Transisi ke energi terbarukan pun digaungkan sejumlah negara untuk mengurangi ketergantungan pada produk hidrokarbon Rusia.
Lalu, apakah invasi Rusia ke Ukraina dapat berujung pada pola konsumsi energi terbarukan? Berikut ulasannya dari AFP pada Kamis (10/3/2022).
Namun, batu bara--sumber listrik yang paling berbahaya bagi lingkungan--mungkin menggoda beberapa negara.
Badan Energi Internasional (IEA) menghilangkan batu bara dari rencana 10 poinnya untuk mengurangi ketergantungan Eropa pada gas Rusia karena dampak lingkungan, tetapi mengakui bahwa bahan bakar fosil akan memungkinkan Eropa untuk melangkah lebih jauh dan lebih cepat.
Penilaian tersebut muncul ketika permintaan global untuk bahan bakar fosil kotor mencapai rekor tertinggi pada 2021, karena beberapa negara termasuk raksasa ekonomi China lebih memilihnya daripada gas yang lebih mahal.
Wakil Presiden Komisi Eropa Frans Timmermans mengatakan, tidak ada tabu dalam menggunakan batu bara.
Negara-negara seperti Polandia dapat membakar batu bara lebih lama, menggunakannya untuk transisi ke sumber energi terbarukan tanpa melewati fase pembangkit listrik tenaga gas.
Analis dari bank RBC berujar, langkah itu adalah perubahan total dalam sikap Uni Eropa terhadap batu bara.
Investor tampaknya setuju, dan nilai perusahaan di sektor tersebut meningkat baru-baru ini bahkan ketika konflik Ukraina memicu volatilitas pasar yang drastis.
"Situasi di Ukraina menambah kepercayaan lebih lanjut pada argumen untuk mentransisikan sistem energi kita ke sistem berbasis energi yang murah, bersih, dan andal," kata perusahaan manajer aset Schroders.
"Saat harga energi konvensional melonjak lebih tinggi, daya tarik ekonomi relatif dari energi terbarukan terus tumbuh. Hal ini terjadi bahkan setelah memperhitungkan biaya peralatan yang lebih tinggi dari kendala rantai pasokan."
Kapasitas tenaga surya dan angin meningkat pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya pada 2021.
Akan tetapi IEA mengatakan, empat kali lebih banyak infrastruktur harus dipasang setiap tahun untuk membatasi pemanasan global hingga target 1,5 derajat Celsius yang ditetapkan dalam Perjanjian Iklim Paris 2015.
Masih ada pertanyaan tentang melonjaknya biaya bahan-bahan penting seperti nikel--sebagian besar diproduksi di Rusia--dan kekuatan investasi yang lebih besar dari raksasa migas yang diuntungkan dari rekor harga yang tinggi.
"Perubahan iklim--yang merupakan masalah utama bagi banyak pemerintah--meluncur ke bawah dalam daftar prioritas," kata direktur eksekutif IEA Fatih Birol.
Dia memperingatkan teori sangat berbahaya yang menyita perhatian di seluruh dunia bahwa fokus berlebihan pada energi bersih mengancam keamanan energi.
"Keamanan energi sangat penting. Kami di sini untuk menjaga lampu tetap menyala. Tapi ini tidak berarti akan mematikan upaya kami untuk mencapai tujuan akhir kami," katanya.
"Penting untuk memikirkan bagaimana mengurangi pemborosan dalam konsumsi energi kita," kata Nicolas Berghmans, peneliti di Institute for Sustainable Development and International Relations.
Ide ini kali pertama muncul setelah guncangan minyak pada 1970-an dan kembali ke garis depan debat publik karena rencana transisi melibatkan peningkatan efisiensi energi dan pengurangan konsumsi.
Menurunkan pemanas satu derajat di Perancis akan menghemat cukup gas untuk mengisi 12 hingga 15 kapal tanker gas setiap tahun, menurut Catherine MacGregor, bos raksasa energi Perancis Engie.
Uni Eropa juga menargetkan langkah-langkah efisiensi termasuk mengisolasi bangunan dan mengubah metode pemanasan.
Industri konstruksi saja menghasilkan seperlima dari emisi global, terutama melalui gas, yang harus dikurangi setidaknya 65 persen pada 2040, kata kelompok riset Climate Action Tracker, Rabu (9/3/2022).
Ekonom Laurence Tubiana yang juga arsitek utama Perjanjian Iklim Paris mengatakan, KTT Uni Eropa minggu ini di Perancis akan menjadi penting.
"Ini tergantung para kepala negara untuk memberikan tanggapan yang sesuai dan menetapkan arah politik," katanya kepada AFP.
https://www.kompas.com/global/read/2022/03/10/213000970/dampak-perang-rusia-ukraina-apakah-berujung-transisi-energi-terbarukan-