Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyesap Jamu Ginggang, Jamu dengan Resep Warisan dari Pakualam VII

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Ike Yulita Astiani akrab disapa Bu Yayuk adalah penerus kuliner legendaris di Kota Yogyakarta, yakni Jamu Ginggang yang beralamat di Jalan Masjid PA 32, Pakualaman, Kota Yogyakarta.

Perempuan lulusan D3 ini sejak kecil didik dengan disiplin oleh keluarga besarnya terlebih soal produksi jamu tradisional.

Sejak duduk di bangku SD hingga kuliah setiap pulang sekolah Yayuk selalu diminta untuk membantu produksi Jamu Ginggang, dia ditugaskan untuk menghaluskan bahan jamu seperti kunyit dan kencur.

Berawal dari membantu itulah Yayuk jatuh cinta kepada jamu. Ditambah lagi jamu adalah salah satu warisan leluhurnya.

  • 5 Tempat Minum di Yogyakarta Selingan Wisata Kuliner, Ada Jamu Ginggang 
  • Kafe Jamu Djampi Jawi Buka di Pasar Legi Solo, Bikin Jamu Pakai Alat Kopi
  • Jamu Diajukan Jadi Warisan Budaya Tak Benda ke UNESCO

Dia menceritakan, resep Jamu Ginggang didapat dari leluhurnya yang merupakan abdi dalem Keraton Pura Pakualaman.

Kala itu leluhur Yayuk yakni Mbah Jaya mendapatkan mandat dari Sri Paduka Pakualam VII untuk menjadi tabib di lingkungan Pakualaman.

Resep Jamu Ginggang didapat langsung dari Sri Paduka Pakualam VII. Mbah Jaya pun meracik resep tersebut kemudian diberikan kepada Pakualaman VII dan ia merasakan manfaatnya.

“Karena keakraban Mbah Jaya dan Sri Paduka Pakualam ke VII Mbah Jaya diberi julukan Tan Genggang atau Tansah Genggang, kalau diartikan ke Bahasa Indonesia berarti hubungan yang abadi,” ujar dia saat ditemui Kompas.com, Selasa (14/8/2023).

“Hasil racikannya cukup bisa diandalkan bisa ada efeknya bagus untuk kesehatan di Keraton Pakualam,” lanjutnya.

Yayuk menjelaskan, usaha kuliner ini dimulai pada 1925.

Setelah beberapa tahun kemudian Mbah Jaya meninggal dunia dan diteruskan oleh adiknya yang bernama Mbah Bilowo. Mbah Bilowo ini juga tabib dari Pakualam VII.

Cara meracik dan resepnya diteruskan oleh Mbah Bilowo dan dilanjutkan ke generasi ketiga yakni Mbah Kasidah yang membuat Jamu Ginggang terkenal pada 1970.

Terkenalnya Jamu Ginggang tak lepas dari peran Mbah Kasidah. Pasalnya, ia membuka tempat dan menjajakan jamu secara keliling ke pasar gede atau Pasar Beringharjo.

Terkenalnya Jamu Ginggang ini karena dipercaya berkhasiat. Selain itu, jamu juga dinilai murah oleh masyarakat kala itu dan juga memiliki cita rasa yang enak.

Sejak 1950 Jamu Ginggang menetap di Jalan Masjid, Pakualaman, Kota Yogyakarta.

Setelah Mbah Bilowo meninggal, Jamu Ginggang diteruskan kepada generasi keempat, dari generasi keempat diteruskan ke generasi kelima satu diantaranya termasuk Yayuk.

  • Cara Membuat Jamu Empon-empon, Minuman Herbal untuk Jaga Kesehatan
  • Bolehkah Minum Jamu Setiap Hari? Simak Kata Pengusaha Kedai Jamu Ini
  • 4 Cara Simpan Bahan untuk Membuat Jamu di Rumah, Tahan hingga Setahun

Nuansa tempat Jamu Ginggang

Suasana Jamu Ginggang saat ini masih mempertahankan suasana kuno. Ubin berwarna merah mengilap, beberapa ubin warnanya mulai memudar, dan beberapa ubin pecah di permukaannya menambah nuansa kuno.

Tak hanya ubin yang dipertahankan, mebel-mebel seperti meja, kursi, hingga rak display juga masih menggunakan desain dari era 1950. Jam dinding kuno juga tergantung di Jamu Ginggang.

Selain nuansa kuno pada kedai Jamu Ginggang yang dipertahankan, tetapi cara mengolah jamu secara tradisional juga masih dipertahankan sampai sekarang.

“Sempat tanya ke pelanggan dan ahli, ternyata tidak dibolehkan renovasi katanya biar tetap kuno,” ucapnya.

Pembuatan Jamu Ginggang

Sejak pagi hari, pegawai yang berjumlah enam orang sudah siap untuk mengolah jamu. Bahan jamu dideplok atau ditumbuk dengan menggunakan alas batu dan ditumbuk dengan kayu panjang.

Proses lainnya yakni mipis, sama-sama menghaluskan bahan jamu tetapi kali ini dengan menggunakan alas batu dan digiling dengan batu yang berbentuk silinder.

Karyawannya duduk di lantai lalu menggiling bahan-bahan jamu dengan menggunakan batu tersebut sama prosesnya seperti menipiskan adonan donat dengan menggunakan penggiling manual.

Proses ini dimulai sejak pagi hari, dan saat siang hari jamu sudah siap untuk diracik sesuai dengan pesanan pelanggan.


Jamu Ginggang saat ini

Pelanggan Jamu Ginggang kebanyakan kalangan usia produktif yang sering mengeluhkan pegal. Mereka memesan jamu untuk mengurangi pegal yang dirasakan setelah satu hari bekerja.

Yayuk membutuhkan waktu untuk menaikkan harga pasalnya ia ingin tetap memertahankan pelanggan Jamu Ginggang.

Era milenial tak menyurutkan eksistensi dari Jamu Ginggang, seperti saat ini pelanggan masih setia menikmati jamu asli Ginggang ini.

Pelanggannya dari berbagai kalangan dan daerah, bahkan pada 1980an Jamu Ginggang pernah mendapatkan pesanan ratusan bungkus untuk dikirim ke Jepang.

“Tahun 1980an itu dapat pesanan ratusan bungkus dari Jepang, saat itu dikirim ke Jepang ternyata banyak yang suka di sana,” kata Yayuk.

Selain mempertahankan resep tradisional, Jamu Ginggang juga tidak menggunakan bahan pengawet dan juga pemanis buatan, semuanya diracik dengan bahan-bahan alami. 

Eksisnya Jamu Ginggang masih membawa berkah bagi keluarga Yayuk, dalam satu bulan Jamu Ginggang dapat meraup omzet Rp 10 juta tiap bulan.

Sekarang ini Yayuk sedang mencoba untuk membuat lulur yang berasal dari sisa bahan jamu yang tidak terpakai, menurut dia inovasi seperti ini perlu dilakukan untuk menjaga Jamu Ginggang tetap eksis.

Ia berpesan kepada para wirausahawan muda agar tidak mudah putus asa dalam memulai dunia usaha serta berani inovasi dalam membuat resep-resep baru.

“Pertahankan resep dan jangan takut untuk mencoba resep-resep baru,” ucap dia.

“Jamu Ginggang yang asli itu milik 5 bersaudara Prayogo, Karsono, Dasiah, Dasinah (ibunya), Rubini,” tutupnya.

https://www.kompas.com/food/read/2023/08/19/113416975/menyesap-jamu-ginggang-jamu-dengan-resep-warisan-dari-pakualam-vii

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke