Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Deklarasi Jalan Tengah

Kita katakan secara konsensus, sebab Bali Leaders Declaration dicapai lewat pergulatan panjang untuk mengkompromikan pandangan dan pendapat terutama menyangkut "perang Ukraina." Presiden Jokowi pun mengakui, sikap anggota G20 terhadap perang di Ukraina merupakan paragraf yang "paling diperdebatkan".

Katanya, "Sampai tengah malam kemarin kami membahas hal itu. Diskusi sangat alot tapi akhirnya para pemimpin menyepakati isi deklarasi yang mengutuk perang di Ukraina karena telah melanggar perbatasan, keutuhan kawasan."

"Kami sepakat bahwa perang berdampak negatif terhadap ekonomi global, dan pemulihan ekonomi global juga tidak akan tercapai tanpa adanya perdamaian," kata Jokowi.

Kata Menlu Retno Marsudi (Antara), proses menuju kesepakatan atas deklarasi tersebut sangat panjang. Bahkan, dilakukan melalui beberapa putaran negosiasi.

Cerminan ketegangan

Pernyataan Presiden Jokowi dan Menlu Retno tersebut menegaskan bahwa para anggota G20 berbeda pandangan mengenai perang Ukraina. Tetapi, mereka bersatu pandangan bahwa perang berdampak negatif terhadap keamanan pangan dan energi yang dirasakan seluruh dunia; bahwa perang menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa dan memperburuk kerentanan yang ada dalam ekonomi global.

Meskipun demikian, para pemimpin tidak serta-merta bersepakat ramai-ramai mengutuk (condemn) tindakan Rusia di Ukraina itu. Tidak pula segera bersepakat bulat memasukkan kata "mengutuk" di dalam deklarasi akhir. Tidak!

AS dan sekutu-sekutu Baratnya, termasuk Australia, jelas menginginkan hal itu. Tetapi, ada China, India, Brasil, dan Saudi Arabia, misalnya yang menginginkan digunakannya "istilah" lain. Ada pandangan bahwa condemnation akan memprovokasi sikap keras kepala dan karena itu sangat mengurangi kesempatan untuk keterlibatan yang konstruktif.

China adalah salah satu negara yang, sejak pecah perang pada Februari lalu, mengambil sikap "abu-abu." Ketika dunia ramai-ramai mengecam aksi militer Rusia, China tidak mengkritik Rusia secara terbuka atau mendukung Moskow secara terbuka.

Sikap dan posisi India pun sudah terlihat sejak saat voting terhadap rancangan draf resolusi PBB yang menyerukan Rusia mengakhiri invasi militernya, beberapa waktu lalu. Ketika itu, India berada di tengah-tengah antara "tarikan" Barat dan Rusia.

Barat ingin India meng- condemn invasi militer Rusia ke Ukraina. Sebaliknya, Rusia berharap India netral. Maka akhirnya, India memilih abstain dalam dua kali voting draf resolusi, Maret lalu.

Pergulatan panjang itulah yang akhirnya diselesaikan dengan konsensus. Maka dalam Bali Leaders' Declaration ditulis, sebagian besar anggota mengutuk keras perang di Ukraina dan menekankan bahwa hal itu (perang) menyebabkan penderitaan manusia yang luar biasa dan memperburuk kerentanan yang ada dalam ekonomi global.

Dalam deklarasi juga disebut, negara-negara anggota G20 menegaskan kembali posisi mereka yang "menyesalkan dengan sangat keras agresi oleh Federasi Rusia terhadap Ukraina dan menuntut penarikan penuh dan tanpa syarat dari wilayah Ukraina."

Semangat konsensus

Yang menarik dari Bali Leaders' Declaration ini adalah diakuinya "ada pandangan lain dan penilaian situasi yang berbeda," terhadap perang Ukraina dan pilihan sikap yang akan harus dijatuhkan terhadap Rusia.

Pandangan lain ini - tidak setuju digunakannya kata condemn dalam deklarasi akhir -mendorong jalur diplomasi dalam penyelesaian konflik. "Penggunaan atau ancaman penggunaan senjata nuklir tidak dapat diterima. Penyelesaian konflik secara damai, upaya penanganan krisis, serta diplomasi dan dialog, sangat penting. Zaman sekarang bukanlah era perang.”

Selain itu, dinyatakannya dalam deklarasi bahwa G20 "bukan forum untuk menyelesaikan isu-isu keamanan" menegaskan bahwa Indonesia sebagai presidensi, ingin G20 tetap memegang teguh prinsip dasarnya dan tidak digunakan untuk kepentingan politik.

Kata Presiden Jokowi, "G20 adalah forum ekonomi, forum finansial, forum pembangunan, bukan forum politik. Jadi jangan ditarik ke politik."

Maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa sangat menarik pandangan lain diakui dan dinyatakan dalam deklarasi. Semua pandangan dan pendapat diakomodasi.

Sebab, kata Presiden Jokowi dalam pidato pembukaan, “Kita tidak punya pilihan lain, kolaborasi diperlukan untuk menyelamatkan dunia.” Prinsip kebersamaan dan kebersatuan sangat diutamakan.

Kata Presiden Jokowi, "G20 harus menjadi katalis untuk pemulihan ekonomi yang inklusif. Kita tidak boleh membagi dunia menjadi beberapa bagian. Kita tidak boleh membiarkan dunia jatuh ke dalam Perang Dingin lainnya."

Untuk mewujudkan itu - terciptanya kolaborasi - dibutuhkan usaha keras, meyakinkan semua pihak, menekan egoisme negara-negara besar yang cenderung mau mendikte dan menang sendiri. Ini dibutuhkan kelihaian dan kehandalan dalam diplomasi.

Kata Menlu Retno, dengan menggunakan aset diplomasi yang sudah cukup lama Indonesia mencoba menjembatani semua perbedaan yang ada di antara anggota G20. Ini adalah usaha yang luar biasa dari Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bridge builder.

Dengan aset diplomasi tersebut, Indonesia yang memegang presidensi G20 bertekat KTT harus berhasil. Maka sejak awal, Indonesia - Presiden Jokowi dan juga menugaskan Menlu Retno - berjuang meyakinkan para pemimpin negara anggota akan arti penting KTT ke-17 ini di tengah situasi dan kondisi dunia tidak baik. Karena itu, kehadiran mereka sangat penting.

Pada akhirnya, semua terjadi. Deklarasi disepakati. Keberhasilan disepakatinya deklarasi itu, tidak terlepas dari prinsip politik luar negeri bebas aktif yang dipegang kukuh Indonesia.

Kata Menlu Retno, Indonesia berpegangan pada prinsip politik luar negeri bebas aktif yakni bebas untuk menentukan keputusan dalam berpendapat dan aktif untuk berkontribusi dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Dengan ini, semua aspirasi, keinginan dan tekat dari semua anggota untuk menciptakan perdamaian dunia, ditampung. Maka, konsensus atau pemufakatan bersama yang dicapai melalui kebulatan suara (KBBI), menjadi pilihan. Pilihan dalam merumuskan isi deklarasi.

Ini kiranya mengapa Presiden Jokowi dalam pidato pembukaan mengajak para pemimpin negara G20 untuk memilih bertindak bijaksana dengan memilih win-win bukan zero sum.

Lahirnya Bali Leaders' Declaration itu menjawab sikap pesimistis banyak pihak terhadap presidensi Indonesia. Ketika Indonesia mendapat mandat, kepercayaan untuk memegang presidensi G20 muncul keraguan, apakah Indonesia bisa menghasilkan suatu deklarasi mengingat situasi dunia yang sulit, baik oleh dampak pandemi Covid-19 maupun perang Ukraina yang menimbulkan krisis energi, pangan, keuangan, dan perekonomian dunia.

Keraguan itu tidak terbukti. Dengan memegang teguh prinsip "musyawarah untuk mufakat", Indonesia mampu mengatasi perbedaan- perbedaan yang ada, sehingga Bali Leaders' Declaration pun, lahir.

Dengan prinsip itu pula, Indonesia menyatukan seluruh anggota G2O dalam satu barisan untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan-persoalan dunia yang mendesak saat ini.

https://www.kompas.com/global/read/2022/11/17/083156370/deklarasi-jalan-tengah

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke