TOKYO, KOMPAS.com - Yuta Shinohara seorang penjual ramen di Jepang, berinovasi di dagangannya. Bukan daging babi atau ayam yang dijadikan lauk ramen, tetapi jangkrik.
"Dalam panci ini ada 10.000 jangkrik, cukup buat 100 mangkuk," ucap Shinohara kepada jurnalis AFP, sambil mengaduk panci perak besar.
Ramen yang dibuat Shinohara bersama timnya terlihat seperti ramen pada umumnya. Mi putih lembut dalam kuah yang gurih, dengan potongan daging babi, gajih, dan acar.
Tidak banyak yang tahu bahwa Shinohara (26) menggunakan jangkrik dalam racikan kaldu, minyak, kecap, bahkan mi. Kecuali, jangkrik goreng yang jelas terlihat di sebelah hiasan daun mitsuba di atas sup.
Baca juga: Ramen Jepang dan Ramyun Korea, Apa Bedanya?
Shinohara bukan koki profesional, dan ia lebih suka disebut "anak alam". Cintanya terhadap semua hal yang berhubungan dengan alam membuatnya meramu makanan berbasis serangga.
"Aku ingin mengenalkan nikmatnya makan serangga, sehingga serangga akan dihormati setara dengan hewan dan tumbuhan," katanya dikutip dari AFP Senin (25/5/2020).
Ketertarikan Shinohara dengan serangga dimulai sejak kecil, ketika ia menghabiskan banyak waktu di ladang dan semak-semak untuk menangkap belalang dan jangkrik.
Dia begitu terpesona oleh jangkrik, sampai akhirnya memakannya diam-diam.
"Aku tidak berani memberi tahu siapa pun kalau aku suka serangga atau aku makan serangga, sampai umurku 20 tahun," ujarnya malu-malu.
"Aku takut menjadi orang aneh atau di-bully karenanya."
Baca juga: Kasus Baru Covid-19 Melambat, Jepang Bakal Akhiri Darurat Nasional
Manusia telah memakan serangga selama ribuan tahun dan serangga masih menjadi makanan umum di banyak negara Asia, Afrika, Amerika Latin, serta Oseania.
Akan tetapi banyak orang Barat dan negara-negara lainnya yang masih enggan memakan serangga.
Pakar lingkungan dan pertanian pun coba mengenalkan serangga sebagai hasil alam yang kaya mineral dan protein.
Sebaliknya, ia melihatnya sebagai makanan lezat yang harus disantap.