Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Nasionalisme Vaksin" Berdampak pada COVAX, Ini Faktanya...

Kompas.com - 17/09/2020, 08:59 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Penulis

KOMPAS.com - Setelah Covid-19 dinyatakan sebagai penyakit darurat kesehatan dan wabah internasional pada 30 Januari, para ilmuwan mulai meneliti dan mengerjakan vaksin.

Meski negara-negara kaya menggaungkan 'nasionalisme vaksin' yang semakin menjadi perhatian, beberapa organisasi internasional termasuk WHO justru memberikan dukungan mereka untuk Covid-19 Global Access (COVAX).

Hal itu mendorong negara-negara lain menandatangani kesepakatan yang telah dirancang untuk menyediakan 2 miliar dosis vaksin pada akhir tahun 2021.

Dan, mengutip Stuff, sejauh ini sebanyak 172 negara termasuk Australia telah menandatangani inisiatif tersebut.

 

Dengan itu, mereka harus berkomitmen pada 18 September besok dan mulai membayar biaya untuk penelitian vaksin pada 9 Oktober mendatang.

Meski begitu, Amerika Serikat memilih keluar dari inisiatif itu dan berusaha melakukan upaya sendiri, disusul dengan Rusia dan China yang belum memberikan komitmennya.

Baca juga: Saat WHO Peringatkan tentang Bahaya Nasionalisme Vaksin...

Apa itu nasionalisme vaksin?

Melansir Indian Express, ketika suatu negara berhasil mengamankan dosis vaksin untuk warganya atau penduduknya dan memprioritaskan pasar domestiknya sendiri sebelum tersedia di negara lain, hal itu dikenal sebagai 'nasionalisme vaksin'.

Upaya itu dilakukan melalui perjanjian pra-pembelian antara pemerintah dan produsen vaksin.

Misalnya, Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Uni Eropa telah menghabiskan puluhan miliar dollar untuk kesepakatan dengan pembuat vaksin kenamaan seperti Pfizer Inc, Johnson & Johnson dan AstraZeneca Plc bahkan sebelum keefektifan vaksinnya terbukti.

Baca juga: WHO: Nasionalisme Vaksin Hambat Penghentian Pandemi Covid-19

Lalu, bagaimana dengan COVAX?

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendorong semua negara untuk mendukung COVAX dengan Direktur Jenderalnya, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa itu adalah "cara tercepat untuk mengakhiri pandemi".

Tentunya, langkah COVAX bisa dikatakan menuju arah yang benar. Inisiatif ini secara efektif menciptakan komitmen pasar terdepan dan terbesar di dunia untuk vaksin, melebihi kesepakatan apa pun yang dibuat suatu negara secara independen.

Negara-negara berpenghasilan rendah yang telah menandatangani rencana tersebut juga akan mendapatkan akses ke vaksin yang aman dan terjangkau yang mungkin tidak dapat mereka akses selama bertahun-tahun.

Meskipun WHO dan mitra utamanya, aliansi vaksin global GAVI dan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi, mendapat ucapan selamat atas peluncuran inisiatif ini, namun vaksin COVAX tidak seperti yang diklaim banyak orang. 

COVAX terdampak dengan adanya nasionalisme vaksin yang digalakan oleh negara-negara kaya dengan kesepakatan vaksin independen mereka.

Baca juga: 75 Negara Ingin Bergabung dengan Skema COVAX untuk Vaksin Corona

Berikut ini dampak dari adanya nasionalisme vaksin terhadap COVAX:

1. Karena adanya nasionalisme vaksin, maka persediaan COVAX terbatas. Kesepakatan negara-negara kaya seperti AS, Inggris, Kanada, dan Jepang dengan produsen vaksin mereka, akan membuat harga vaksin relatif lebih mahal sehingga berpotensi membuat vaksin semakin tidak terjangkau banyak negara miskin.

2. Komitmen untuk 2 miliar dosis pada akhir tahun 2021 terlalu kecil, mengingat sebagian besar vaksin yang saat ini dalam uji klinis Fase 3 memerlukan hingga dua atau tiga dosis untuk memberikan kekebalan.

