Dia ingat apa yang terjadi sebelumnya. Petugas keamanan menyeretnya ke stadion di sebuah desa terpencil di Korea Utara bernama Aoji. Dia dipaksa duduk di bawah jembatan kayu, menunggu sesuatu - dia tidak tahu apa yang akan terjadi.
Kerumunan semakin banyak dan sebuah truk berhenti. Ada dua orang dikawal keluar dari truk. Itu adalah ayah dan kakaknya.
"Mereka mengikat ayah dan kakak saya di tiang, menyebut mereka pengkhianat bangsa, mata-mata dan kaum reaksioner," kata Lee kepada BBC dalam sebuah wawancara baru-baru ini.
Itulah saat ingatannya kabur. "Saya rasa saya berteriak," katanya. "Saya berteriak hingga rahang saya terkilir. Seorang tetangga membawa saya pulang untuk memperbaiki rahang saya."
Para tahanan yang terlupakan
Ayah Lee adalah salah satu dari sekitar 50.000 mantan tahanan perang yang ditahan di Korea Utara pada akhir Perang Korea.
Para mantan tahanan dipaksa masuk ke unit-unit tentara Korea Utara, dan bekerja pada proyek-proyek rekonstruksi atau dalam penambangan selama sisa hidup mereka.
Ketika gencatan senjata ditandatangani pada 27 Juli 1953, tentara Korea Selatan berpikir akan ada pertukaran tahanan dan mereka akan dipulangkan.
Tetapi Korea Utara hanya mengirim sebagian kecil tahanan.
Tak lama kemudian, Korea Selatan melupakan para tahanan itu. Bertahun-tahun sejak itu, tiga Presiden Korea Selatan telah bertemu dengan para pemimpin Korea Utara, tetapi pengembalian para tawanan perang tidak pernah masuk dalam agenda.
Ayah Lee lahir di Korea Selatan dan bertempur bersama pasukan PBB dalam Perang Korea melawan Korea Utara - pengalaman yang membuatnya dipandang buruk.
Status sosial keluarga yang rendah menyebabkan mereka hanya dapat bekerja kasar.
Ayah dan kakak laki-laki Lee bekerja di tambang batu bara, tempat kecelakaan fatal sering terjadi.
Ayah Lee memimpikan pulang suatu hari, ketika negara itu bersatu.
Setelah bekerja, dia akan menceritakan kisah masa kecilnya kepada anak-anaknya. Kadang-kadang, ia mendorong anak-anaknya untuk melarikan diri ke Selatan.
"Akan ada medali untukku, dan kamu akan diperlakukan sebagai anak pahlawan," katanya.
Kakak laki-laki Lee, ketika minum dengan teman-temannya pada suatu hari, menceritakan pada temannya apa yang disampaikan ayahnya.
Salah satu temannya melaporkan hal itu ke pihak berwenang. Dalam hitungan bulan, ayah dan kakak Lee mati.
Pada 2004, Lee berhasil membelot ke Korea Selatan. Saat itulah dia menyadari kesalahan ayahnya - negaranya tidak melihatnya sebagai pahlawan. Sangat sedikit upaya yang telah dilakukan negara itu untuk membantu memulangkan para tawanan perang yang sudah tua.
Para prajurit Korsel tetap ditawan di Korea Utara, hidup mereka menderita. Mereka dipandang sebagai musuh negara, orang-orang yang bertempur sebagai "tentara boneka", dan masuk ke peringkat terendah dalam kasta sosial Korea Utara "Songbun".
Status seperti itu menurun ke generasi selanjutnya, sehingga anak-anak mereka tidak diizinkan untuk mengenyam pendidikan tinggi atau memiliki kebebasan memilih pekerjaan mereka.
Choi adalah seorang anak cerdas, tetapi mimpinya pergi ke universitas pupus karena status ayahnya. Dia pernah mengamuk pada ayahnya, "Kau bajingan reaksioner! Kenapa kamu tidak kembali ke negara asalmu?"
Ayahnya tidak balas berteriak, tetapi berkata dengan sedih bahwa negara mereka terlalu lemah untuk memulangkan mereka.
Delapan tahun yang lalu, Choi meninggalkan keluarganya dan melarikan diri ke Selatan.
"Ayah saya ingin datang ke sini," katanya. "Saya ingin datang ke tempat orang yang paling saya cintai sepanjang hidup saya ingin datang, tetapi tidak pernah bisa. Itulah sebabnya saya meninggalkan putra, putri, juga suami saya."
Ayah Choi sekarang sudah meninggal, dan di Korea Selatan, di atas kertas, dia tidak memiliki ayah, karena dokumen resmi mengatakan dia meninggal dalam perang.
Membawa pulang tulang ayah saya
Son Myeong-hwa masih ingat dengan jelas kata-kata terakhir ayahnya sebelum ia meninggal hampir 40 tahun yang lalu.
"Jika kamu bisa pergi ke Selatan, kamu harus membawa tulang-tulang saya bersamamu dan mengubur saya di tempat saya dilahirkan."
Ayah Son adalah seorang tentara Korea Selatan yang berasal dari Gimhae, sekitar 18 km dari Busan. Di Utara dia dipaksa bekerja di tambang batu bara dan pabrik kayu selama beberapa dekade dan hanya diizinkan pulang sepuluh hari sebelum dia meninggal karena kanker.
Dia mengatakan kepada Son, "Sungguh pahit untuk mati di sini tanpa pernah melihat orang tua saya lagi. Bukankah lebih baik dimakamkan di sana?"
Son membelot pada tahun 2005. Tetapi butuh delapan tahun untuk mengeluarkan jasad ayahnya dari Korea Utara.
Dia meminta saudara-saudaranya untuk menggali jenazah ayahnya dan membawanya ke seorang perantara di Tiongkok. Dibutuhkan tiga koper untuk melakukan itu.
Dua teman Son ikut membantu, tetapi Son yang membawa tengkorak ayahnya.
"Saya pikir akhirnya saya memenuhi tugas saya sebagai anak," katanya. "Tapi hati saya hancur ketika saya membayangkan ia mengembuskan napas terakhir di sana."
Son kemudian mengetahui bahwa keluarganya membayar harga yang sangat mahal untuk penguburan itu. Saudara-saudaranya di Utara dimasukkan ke penjara politik.
Son sekarang memimpin Asosiasi Keluarga Tahanan Perang Korea, sebuah kelompok yang memperjuangkan perlakuan yang lebih baik terhadap sekitar 110 keluarga tentara Korea Selatan yang tidak pernah pulang.
Melalui tes DNA, Son dapat membuktikan bahwa dia adalah putri ayahnya - bukti yang penting baginya untuk mendesak pemerintah Korea Selatan membayarkan gaji ayahnya yang belum dibayar.
Bahkan jika mereka berhasil melarikan diri ke Selatan, anak-anak tahanan perang tidak akan diakui secara resmi, dan banyak dari tahanan perang yang dianggap mati, atau diberhentikan sebagai tentara selama perang, atau hilang begitu saja.
Hanya segelintir tawanan perang yang berhasil melarikan diri ke Selatan yang menerima upah mereka yang belum dibayar.
Mereka yang meninggal dalam tahanan di Korea Utara tidak berhak atas kompensasi apa pun.
Pada Januari, Son dan pengacaranya mengajukan kasus itu ke pengadilan konstitusional, dengan alasan bahwa keluarga para tahanan yang meninggal di Utara telah diperlakukan tidak adil dan pemerintah tidak melakukan apa pun untuk memulangkan para tahanan.
Hal itu membuat pemerintah bertanggung jawab atas para tahanan yang tidak pernah kembali.
"Kami sangat sedih dilahirkan sebagai anak-anak tahanan, dan bahkan lebih menyakitkan bahwa kami diabaikan bahkan setelah datang ke Korea Selatan," kata Son.
"Jika kami tidak bisa mendapatkan kembali kehormatan ayah kami, kehidupan para tawanan perang yang mengerikan dan anak-anak mereka akan terlupakan."
*Beberapa nama diubah untuk melindungi keselamatan kontributor.
https://www.kompas.com/global/read/2020/07/27/181613170/nasib-tragis-para-anak-tahanan-perang-korea-status-sosial-rendah-dan-cuma