Trump kalah di hadapan hakim dari kedua belah pihak, termasuk beberapa yang dia tunjuk, dan beberapa teguran terkuat datang dari Partai Republik yang konservatif.
Mahkamah Agung, yang memiliki mayoritas konservatif 6-3 dan tiga orang yang ditunjuk Trump, telah menolak untuk menangani kasus itu.
Baca juga: Presiden Iran Gembira Melihat Donald Trump Lengser
Dalam pertemuan pada Jumat (18/12/2020), Giuliani mendorong Trump untuk merebut mesin pemungutan suara.
Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki kewenangan untuk melakukannya. Tidak jelas apa yang bisa dicapai dari langkah seperti itu.
Sementara, William Barr mengatakan kepada Associated Press pada Desember ini, bahwa Departemen Kehakiman dan DHS telah memeriksa klaim tentang mesin pemungutan suara.
"Sejauh ini, kami belum melihat apa pun untuk mendukungnya (kebenaran klaim),” ujar Barr.
Lalu, Michael Flynn memberikan saran lebih jauh, dengan mengajukan kepada Trump rencana darurat militer dan menggunakan militer untuk menjalankan kembali pemilihan.
Kepala staf Mark Meadows dan penasihat Gedung Putih, Pat Cipollone, menyuarakan keberatan, kata orang-orang yang mengetahui pertemuan Jumat itu kepada berbagai kantor berita.
Sementara, Trump membantah laporan yang beredar kencang soal darurat militer tersebut melalui akun Twitternya.
"Darurat Militer = Berita Palsu," tulisnya.
“Hanya laporan yang lebih buruk secara sengaja!” tambahnya.
John Bolton, pengganti Flynn sebagai penasihat keamanan nasional, mengatakan kepada CNN bahwa gagasan darurat militer "mengerikan" dan mengatakan Trump "tidak kompeten".
Trump menjawabnya, "Tahu apa Bolton, salah satu orang paling bodoh di Washington?"
Baca juga: Pemimpin Tertinggi Iran: Lengsernya Trump Bukan Akhir Permusuhan dari AS
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.