Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
A Kurniawan Ulung
Dosen

Dosen program studi Hubungan Internasional di Universitas Satya Negara Indonesia

Tantangan Politik Luar Negeri RI di Asia Pasifik

Kompas.com - 06/02/2021, 21:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh A Kurniawan Ulung*

SITUASI ekonomi, politik, dan keamanan di Asia Pasifik semakin tidak pasti setelah kawasan dihantam pandemi Covid-19.

Namun, di tengah ketidakpastian ini, pendekatan multilateral yang dikedepankan oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden diharapkan mampu menurunkan tensi konflik di kawasan, terutama di Laut China Selatan, karena area ini ikut menentukan perdamaian dan stabilitas keamanan negara anggota, termasuk Indonesia.

Akan tetapi, konflik Laut China Selatan bukan satu-satunya tantangan yang dihadapi Indonesia dalam politik luar negerinya.

Baca juga: Di Forum Ekonomi Dunia, Menlu Retno Bicara Keadilan dan Kesetaraan Akses Vaksin Covid-19

Tantangan perdamaian

Indonesia sedang menghadapi sejumlah tantangan untuk menciptakan perdamaian dunia dan mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia.

Pertama, ketegangan yang kembali memanas di Laut China Selatan. Pada akhir Januari, misalnya, pemerintah China secara sepihak menerbitkan undang-undang baru terkait kewenangan penjaga pantainya di Laut China Selatan dan Laut China Timur.

Aksi tersebut langsung memicu Filipina melayangkan nota protes diplomatik karena penjaga pantai China kini memiliki wewenang lebih untuk menghancurkan bangunan negara lain dan menembak kapal asing di perairan yang diklaim China.

Ketegangan ini menunjukkan masih rendahnya rasa saling percaya antara negara-negara yang terlibat dalam konflik Laut China Selatan. Dilema keamanan bisa kembali mendorong China kembali menggelar latihan militer di perairan yang diklaimnya.

Tahun lalu, China melakukan latihan militer selama lima hari di perairan sengketa dekat Kepulauan Paracel sebagai aksi balasan atas tiga latihan militer yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutunya, Jepang dan Singapura.

Kedua, ketegangan di Semenanjung Korea. Hingga saat ini, Korea Utara masih memutus jalur komunikasinya dengan Korea Selatan.

Baca juga: Wawancara Khusus Menlu Retno Marsudi - Diplomasi Vaksin: Membuka Akses, Meratakan Jalan

Korut, sebelumnya, mengancam akan membatalkan semua kerja sama militernya dengan Korsel karena Korut menilai Korsel tidak tegas terhadap pembelot Korut yang menyuarakan narasi anti-Pemerintah Korut di Korsel.

Ketiga, kekerasan dan terorisme di Asia Tenggara. Kelompok teroris Abu Sayyaf dan Mujahidin Indonesia Timur harus terus diwaspadai.

Pada September 2020, seorang nelayan berkebangsaan Indonesia yang disandera kelompok teroris Abu Sayyaf ditemukan meninggal setalah terjadi kontak senjata antara kelompok Abu Sayyaf dan tentara Filipina di Patikal, Sulu.

Nelayan tersebut dan empat rekannya diculik di perairan Tambisan, Malaysia, pada Januari 2020. Sejak 2016, setidaknya 16 WNI menjadi korban penculikan kelompok Abu Sayyaf.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com