Ketika dibagi di antara semua negara yang telah mendaftar ke COVAX, itu berarti setiap negara akan menerima pasokan yang sangat kecil.

Akibatnya, hal tersebut dapat mendorong pemerintah untuk mencari kesepakatan independen tambahan untuk memenuhi permintaan penduduk mereka.

3. Meskipun COVAX dengan bijak tidak meletakkan fokusnya pada satu hal saja, namun juga mendukung 9 vaksin lain yang berada dalam pengembangan dan juga evaluasi, 2 miliar dosis itu kemungkinan akan bersumber dari banyak produsen.

Masalahnya, akibat dari itu adalah beberapa pemerintah mungkin tidak suka dengan rencana alokasi berdasarkan langkah tersebut. Apalagi jika satu vaksin terbukti lebih efektif dibanding yang lain.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Menlu AS Tuding ICC Hambat Gencatan Senjata Perang Israel-Hamas

Menlu AS Tuding ICC Hambat Gencatan Senjata Perang Israel-Hamas

Global
Menteri Keamanan To Lam Resmi Terpilih Jadi Presiden Vietnam

Menteri Keamanan To Lam Resmi Terpilih Jadi Presiden Vietnam

Global
Anggota Kabinet Perang Israel Ron Dermer Sebut Tak Ada Kelaparan di Gaza, Kok Bisa? 

Anggota Kabinet Perang Israel Ron Dermer Sebut Tak Ada Kelaparan di Gaza, Kok Bisa? 

Global
Amelia Earhart, Perempuan Pertama yang Melintasi Atlantik

Amelia Earhart, Perempuan Pertama yang Melintasi Atlantik

Internasional
6 Fakta soal Helikopter Presiden Iran, Termasuk Buatan AS dan Sudah Usang

6 Fakta soal Helikopter Presiden Iran, Termasuk Buatan AS dan Sudah Usang

Global
Rusia Umumkan Mulai Latihan Peluncuran Senjata Nuklir Taktis

Rusia Umumkan Mulai Latihan Peluncuran Senjata Nuklir Taktis

Global
Penumpang yang Tewas dalam Singapore Airlines Berencana Berlibur ke Indonesia

Penumpang yang Tewas dalam Singapore Airlines Berencana Berlibur ke Indonesia

Global
[POPULER GLOBAL] Singapore Airlines Turbulensi Parah | Hasil Penyelidikan Awal Kecelakaan Helikopter Presiden Iran

[POPULER GLOBAL] Singapore Airlines Turbulensi Parah | Hasil Penyelidikan Awal Kecelakaan Helikopter Presiden Iran

Global
Presiden Iran Meninggal, Turkiye Adakan Hari Berkabung

Presiden Iran Meninggal, Turkiye Adakan Hari Berkabung

Global
Saat Pesawat Singapore Airlines Menukik 6.000 Kaki dalam 3 Menit...

Saat Pesawat Singapore Airlines Menukik 6.000 Kaki dalam 3 Menit...

Global
Menlu Jerman: Ukraina Butuh Segera Tingkatkan Pertahanan Udara untuk Lawan Rusia

Menlu Jerman: Ukraina Butuh Segera Tingkatkan Pertahanan Udara untuk Lawan Rusia

Global
Singapore Airlines Turbulensi Parah, Penumpang Terlempar ke Kabin Bagasi

Singapore Airlines Turbulensi Parah, Penumpang Terlempar ke Kabin Bagasi

Global
Presiden Raisi Meninggal, Kedubes Iran Sampaikan Terima Kasih atas Belasungkawa Indonesia

Presiden Raisi Meninggal, Kedubes Iran Sampaikan Terima Kasih atas Belasungkawa Indonesia

Global
Sosok Jacob Zuma, Mantan Presiden Afrika Selatan yang Didiskualifikasi dari Pemilu Parlemen

Sosok Jacob Zuma, Mantan Presiden Afrika Selatan yang Didiskualifikasi dari Pemilu Parlemen

Internasional
Gelombang Panas India Capai 47,4 Derajat Celsius, Sekolah di New Delhi Tutup

Gelombang Panas India Capai 47,4 Derajat Celsius, Sekolah di New Delhi Tutup

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com