JAYAPURA, KOMPAS.com - Papua adalah rumah bagi hutan hujan terluas yang tersisa di Asia. Sebuah investigasi visual yang dirilis pada Kamis (12/11) menunjukkan perusahaan raksasa asal Korea Selatan "secara sengaja" menggunakan api untuk membuka hutan Papua demi memperluas lahan sawit.
Hutan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat Papua secara turun temurun. Namun kini menjadi garda terdepan perluasan bisnis perusahaan sawit.
Suku Mandobo dan Malind yang tinggal di pedalaman Papua, perlahan kehilangan hutan adat yang menjadi tempat mereka bernaung.
Baca juga: Begini Cara Kemnaker Tingkatkan Kualitas KNK di Perkebunan Kelapa Sawit
"Saya menangis, saya sedih kenapa saya punya hutan, alam Papua yang begini indah, yang tete nenek moyang wariskan untuk kami anak cucu, kami jaga hutan ini dengan baik," tutur Elisabeth Ndiwaen, perempuan Suku Malind yang hutan adatnya di pedalaman Merauke kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit.
"Kami tidak pernah bongkar hutan, tapi orang dari luar bongkar itu. Buat saya itu luka," ujarnya.
Sementara, Petrus Kinggo, ketua marga Kinggo dari Suku Mandobo berkukuh mempertahankan hutan adatnya di Distrik Jair, Boven Digoel, agar tidak dijadikan kebun kelapa sawit.
Berjalan menyusuri hutan adatnya, Petrus menuturkan sagu yang tumbuh liar di hutan, makanan pokok masyarakat adat Papua kini lambat laun tergusur oleh kebun kelapa sawit.
"Jadi saya ambil ikan, daging, burung, sagu, gratis. Saya datang pasti dengan istri anak senyum, senang-senang kita makan. Tidak ada yang keberatan karena ini di atas tanah adat saya sendiri," kata Petrus sambil menunjukkan kebun sagu di hutan adatnya.
Hutan Papua tempat Petrus tinggal merupakan salah satu hutan hujan yang tersisa di dunia dengan keanekaragaman hayati tinggi. Lebih dari 60 persen keragaman hayati Indonesia, ada di Papua.
Sejauh mata memandang, pohon kelapa sawit berjajar teratur di area konsesi anak usaha perusahaan Korea Selatan, Korindo Group di Papua.
Baca juga: Viral Video Perempuan Jadi Sopir Truk Pengangkut Sawit, Ini Cerita di Baliknya...
Konglomerasi perusahaan sawit Korindo menguasai lebih banyak lahan di Papua daripada konglomerasi lainnya.
Perusahaan ini telah membuka hutan Papua lebih dari 57.000 hektar, atau hampir seluas Seoul, ibu kota Korea Selatan.
Investigasi menemukan bukti kebakaran di salah satu konsesi Korindo selama beberapa tahun dengan pola "pembakaran yang disengaja" secara konsisten.
Sebelum berjuang mempertahankan hutan adat seluas hampir 5.000 hektar milik marganya, enam tahun lalu Petrus melakukan hal yang mengubah nasib marganya selamanya.
Dia turut memuluskan langkah Korindo melakukan ekspansi kebun sawit di Boven Digoel dengan menjadi "koordinator" bagi 10 marga yang hutan adatnya kini menjadi area konsesi anak usaha Korindo, PT Tunas Sawa Erma (TSE).
Petrus bertugas "memengaruhi" marga-marga lain agar mau melepas hutan adat mereka.
Baca juga: Joe Biden Menang Pilpres AS, Unpad: di Sektor Lingkungan, Indonesia Harus Hati-hati Soal Sawit
Iming-iming perusahaan kala itu, diakui Petrus, membuatnya tergiur.
"Bapak nanti kami kasih honor, upah. Bapak sebagai koordinator nanti biaya pendidikan (anak) ditanggung perusahaan, nanti ada rumah-rumah bantuan, sumur air bersih, nanti (ada) genset," ujar Petrus menirukan kalimat pemikat yang dijanjikan perusahaan kala itu.
Akhirnya, pada 2015 marga pemilik ulayat melepas hutan adat mereka dengan menerima ganti rugi Rp 100.000 untuk tiap hektar hutan adat yang kini menjadi area PT Tunas Sawa Erma POP-E seluas lebih dari 19.000 hektar.
Petrus sendiri menerima Rp 488.500.000 untuk untuk pelepasan hak atas tanah hutan adat milik marga Kinggo seluas 4.885 hektar.
Petrus kemudian membagi uang yang ia terima kepada seluruh keluarganya dari marga Kinggo. Dari total uang itu, dia hanya mengantongi Rp 10 juta, yang dia gunakan untuk membiayai pendidikan delapan anaknya.
"Uangnya su tidak ada, kosong."
Baca juga: Saksi Sebut Menantu Nurhadi Beli Kebun Sawit Rp 13 Miliar
"Jumlah dari kedua ganti rugi adalah Rp 200.000," kata manajer humas Korindo, Yulian Mohammad Riza, dalam keterangan tertulis.
Ia menegaskan kesepakatan lahan tersebut sudah sesuai dengan regulasi di Indonesia.
Manajer humas Korindo ini menambahkan bahwa, "Harus dipahami dengan jelas bahwa kepemilikan legal atas tanah terletak pada pemerintah Indonesia, bukan masyarakat adat yang memegang "hak ulayat" atas tanah tersebut".
Namun, Petrus yang menganggap hutan adat itu sebagai "hak dan wilayah kehidupan", merasa dicurangi perusahaan.
Kepada BBC, Petrus mengaku merasa bersalah dan menanggung beban karena telah menyerahkan hutan adatnya dan hutan adat marga-marga lain yang mengubah nasib hutan itu selama-lamanya.
"Kalau menurut iman, saya berdosa, kan saya sudah tipu sepuluh marga. Terutama kepentingan perusahaan bikin kita sampai [melakukan] manipulasi saja sebenarnya," cetusnya.
"Saya sudah rasa bersalah di situ, ini sudah tipu."
Baca juga: Polisi Tangkap 3 Pelaku Curanmor di Duren Sawit, Hasil Curian Dijual ke Karawang
"Kami pertahankan ini wilayah kehidupan, perusahaan (lakukan) berbagai cara pun tidak bisa. Bukan caranya setelah izin (keluar) back up dengan polisi-tentara supaya menakuti masyarakat. Sebenarnya ini manipulasi saja, jadi kami tidak terima," kata Petrus.
Keberadaan aparat kepolisian telah menjadi bagian dari operasi anak usaha Korindo di Boven Digoel.
Kapolres Boven Digoel, AKBP Syamsurizal, menjelaskan hal itu tak lepas karena perkebunan kelapa sawit dikategorikan sebagai "obyek vital".
"Pihak perusahaan minta untuk kita lakukan pengamanan. Kita kirimkan personel untuk lakukan pengamanan," jelas Syamsurizal, seraya menjelaskan bahwa itu adalah "hal yang sudah dilakukan tahun-tahun sebelumnya".
Sementara, Korindo beralasan perkebunan sawitnya berada dekat dengan perbatasan Papua dan Papua Nugini sehingga keberadaan aparat polisi diperlukan untuk menjaga keamanan.
Namun, keterlibatan aparat dalam operasional perkebunan sawit dianggap berpotensi melanggar HAM oleh organisasi gereja yang mengadvokasi hak masyarakat adat, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAMe).
Direktur SKP-KAMe, Pastor Anselmus Amo, menjelaskan meskipun keterlibatan aparat disebut sebagai "pengamanan areal investasi", namun yang lebih penting adalah "memastikan aparat keamanan betul-betul menjalankan tugasnya".
"Tidak diperalat perusahaan untuk, misalnya, menghalang-halangi masyarakat yang menuntut hak-hak mereka,' ujar Pastor Amo.