KOMPAS.com - Rapa Nui atau secara umum dikenal sebagai Pulau Paskah adalah rumah bagi Moai (batu wajah) yang penuh teka-teki.
Moai adalah batu monolit yang telah berdiri mengawasi lanskap pulau selama ratusan tahun. Keberadaan mereka adalah bukti keajaiban kecerdasan umat manusia, namun maknanya masih menjadi misteri.
Pulau Paskah sendiri terletak di Negara Chili, tepatnya di bagian Selatan Samudera Pasifik. Patung-patung Moai menjadi ikon bagi pulau tersebut.
Mengapa patung-patung itu berada di sana memang telah menjadi pertanyaan para peneliti sejak lama dan beberapa hasil penelitian sudah mengungkap jawabannya.
Salah satunya, temuan yang dirilis oleh jurnal Plos One, di mana patung-patung batu itu rupanya didirikan di atas sumber daya alam terpenting manusia, yakni air tawar.
Meski begitu, ada mitos-mitos yang rupanya masih jarang didengar tentang Pulau Paskah dan patung-patung Moai. Seperti apakah mitos-mitos tersebut?
Simak selengkapnya dalam Kisah Misteri edisi Kamis (26/11/2020) "Mitos Pulau Paskah dan Batu Wajah Moai".
Baca juga: Kisah Misteri: Lady Dracula Elizabeth Bathory, Mandi Darah Gadis demi Awet Muda
Mungkin karena keterasingannya, sejarah dan budaya Pulau Paskah belum sepenuhnya terjelaskan sehingga berkembang menjadi mitos yang sangat relevan.
Namun, mitos-mitos ini biasanya dicampuri dengan imajinasi penutur maupun pendengarnya. Oleh karena itu, rekonstruksi sejarah yang didasarkan pada mitos tentang Moai di Pulau Paskah berada di antara realitas dan fantasi.
Melansir Imagina Rapa Nui, mitos mengisahkan bahwa seorang Ariki (raja) bernama Hotu Matu'a yang tinggal di benua indah bernama Hiva mendapat mimpi bahwa tanah kerajaannya akan tenggelam dan dia perlu mencari tempat lain untuk membawa rakyatnya.
Berbekal nasihat peramal, dia mengirim 7 penjelajah menuju sinar mentari pagi, mencari tanah yang cocok untuk ditinggali dan ditanami ubi jalar yang diyakini sebagai makanan pokok mereka.
Setelah berhari-hari berlayar, 7 penjelajah itu menemukan pulau kecil tak berpenghuni yang cukup subur untuk ditinggali.
Selain membawa ubi jalar, para penjelajah dikabarkan membawa Moai bersama mereka yang mereka tinggal di pulau itu bersama 1 orang penjelajah.
Beberapa waktu berlalu, Hotu Matu'a lalu tiba di pulau tersebut dengan 2 kapal besar bersama rombongannya yang terdiri dari istri, saudara perempuannya dan 100 orang lainnya.
Sejak saat itu, pulau yang mereka temukan diberi nama Te pito o te henua atau bermakna "pusarnya dunia".