Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Tempe di Amerika Serikat dan Pengusaha Besar yang Terinspirasi dari Malang

Beberapa hal itu termasuk "rumah pohon", tempat tinggalnya selama bertahun-tahun untuk menghemat biaya serta keputusan menguras tabungannya saat itu sebanyak 2.500 dollar AS (Rp 37 juta) sebagai modal usaha mendirikan perusahaan yang menghasilkan produk nabati, Tofurky.

Satu hal lain yang ia katakan menjadi titik balik usahanya adalah Malang. Kota di Jawa Timur ini, kata Seth, menjadi inspirasinya untuk mencari tempat di luar kota yang cocok untuk memproduksi tempe.

"Saya baca tentang Malang dari buku Tempe oleh Bill Shurtleff. Saya kagum dengan tebalnya tempe yang diproduksi di sana dan bahwa kawasan itu terkenal membuat tempe dengan kualitas tinggi dengan lokasi di daerah pedesaan," kata Seth kepada BBC News Indonesia.

"Cerita ini yang menginspirasi untuk memulai memproduksi tempe dengan pindah dari kota besar, ke kota kecil dengan hanya kurang dari 100 jiwa penduduk, dan terletak 90 menit dari Portland, dengan udara dan air bersih," cerita Seth.

Yang dipilihnya menjadi tempat produksi adalah gedung sekolah yang tak lagi digunakan di kota kecil Husum, Washington.

"Saya memproduksi tempe di sana selama 10 tahun dengan hanya sedikit karyawan," kenang Seth.

"Sayangnya saya belum pernah ke Malang, tapi semoga suatu saat nanti saya bisa ke sana," kata Seth lagi. Ia mengatakan terakhir kali berkunjung ke Indonesia pada 2019.

"Ketika itu ada kelompok spiritual yang datang ke saya dan memesan 1.000 kilogram tempe untuk acara besar mereka. Saya terima pesanan itu. Dua bulan kemudian, 10.000 orang makan tempe dengan resep asam manis, dan sangat menakjubkan.

"Saya masih yakin, acara itu adalah pesanan tempe terbesar yang pernah saya kerjakan di Amerika. Itulah acara dengan menu tempe terbanyak dalam sejarah Amerika!"

Tempe adalah produk pertama yang ia buat untuk makanan nabati dan sampai saat ini ia sebut tetap menjadi "salah satu produk favoritnya."

Saat ini produk nabati yang dibuat dengan bungkus Tofurky terdiri dari berbagai jenis makanan dan tersebar di setidaknya 27.000 toko dan supermarket.

Usaha keluarga yang sudah berumur 40 tahun lebih ini, menurut Forbes, diperkirakan memiliki pendapatan sekitar 50 juta dollar AS dan tetap independen, tanpa genjotan modal dari pihak lain.

Tofurky - masih menurut Forbes - merupakan salah satu bisnis makanan nabati yang paling lama di AS dengan produk pengganti daging berbasis kedelai.

Produk nabati sangat populer terutama pada peringatan hari Thanksgiving dengan menu utama kalkun dan banyak yang menyebut Tofurky adalah nama campuran antara turkey (kalkun) dan tofu (tahu).

Menurut data dari Good Food Institute, penjualan makanan nabati pengganti daging meningkat 27 persen dalam setahun terakhir ini menjadi 7 miliar dollar AS, dengan jumlah keluarga yang membeli sekitar 15 juta.

"Saya jatuh cinta dengan tempe tiga tahun sebelumnya dan sudah yakin tempe akan menjadi sesuatu yang besar karena rasanya yang enak, bergizi dengan tekstur bagus," katanya.

Pengalaman awalnya membuat tempe dimulai melalui kelompok "vegetarian dengan anggota 1.200 orang" yang tinggal dalam satu komunitas yang disebut The Farm.

Kelompok yang hanya makan produk nabati dan sama sekali tidak menyentuh produk dari hewan termasuk susu dan telur, mengolah berbagai makanan termasuk tahu, susu kedelai dan juga tempe.

Mereka menjual cara membuat tempe seharga 3 dollar AS dan dari sinilah pengalaman Seth membuat tempe bermula.

"Fermentasi tempe saya lakukan di panci yang saya letakkan di atas kursi di luar pada malam hari. Keesokan harinya, di atas kedelai terbentuk lapisan putih. Saya senang... dan saya suka sekali dengan tempe saya," tambahnya.

Sejak pengalaman pertama membuat tempe pada 1977 itu, kata Seth, dia mulai membuat satu kilogram. Kata dia, "Saya sudah terpikir, tempe memiliki potensi untuk berhasil di Amerika."

Semua tabungannya ia gunakan untuk membeli berbagai perlengkapan dan memproduksi sekitar 50 kilogram tempe per malam, di tempat awalnya, menyewa dapur Hope Co-op Natural Foods di dekat Portland, Oregon, yang digunakan setelah cafe itu tutup.

"Setiap minggu, saya juga mengirim tempe ke toko-toko dan restoran di kawasan Portland. Tiga bulan setelah mulai, saya dapat telepon dari distributor yang ingin memesan sekitar 500 kilogram tempe setiap minggu," kata Seth.

Dari sinilah ia mulai mencari tempat baru dan membaca tentang produksi tempe di Malang.

Produksi tempe di Husum, berlangsung selama 10 tahun, masa yang menurut Seth, tak begitu menguntungkan.

"Saya hidup dengan sekitar 300 dollar AS per bulan. Untuk menekan biaya, saya menyewa empat pohon dari tetangga, dan saya bangun rumah pohon dan di situlah saya tinggal selama tujuh tahun."

Namun dia mengatakan, saat itu adalah "tahun-tahun yang mengasyikkan karena saya mengerjakan sesuatu yang saya senangi dan saya membawa tempe ke Amerika. Namun setiap tahun, keuntungan sedikit bertambah besar," ceritanya.

"Saya ke toko-toko dan masak tempe agar mereka coba. Saya jadi mahir masak tempe dan orang-orang suka. Setiap tahun bisnis ini berkembang sedikit demi sedikit... Dengan hanya tiga atau empat orang, penghasilan saya juga sedikit dan hanya cukup untuk membayar gaji.

Secara total dalam hampir 10 tahun usaha, penghasilan hanya 31.000 dollar AS (Rp 443 juta), katanya lagi.

"Dan kalau kita majukan sekarang, (dari awal memproduksi 50 kilogram)... sekarang kami produksi 6.000 kg tempe setiap hari. Pasar ini masih kecil bila dibanding dengan pasar burger tanpa daging, namun berkembang lebih dari 30 persen tiap tahun, pertanda bagus bahwa orang Amerika menikmati tempe."

"Dan sekarang, tempe bisa dibeli di mana-mana di Amerika. Saya percaya, tempe memiliki masa depan sangat cerah di Amerika dan seluruh dunia," tutupnya.

https://www.kompas.com/global/read/2021/06/13/212406370/kisah-tempe-di-amerika-serikat-dan-pengusaha-besar-yang-terinspirasi-dari

Terkini Lainnya

WHO: Tak Ada Pasokan Medis Masuk ke Gaza Selama 10 Hari

WHO: Tak Ada Pasokan Medis Masuk ke Gaza Selama 10 Hari

Global
PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

Global
Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Global
13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

Global
Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Global
Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Global
Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Internasional
Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Global
Siapa 'Si Lalat' Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Siapa "Si Lalat" Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Internasional
Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Global
2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

Global
AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

Global
Suara Tembakan di Dekat Kedutaan Israel, Polisi Swedia Menahan Beberapa Orang

Suara Tembakan di Dekat Kedutaan Israel, Polisi Swedia Menahan Beberapa Orang

Global
Kharkiv Jadi Kota Kedua Ukraina yang Sering Diserang Drone Rusia

Kharkiv Jadi Kota Kedua Ukraina yang Sering Diserang Drone Rusia

Global
China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

China Disebut Berencana Kembangkan Reaktor Nuklir Terapung di Laut China Selatan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke