BANGKOK, KOMPAS.com - Demonstrasi di Thailand mirip dengan yang terjadi di Hong Kong.
Jalanan dipenuhi pengunjuk rasa yang berani menentang kekuasaan elite politik yang sudah mengakar dan membicarakan topik yang dulunya tabu, untuk menuntut kebebasan yang lebih luas.
Voranai Vanijaka analis politik di Universitas Thammasar Bangkok mengatakan, para anak muda yang paham teknologi di kedua wilayah itu memiliki "nilai budaya yang sama".
Baca juga: Pemerintah Thailand Akan Investigasi Media, Aksi Pindah ke Telegram
"(Ini) cinta untuk kebebasan dan keberanian memperjuangkan perubahan," katanya kepada AFP.
Berikut adalah lima persamaan demo Thailand dan demo Hong Kong.
Kedua gerakan ini sama-sama dimotivasi oleh ketidaksetaraan dan demokrasi, lalu sama-sama menghadapi musuh besar yang enggan melakukan perubahan.
Bagi demonstran Hong Kong lawannya adalah Partai Komunis China, yang meningkatkan kendali atas kota semi-otonom itu.
Beijing menolak permintaan demokrasi yang lebih luas, lalu untuk menanggapinya mereka menerapkan UU Keamanan Nasional, yang sementara ini dapat meredam perbedaan pendapat massal.
Baca juga: UU Keamanan Nasional Beraksi Lagi, Bos Besar Media Hong Kong Ditangkap
Sementara itu di Thailand lawannya adalah kerajaan, yang didukung militer kuat dan rawan kudeta, tapi menduduki puncak piramida politik.
Saat ini belum diketahui bagaimana istana akan bereaksi terhadap protes Thailand, tetapi di pergolakan sebelumnya mereka memainkan peran penting dalam menentukan hasilnya.
Cara pihak berwenang menegakkan hukum menjadi katalisator utama demo besar di Thailand dan Hong Kong.
Gejolak awal di Hong Kong adalah tentang ekstradisi ke pengadilan di China daratan. Protesnya lalu meluas meliputi hak pilih universal dan oposisi terhadap pemerintahan Beijing.
Kemudian di Thailand hukum lese majeste yang melindungi monarki dari kritik menjadi komponen utama reformasi.
Baca juga: Mengenal Hukum Lese-Majeste, Lindungi Raja Thailand dari Kritikan
Banyak kritikus kerajaan Thailand yang dibungkam. Human Rights Watch mencatat setidaknya sembilan kasus yang melibatkan aktivis di luar negeri.
Salah satunya adalah Wanchalearm Satsaksit yang diduga diculik di Kamboja pada Juni, dan belum terlihat lagi sejak itu.