Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Meneropong Millet sebagai Kekuatan Ketahanan Pangan Potensial

IYM dipandang berkontribusi terhadap agenda PBB 2030 untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya berkaitan dengan SDG 2 (zero hunger), SDG 3 (kesehatan dan kesejahteraan yang baik), SDG 8 (pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi), SDG 12 (konsumsi dan produksi), SDG 13 (aksi iklim) dan SDG 15 (hidup di darat).

Millet merupakan kelompok pangan serealia yang banyak tumbuh di negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Millet termasuk tanaman yang kuat dan tangguh karena mampu tumbuh dalam kondisi cuaca buruk, seperti kekeringan dan suhu ekstrem.

Kemampuan millet untuk tumbuh di tanah dengan tingkat kesuburan rendah menjadi potensi besar untuk menopang ketahanan pangan di masa depan.

Negara produsen terbesar millet adalah India dengan total mencapai 17,96 juta ton pada tahun 2021 atau mengambil porsi sekitar 18 persen pangsa global.

Tidak heran India menjadi pelopor bagi kampanye konsumsi millet di tingkat global sehingga FAO menjadikan tahun 2023 sebagai IYM dan didukung oleh 70 negara.

Di tingkat regional ASEAN, India juga mengupayakan kerja sama dengan negara-negara di kawasan ini untuk mengembangkan millet sebagai pangan masa depan.

Hasil pertemuan ASEAN - India Summit 2023 yang dibuka Presiden Joko Widodo pada 7 September 2023, di Jakarta, menyepakati komitmen pemimpin ASEAN dalam penguatan ketahanan pangan dan gizi menghadapi ancaman krisis, salah satunya melalui optimalisasi millet sebagai sumber pangan.

Upaya India ini patut diapresiasi sebagai langkah aktif negara ini untuk terlibat dalam mewujudkan ketahanan pangan regional dan global.

Pada saat sama, Indonesia harus mengambil peran strategis untuk terlibat dalam optimalisasi millet, tetapi harus dibingkai dalam konsep ketahanan pangan yang berbasis kemandirian dan kedaulatan pangan sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan.

Millet dalam kerangka penganekaragaman pangan

Selaras dengan semangat UU pangan tersebut, millet harus ditempatkan dalam konteks penganekaragaman pangan berbasis sumber daya dan kearifan lokal.

Mengapa? Karena millet di Indonesia bukan sesuatu yang baru. Mungkin istilah millet belum relatif populer, tapi sebagai istilah yang merujuk pada kelompok pangan serealia, kita tentu sedikit banyak mengenal sorgum yang sudah lama tumbuh di berbagai wilayah Indonesia.

Sorgum merupakan salah satu jenis millet yang sejak lama tumbuh dan berkembang di beberapa daerah. Beberapa jenis millet lainnya yang tumbuh di Tanah Air yaitu hotong, jawawut, dan hanjeli.

Sorgum banyak tumbuh di wilayah Nusa Tenggara Timur. Sedangkan jawawut ditemukan di wilayah Sulawesi Barat, NTT dan Jawa Barat. Sementara Hotong dan hanjeli dikenal di masyarakat Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera.

Di luar millet sebetulnya masih banyak ragam pangan sumber karbohidrat yang jauh lebih populer, seperti sagu, talas, kentang, pisang, sukun, dan jagung.

Bahkan Indonesia menjadi negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversitas) terbesar kedua di dunia setelah Brasil.

Setidaknya terdapat 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah dan bumbu-bumbuan yang dimiliki Indonesia.

Pada pertengahan Desember 2023 lalu, saya berkesempatan mendampingi Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Rinna Syawal untuk mengikuti International Festival of Millet di New Delhi, India.

Dalam kegiatan tersebut kami sempat melakukan survei kecil-kecilan kepada orang lokal, apakah mereka mengenal millet atau tidak.

Driver yang kami tumpangi tidak mengenal kata itu, pun ketika kami menyebut Shri Anna sebagai istilah millet dalam bahasa India, dia juga tidak kenal.

Namun ketika ditunjukkan gambar millet, baru dia kenal bahwa itu namanya bajra. Bajra atau Pearl Millet merupakan satu dari delapan jenis millet di India.

Setali tiga uang, pada sesi diskusi panel, salah seorang partisipan dari India mengatakan bahwa millet masih perlu terus didorong popularitasnya di India terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Ia mengkhawatirkan bahwa millet hanya akan menjadi pangan yang dikenal secara elitis atau kalangan tertentu saja, sehingga ia menekankan pentingnya sosialisasi, edukasi, dan kampanye yang masif mengenai millet ke seluruh lapisan masyarakat.

Relatif tidak jauh berbeda dengan Indonesia, meski empat jenis millet tumbuh di Tanah Air, masih perlu sosialisasi dan edukasi yang lebih gencar ke masyarakat.

Mungkin pernah mendengar, misal sorgum yang popularitasnya lebih besar dari jawawut, hanjeli, dan hotong.

Namun, belum tentu kita pernah makan makanan berbahan empat komoditas tersebut, belum mengenal lebih jauh berbagai jenis pangan olahan bahan-bahan tersebut.

Karena itu, Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) sebagai lembaga pemerintah yang salah satu tugas fungsinya adalah penganekaragaman pangan pada aspek konsumsi mulai mendorong millet agar dikenal lebih luas lagi oleh masyarakat.

Strategi yang ditempuh meliputi, pertama melakukan penguatan regulasi penganekaragaman pangan.

Revisi perpres 29 tahun 2009 tentang penganekaragaman pangan terus dilakukan dengan menambahkan beberapa subtansi penting terkait aspek optimalisasi sumber daya pangan lokal.

Kedua, mendorong terbangunnya UMKM pangan yang menghasilkan produk-produk pangan lokal berbahan dasar sorgum, jawawut, hanjeli, dan hotong, sehingga UMKM pangan lokal tersebut memiliki nilai tambah dan daya saing yang kuat. Salah satu upayanya melalui penggunaan teknologi pengolahan yang tepat.

Ketiga, melakukan kampanye, edukasi dan sosialisasi mengenai pentingnya pangan lokal untuk ketahanan pangan.

Upaya ini dilakukan dengan sasaran segmented seperti ibu-ibu PKK, sekolah, pesantren, hingga rumah ibadah.

Kaum ibu dan generasi muda merupakan kelompok masyarakat yang penting untuk memahami pentingnya penganekaragama pangan.

Dua segmentasi itu difokuskan karena kaum ibu yang lebih banyak berperan dalam pemenuhan makan keluarga.

Sementara generasi muda menjadi tumpuan masa depan bangsa yang harus memiliki asupan pangan yang baik. Dan itu dimulai dari pemahaman yang benar mengenai penganekaragaman pangan.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah melalui NFA tentu belumlah cukup. Butuh keterlibatan berbagai pihak dalam mendukung upaya bersama penganekaragaman pangan ini.

Keberpihakan pemerintah bisa dibangun lebih kuat lagi melalui kebijakan anggaran yang memadai. Misalnya, dari aspek hulu meningkatkan produksi pangan lokal tersebut melalui serangkaian kebijakan yang diimplementasikan oleh lembaga pemerintah yang berfokus pada produksi pangan.

Pada saat yang sama, perlu membangun kemitraan strategis dengan para akademisi, pelaku usaha, dan komunitas sehingga memiliki kesamaan persepsi dan langkah bahwa millet bisa menjadi masa depan ketahanan pangan nasional.

https://www.kompas.com/food/read/2024/02/16/161825275/meneropong-millet-sebagai-kekuatan-ketahanan-pangan-potensial

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke