Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Cara China Atasi Wabah Covid-19 dengan Pelacakan Lewat Ponsel

Kompas.com - 03/04/2020, 10:28 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

BEIJING, KOMPAS.com - Pembicaraan soal penanganan virus corona di China tak terlepas dari pembicaraan soal teknologi canggih.

Robot diperbantukan mengantar makanan di rumah sakit, adanya kamera yang bisa mengenali wajah dan mengukur suhu tubuh, atau drone yang memaksa karantina dan penutupan wilayah.

Namun bagaimana dengan teknologi tersembunyi mereka?

Baca juga: Berbincang di Telepon dengan Jokowi, Presiden China Siap Bantu Atasi Virus Corona

China memiliki sistem pengawasan canggih yang bisa melacak warga negara mereka, baik secara online maupun offline. Sistem ini terbukti sangat efektif saat pandemi berlangsung.

Jaringan pengawasan terhadap warga ini telah dibangun oleh Partai Komunis China selama beberapa dekade.

Selama ini mereka selalu dikritik di seluruh dunia karena hal itu, namun ketika dunia sedang dicengkram oleh Covid-19, beberapa negara mencoba melihat model China sebagai jawaban.

Baca juga: Atasi Ancaman Gelombang Kedua Virus Corona, Otoritas Wilayah Jia di China Terapkan Lockdown Total

Apa yang dilakukan di negara-negara lain?

Menurut wartawan BBC di Seoul Laura Bicker, pemerintah Korea Selatan menggunakan ponsel untuk mengetahui keberadaan warganya, dan mengirimkan pesan darurat ketika seseorang mendekat ke lokasi di mana pasien yang terkonfirmasi berada

Lalu Singapura, Israel, Iran, Taiwan, dan Rusia mengadopsi sebagian atau keseluruhan metode yang dipakai China untuk memanfaatkan kekuatan data. Lebih banyak lagi negara yang diperkirakan akan mengikuti.

Baca juga: Kasus WNA Masuk Indonesia di Tengah Wabah Corona, TKA China di Ketapang hingga Bintan Dipulangkan

Penduduk meninggalkan jejak data lewat KTP

Lalu bagaimana sistem pengawasan di China menghasilkan data dan apa kegunaannya saat terjadi pandemi?

Caranya dimulai dari kartu tanda pengenal atau kartu identitas nasional.

Polisi China mengawasi warga yang keluar masuk saat aturan karantina diterapkan.BBC Indonesia Polisi China mengawasi warga yang keluar masuk saat aturan karantina diterapkan.
Warga membutuhkan kartu tanda pengenal nasional ini untuk melakukan segala sesuatunya di China.

Mulai dari membeli telepon genggam hingga menggunakan aplikasi tertentu, warga China akan meninggalkan jejak digital yang bisa dilacak hingga ke KTP mereka.

Baca juga: Dituduh AS Sembunyikan Fakta Kasus Virus Corona, China: Mereka Ingin Melempar Kesalahan

Mengawasi penduduk melalui telepon genggam dengan penanda warna

Di wilayah yang diberlakukan penutupan, data lokasi telepon digunakan untuk mengawasi pergerakan manusia dan menerapkan jam malam.

Jika seorang pasien harus dikarantina, petunjuk lokasi geografis (geo location) di telepon mereka akan memberi peringatan kepada pemerintah seandainya orang ini keluar dari tempat karantinanya.

Lokasi data telepon juga digunakan untuk memetakan secara persis tempat-tempat yang dikunjungi seseorang selama dua minggu terakhir sebelum didiagnosis.

Baca juga: China Sebut Dokter Li Wenliang, Whistleblower Virus Corona, sebagai Martir

Gabungan dari analisis manusia dan komputer bisa menentukan siapa saja yang mungkin terinfeksi oleh mereka.

Jika pasien ini naik kereta dan berpeluang menginfeksi orang, pesan teks akan dikirimkan melalui sebuah aplikasi yang digunakan banyak orang untuk memberi peringatan adanya risiko penularan.

Setiap orang diberi kode QR (Quick Response) berwarna, tergantung risiko yang mereka miliki.

  • Hijau - tanpa risiko.
  • Oranye - sempat memasuki daerah berpotensi penyebaran virus.
  • Merah - dites dengan hasil positif dan berisiko menularkan.

Baca juga: Tim Tunggal Putra China Lega Olimpiade Tokyo Ditunda

Penerapan karantina

Pengawasan siber ini tak akan ada gunanya tanpa adanya tim penerapan karantina yang ketat di China.

Polisi dan relawan secara harfiah menjaga setiap pintu keluar masuk blok-blok apartemen untuk memastikan terjadinya karantina.

China berhasil menurunkan tingkat infeksi baru dari ribuan sehari ketika puncak wabah terjadi, hingga menjadi nol dalam waktu lima minggu.

Baca juga: 2 WN China Dipulangkan Setelah Dikarantina Selama 4 Hari

Namun di negara-negara di mana pengawasan digunakan untuk menangani virus corona, banyak orang khawatir dampaknya di jangka panjang.

Adam Schwartz, pengacara senior di Electronic Frontier Foundation mengatakan di tengah pademi ini, "Ada kekhawatiran besar bahwa ketika pemerintah mendapatkan kekuasaan baru dalam situasi krisis, pemerintah tidak akan mengembalikan kekuasaan itu ketika krisis selesai."

Contohnya, seiring serangan 11 September, Amerika Serikat membuat pengawasan luas kepada warga. Lalu 19 tahun berselang, kekuasaan itu masih berada di tangan pemerintah AS.

Adam dan pihak lain juga mempertanyakan apakah data dari pengawasan massal ini akan bisa membawa hasil atau tidak.

Baca juga: Orang Jepang, China, dan Korea Sering Pakai Masker, Ternyata Ini Alasannya...

Schwartz mengatakan yang perlu dikatakan kepada pemerintah di seluruh dunia adalah, "Sebelum menjalankan kekuatan pengawasan massa, penting bagi pemerintahan dan tenaga kesehatan untuk maju memperlihatkan bahwa teknologi ini malah bisa menambah krisis."

Menyeimbangkan privasi dan keamanan merupakan salah satu problem yang sudah terjadi sepanjang sejarah pemerintahan dan kepentingan publik.

Tapi mungkin baru kali ini terjadi dalam sejarah, betapa dilema ini menjadi semakin menekan dalam keadaan yang mengancam nyawa banyak orang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com