menyebut Burma.
https://www.kompas.com/global/read/2021/03/02/213047970/kisah-perang-tiga-kudeta-myanmar-dan-berakhirnya-burma