KOMPAS.com - Pemalsuan produk pangan banyak terjadi di dunia, termasuk Indonesia.
Ada banyak bentuk pemalsuan produk pangan yang dilakukan oleh pelaku, seperti mengubah standar bahan baku, mengubah keterangan label, hingga benar-benar memalsukan suatu produk pangan.
"Tentunya sangat merugikan bagi produsen yang dipalsukan dan tentunya dari sisi konsumen akan sangat dirugikan," kata Executive Director of LPPOM MUI, Ir. Hj. Muti Arintawati, M.Si dalam webinar “Food Fraud Prevention, dari Izin Edar hingga Label Halal, Selasa (21/9/2021).
Sementara itu, Direktur Pengawasan Peredaran Pangan Olahan Bawan Pengawas Obat dan Makanan, Dra Ratna Irawati, Apt. M.Kes mengatakan, tingginya jumlah pemalsuan produk pangan disebabkan oleh jumlah supply dan demand yang tidak sesuai.
"Secara global terjadi peningkatan permintaan terhadap produk pangan sehingga memicu peningkatan kasus penipuan pangan," tutur Ratna.
Ratna juga menuturkan bahwa pemalsuan produk pangan disebabkan oleh faktor ekonomi seseorang.
"Kita melihat bahwa penipuan atau pemalsuan pangan ini bisa dilakukan untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi, motivasinya adalah secara ekonomi," pungkasnya.
Cara BPOM menerapkan pengawasan makanan
Untuk mengatasi banyaknya kasus pemalsuan produk pangan, Ratna mengatakan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah melakukan beberapa cara.
Ada dua cara yang dilakukan oleh BPOM untuk melakukan pengawasan pemalsuan produk pangan, yaitu saat produk pangan mulai beredar (pre market) dan setelah produk pangan beredar luas (post market).
Evaluasi pre market dapat dilakukan dengan cara memeriksa sarana produksi, seperti bahan baku, bahan tambahan pangan, kode produksi, dan penyimpan produk pangan.
Selanjutnya, BPOM akan melakukan pemeriksaan atau evaluasi post market.
"Post market ini adalah untuk melihat konsistensi dari apa yang sudah diklaim dari pendaftar pada saat melakukan pendaftaran produknya," ujar Ratna.
BPOM akan melihat apakah label dan komposisi produk pangan tersebut sudah sesuai dengan yang didaftarkan.
BPOM akan memeriksa label menggunakan barcode dua dimensi (2D) pada produk yang juga bisa digunakan langsung oleh masyarakat untuk melihat apakah produk tersebut terdaftar atau tidak.
"Jadi, baik label maupun komposisi produk itu harus sesuai dengan produk itu diedarkan," tutur Ratna.
Produk yang dievalusi dengan 2D barcode digunakan untuk obat bebas terbatas, obat tradisional, dan pangan olahan.
Jika terbukti beberapa produk atau produsen pangan melakukan pemalsuan produk pangan, BPOM akan melakukan tindak lanjut pengawasan.
BPOM menerapkan empat tindak lanjut pengawasan, yaitu Pembinaan, Penegakan Hukum, Koordinasi Stakeholder, serta Komunikasi, Informasi, dan Edukasi.
Sanksi maksimal yang bisa diberikan kepada pelaku pemalsuan produk pangan menurut beberapa pasal di Undang Undang (UU) adalah penjara selama dua tahun atau denda maksimal Rp 4 miliar.
https://www.kompas.com/food/read/2021/09/23/102200175/penyebab-kasus-pemalsuan-produk-pangan-dan-cara-bpom-mengatasinya-