NAYPYIDAW, KOMPAS.com – 1 Mei mendatang, tepatnya pada Sabtu, kudeta militer Myanmar akan berusia tiga bulan.
Sejak militer menangkap pemimpin sipil Aung San suu Kyi dan mengambil alih kekuasaan pada 1 Februari kala fajar, 54 juta rakyat Myanmar jatuh ke dalam ketidakpastian, keputusasaan, penindasan, pertumpahan darah, dan kekacauan.
Militer melegitimasi pengambilalihan kekuasaannya dengan tuduhan kecurangan dalam pemilu 2020 yang dimenangi oleh Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi.
Rakyat marah dengan kudeta militer. Jutaan orang turun ke jalan di seluruh negeri untuk menuntut militer menghormati hasil pemilu.
Para demonstran dengan suara bulat menolak junta militer dan menyerukan pemulihan demokrasi mereka yang dicuri sebagaimana dilansir The Irrawaddy, Jumat (30/4/2021).
Mereka membaptis gerakan perlawanan mereka sebagai "Revolusi Musim Semi" yang terjadi pada Februari, ketika cuaca mulai menghangat di Myanmar. "
Rakyat Myanmar juga menggelorakan gerakan pembangkangan sipil (CDM) yang dikampanyekan melalui berbagai macam platform untuk menolak kudeta militer.
Aksi yang dilakukan massa kali ini menyaksikan persatuan di antara rakyat Myanmar yang terakhir kali dialami negara itu 33 tahun yang lalu saat aksi 8888 pada 8 Agustus 1988.
Sejak pekan pertama Februari, jalan-jalan di kota-kota besar di Myanmar bergema dengan slogan-slogan anti-junta militer.
Pada saat yang sama, dokter di rumah sakit pemerintah berhenti bekerja, teller bank tetap tinggal di rumah, dan kereta api berhenti beroperasi karena sebagian besar pegawainya menolak bekerja di bawah rezim.
Pemogokan ini membuat roda pemerintahan di bawah komando junta militer hampir tidak berfungsi.
Setelah hampir sebulan Myanmar diguncang demonstrasi dan pemogokan, junta militer kehabisan kesabaran dan mulai menindak para demonstran dengan kekuatan mematikan.
Namun, aksi demo terus berlangsung dan pasukan keamanan Myanmar semakin memperkeras tindakannya terhadap demonstran.
Ada banyak yang terjadi sejak saat itu. Tokoh-tokoh oposisi, jurnalis, pemimpin demonstrasi, bahkan selebritas ditangkapi.
Pasukan keamanan juga tak segan-segan membunuh para demonstran di jalanan. Personel yang tak sanggup menyaksikan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri, pilih melarikan diri ke luar negeri.
Selama tiga bulan, lebih dari 700 orang, termasuk anak-anak, tewas di tangan pasukan keamananan Myanmar.
Kekerasan ini telah menarik kecaman dan sanksi internasional terhadap para pemimpin junta militer Myanmar.
Selama tiga bulan, junta militer semakin keras dalam menindak massa dan jumlah orang yang ditangkap terus meningkat.
The Irrawaddy melaporkan, jalan-jalan di Myanmar kini tak lagi dipenuhi oleh pengunjuk rasa, seperti yang terlihat pada Februari dan awal Maret.
Namun, perlawanan rakyat Myanmar terhadap junta militer tetap tak terpadamkan.
Meski aksi protes berskala besar surut di kota-kota besar, rakyat di kota-kota kecil dan desa-desa masih menggelar aksi unjuk rasa.
Bahkan di sejumlah kota besar, anak-anak muda masih melakukan protes sporadis ala gerilya untuk menghindari tindakan keras.
Beberapa pengunjuk rasa sudah tak tahan dengan kekerasan yang dilancarkan pasukan keamanan, akhirnya melakukan perlawanan fisik dengan senjata rakitan.
Di perbukitan barat laut Myanmar, penduduk membunuh pasukan rezim dengan senapan berburu yang belum sempurna saat mereka datang untuk menghancurkan pengunjuk rasa.
Dengan kata lain, perlawanan rakyat Myanmar terhadap junta militer dan menolak kudeta militer masih terus berlanjut seiring dengan berlanjutnya “Revolusi Musim Semi”.
https://www.kompas.com/global/read/2021/04/30/152850970/3-bulan-kudeta-militer-myanmar-perlawanan-rakyat-belum-padam