"Penyaringan biasanya di pagi hari. Habis itu turun airnya semua, baru dipindahkan ke palungan atau penjemuran. Biasanya satu petani di tempat penjemuran ada 100 palungan," jelas Made.
Palungan merupakan wadah untuk menjemur air nyah, sebutan untuk air laut yang sudah disaring.
Wadah ini terbuat dari batang pohon kelapa yang dibagi dua dan diberi lubang. Para petani biasanya membersihkan palungan terlebih dulu sebelum memakainya.
Palungan yang diisi dengan air nyah kemudian dibiarkan untuk membentuk kristal garam dengan bantuan sinar matahari.
"Biasanya kami panen di hari keempat. Empat hari kami panen dan siklusnya berlanjut. Jadi memang setiap empat hari itu panen," kata Made.
Petani kemudian memanen kristal garam dan mengumpulkannya di bakul. Garam amed selanjutnya dikeringkan dan diproses di gudang.
Nantinya, garam amed yang disimpan di gudang akan dikeringkan ulang menggunakan sinar matahari sebelum dikemas.
Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Garam Amed Bali akan mengirim produk lokal in ke toko makanan, restoran, dan hotel di Bali juga daerah lainnya.
Made berharap, hasil panen garam amed sebanyak 25 ton per tahun bisa dipasarkan lebih luas. Pasalnya, kini MPIG mencatat penjualan garam amed hanya berkisar lima hingga delapan ton per tahun.
Garam amed juga tersedia di beberapa e-commerce dengan kemasan berbeda. Harganya berkisar mulai Rp 20.000-75.000.
Baca juga: