Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sejarah Terasi di Indonesia, Jadi Penggerak Ekonomi Kota Cirebon

Bumbu yang satu ini bisa digunakan untuk beragam jenis masakan. Mulai dari tumisan, sup, hingga sambal.

Terasi bagian dari sejarah Cirebon

Travelling Chef Wira Hardiansyah mengatakan bahwa terasi hadir saat pemerintahan Sultan Cirebon I Pangeran Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. 

“Pangeran Cakrabuana atau Mbah Kuwu Cirebon sering meluangkan waktu mencari udang atau rebon. Hasil tangkapan udang itu kemudian diolah menjadi terasi oleh Pangeran Cakrabuana,” kata Wira dalam berita Kompas.com.

Nama kota Cirebon bahkan berasal dari kata ci (air) dan rebon (udang rebon). Udang rebon merupakan bahan penting dalam pembuatan terasi.

Hal tersebut tertera dalam buku “Makanan Tradisional Indonesia: Kelompok Makanan Fermentasi dan Makanan yang Populer di Masyarakat” (2016) karya Eni Harmayani, Umar Santoso, dan Murdijati Gardjito terbitan Gadjah Mada University Press.

Terasi jadi pendorong ekonomi Cirebon

Sejarah terasi memang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan sejarah kota Cirebon.

Diyakini terasi berperan cukup besar dalam perkembangan daerah Cirebon, khususnya dari segi ekonomi sejak ditemukan sekitar abad ke-14.

Tertera dalam buku “Pangeran Cakrabuana – Sang Perintis Kerajaan Cirebon” (2007) karya Besta Besuki Kertawibawa terbitan PT Dunia Pustaka Jaya, disebutkan bahwa ada sebuah desa yang terletak di tepi pantai bernama Cirebon.

Di sana terdapat banyak tumbuhan pohon kayu alang-alang dan rumput (semak belukar) laut. Di sungai yang ada di kawasan tersebut terdapat banyak ikan dan rebon (udang kecil).

Wilayah yang dialiri Sungai Cirebon itu yang sebelumnya dikenal sebagai Kebon Pasisir atau Tegal Alang-alang atau Lemah Wungkuk.

Pangeran Cakrabuana alias Raden Walangsungsang melihat potensi besar dari hasil alam di wilayah tersebut dan memutuskan untuk mengembangkannya.

Ia pun menciptakan lapangan kerja untuk penduduk setempat. Ia memulai industri pengolahan udang rebon di sekitar perairan, di antaranya dibuat menjadi petis dan terasi sebagai bumbu masakan.

Jumlah penduduk Cirebon pada masa itu, sekitar tahun 1447 Masehi, meningkat sampai 700 persen selama dua tahun.

Salah satu faktor penyebabnya diyakini karena adanya sentra produksi pembuatan makanan olahan, termasuk terasi. Banyak masyarakat sekitar yang kemudian mengadu nasib ke sana.


 

Terasi disukai masyarakat

Kata terasi memiliki makna yang cukup bagus. Menurut Wira, awalnya terasi disebut sebagai terasih.

“Terasih memiliki makna "yang sangat disukai". Kata terasih dipercaya berasal dari kata asih yang dalam bahasa Sunda bermakna cinta atau suka,” terang Wira.

Saat itu masyarakat Cirebon sangat menyukai petis dan terasi. Pasalnya, mereka sebelumnya memakan makanan yang cenderung tidak higienis dan dianggap kotor, seperti cacing dan sebagainya.

Dengan begitu, petis dan terasi pun jadi lebih disukai oleh orang-orang Islam di Cirebon dan sekitarnya.

Petis dan terasi bisa mengurangi tradisi masyarakat Islam dalam mengonsumsi makanan yang dianggap haram dan kotor pada masa itu.

Para pedagang sebarkan terasi

Terasi juga termasuk bumbu masakan yang praktis dibawa ke mana-mana. Terasi tidak perlu disimpan di lemari pendingin, yang saat itu belum ditemukan, karena akan awet dalam waktu lama.

Maka dari itu terasi pun sering dibawa oleh pedagang sebagai bekal utama dalam pelayaran antar-pulau. Tentunya selain beras sebagai makanan pokok.

Adanya kesukaan yang hampir merata di kalangan masyarakat Asia terhadap jenis makanan ini menunjukkan bahwa cara pengolahannya telah dikenal oleh berbagai penduduk pantai Asia.

“Tidak menutup kemungkinan Raden Walangsungsang sendiri mempelajari teknik-teknik pengolahannya dari pendatang China yang berhubungan dengan pulau Jawa,” seperti tertera dalam buku karya Kertawibawa.

Hal itu berkaitan khususnya dengan Laksamana Cheng Ho yang dalam beberapa kali pelayarannya tercatat mengunjungi pulau Jawa.

Beberapa orang yang mengikuti pelayaran tersebut pada akhirnya menetap di pulau Jawa.

Disebutkan juga bahwa orang-orang China Gresik telah biasa mengolah udang rebon untuk dijadikan terasi dan belacang.

“Naskah Purwaka Caruban Nagari menulis laksamana terkenal Cheng Ho sekitar 1415 selalu membawa pulang terasi ke negerinya di China,” pungkas Wira.

Buku “Makanan Tradisional Indonesia: Kelompok Makanan Fermentasi dan Makanan yang Populer di Masyarakat” (2016) karya Eni Harmayani, Umar Santoso, dan Murdijati Gardjito terbitan Gadjah Mada University Press dan buku “Pangeran Cakrabuana – Sang Perintis Kerajaan Cirebon” (2007) karya Besta Besuki Kertawibawa terbitan PT Dunia Pustaka Jaya bisa dibaca gratis di aplikasi iPusnas.

https://www.kompas.com/food/read/2021/04/26/070700275/sejarah-terasi-di-indonesia-jadi-penggerak-ekonomi-kota-cirebon

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke