Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sidang Gugatan RUU 21 Kanada yang Larang Penggunaan "Simbol Agama"

Kompas.com - 02/11/2020, 05:43 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

Sumber Al Jazeera

 

OTTAWA, KOMPAS.com - Persidangan atas gugatan terhadap UU yang melarang beberapa pegawai publik memakai pakaian keagamaan akan berlangsung pada awal November ini di provinsi Quebec, Kanada.

Kelompok hak asasi sipil sebelumnya telah menyerukan aturan itu melanggar konstitusi negara.

Gugatan terhadap RUU 21 diajukan oleh Dewan Nasional Muslim Kanada (NCCM), Canadian Civil Liberties Association (CCLA) dan Ichrak Nourel Hak, seorang wanita Muslim, dan akan disidangkan di Pengadilan Tinggi Quebec pada 2 November.

UU yang disahkan pada Juni 2019, melarang beberapa guru, pengacara, petugas polisi, dan lainnya di ruang publik untuk mengenakan simbol agama saat bekerja. 

Simbol agama itu, termasuk jilbab yang dikenakan oleh wanita Muslim, kippah yang dikenakan oleh pria Yahudi, dan turban yang dikenakan oleh Sikh.

Baca juga: Twitnya soal Islam dan Perancis Dihapus Twitter, Mahathir: Tidak Adil

Pemohon mengatakan UU tersebut diskriminatif dan menciptakan "kewarganegaraan kelas dua" di Kanada, sebagaimana yang dilansir dari Al Jazeera pada Minggu (1/11/2020).

Mustafa Farooq, CEO NCCM, mengatakan kepada Al Jazeera dalam sebuah wawancara telepon bahwa orang-orang "kehilangan pekerjaan hanya karena apa yang mereka kenakan dan apa yang mereka yakini".

“Masyarakat harus meninggalkan provinsi dan mengubah siapa mereka. Itu tidak bisa diterima. Itulah mengapa kami tidak akan pernah berhenti melawan RUU 21," kata Farooq.

Baca juga: Pemimpin Muslim di Perancis Minta Umat Islam Abaikan Kartun Nabi Muhammad

Nour Farhat, seorang pengacara Muslim dari Montreal yang mengenakan jilbab yang dikenakan oleh banyak wanita Muslim yang merasa itu adalah bagian dari agama mereka.

Farhat sedang mengejar gelar Master di bidang hukum dengan harapan dapat memenuhi mimpinya menjadi jaksa penuntut negara ketika RUU 21 disahkan tahun lalu.

Hukum telah memaksanya untuk bekerja di sebuah perusahaan swasta karena dia tidak bisa bekerja sebagai pegawai negara dengan mengenakan jilbab.

"(RUU 21) melarang saya mengambil jalan yang selalu ingin saya ambil," kata Farhat kepada Al Jazeera.

Kasus pengadilan, tambahnya, akan menjadi salah satu "pengadilan terbesar" dalam hidupnya.

Baca juga: Dianggap Menghina Islam, Presiden Perancis Dikecam Umat Kristen di Arab

Sentimen anti-Muslim

Meskipun mendapat tentangan keras, Perdana Menteri Quebec, Francois Legault, telah membela UU tersebut, dengan mengatakan bahwa itu adalah tindakan moderat yang tidak melanggar kebebasan beragama dan didukung oleh "sebagian besar penduduk Quebec".

Survei terhadap lebih dari 1.200 Quebec yang dilakukan oleh Leger Marketing pada Mei 2019 menunjukkan 63 persen orang di provinsi tersebut mendukung RUU 21.

Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Association for Canadian Studies, hanya 37 persen warga Quebec yang memiliki pandangan positif tentang Muslim, sementara hanya 28 persen yang memiliki pandangan positif tentang Islam.

Baca juga: Tragedi Samuel Paty Dorong Diskursus Islam di Perancis

Berdasarkan hasil survei, dari mereka yang memiliki pandangan negatif tentang Islam, 88 persen mendukung larangan simbol agama untuk guru sekolah negeri.

Sementara pemerintah Quebec mengatakan, RUU 21 itu diterapkan untuk orang-orang dari semua agama secara setara, hak-hak sipil dan kelompok masyarakat mengatakan Muslim menanggung beban akibatnya, terutama wanita Muslim yang mengenakan jilbab.

“Tidak mungkin untuk menyangkal bahwa ada bagian xenophobic dalam RUU ini,” kata Farooq dari NCCM.

"Ada alasan mengapa RUU ini datang dari seorang pria (Legault) yang menolak menggunakan istilah rasisme sistemik," lanjutnya.

Legault telah berulang kali menolak untuk mengakui bahwa rasisme sistemik ada di Quebec, meskipun banyak laporan yang menguraikan masalah tersebut.

Baca juga: Kasus Guru Dipenggal, Perancis Akan Perkuat Kendali Pendanaan terhadap Kelompok Islam

"Setiap kali politisi berbicara tentang RUU tersebut, mereka selalu berbicara tentang wanita Muslim, dan bukan pria Sikh atau pria Yahudi," kata Farhat kepada Al Jazeera.

Setelah RUU 21 diajukan pertama kali pada Maret 2019, Justice Femme, sebuah kelompok hak-hak perempuan Montreal, melaporkan menerima lebih dari 40 panggilan telepon dari perempuan Muslim. 

Mereka rata-rata melaporkan insiden kebencian, termasuk pelecehan verbal dan fisik, diludahi dan orang-orang mencoba merobek jilbab mereka.

Pembunuhan enam orang Muslim di sebuah masjid Kota Quebec pada Januari 2017 lebih lanjut membawa Islamophobia di provinsi menjadi sorotan.

Serangan anti-Muslim baru-baru ini di luar Quebec juga menimbulkan kekhawatiran.

Pada September, seorang pria Muslim dibunuh di luar sebuah masjid di wilayah Toronto oleh seorang pria yang memiliki ikatan dengan ideologi supremasi kulit putih, mengirimkan gelombang kejut ke seluruh komunitas Muslim Kanada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com