Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kolonialisme Eropa di Jalur Rempah, Bikin Komunitas Nusantara dan Filipina Cerai-berai

Khususnya yang dilewati jalur perdagangan rempah utara-selatan atau pun timur-barat pada masa pra-kolonialisme.

Namun kondisi tersebut berubah setelah Eropa yang diawali Portugis dan Spanyol sampai ke Asia Tenggara pada abad ke-16.

“Mungkin ini tidak terlalu ditekankan di catatan sejarah, tapi apa yang sebenarnya dilakukan Spanyol kala itu adalah memotong dan mengambil untung dari jaringan perdagangan Islam yang mereka lihat ketika sampai di Asia Tenggara,” kata Ariel C. Lopez, Ph.D., dari Asian Center, University of the Philipines.

Ariel adalah salah satu pembicara dalam webinar International Forum on Spice Route 2020 sesi Spice Route: A Southeast Asian Perspective, Selasa (22/9/2020).

“Mereka tahu bahwa tanpa jalur perdagangan yang ada di semenanjung Filipina dengan pihak seperti Manila, Mindoro, dan Sulu ini mereka tidak akan selamat,” lanjutnya.

Maka dari itu Spanyol kala itu memutuskan untuk memotong dan menghancurkan koneksi antara Filipina dengan Indonesia dan China.

Tujuannya tak lain untuk mencapai agenda kolonialisme yang mereka bawa.

Aksi kolonialisme Spanyol

Ariel menjelaskan, hal pertama yang dilakukan oleh Spanyol adalah menaklukan wilayah-wilayah Islam dengan pelabuhan komersial besar di jalur perdagangan rempah.

Pertama mereka menaklukan Mindoro pada 1570 untuk memberikan akses bebas ke Manila.

Selanjutnya, Manila ditaklukan pada 1571 untuk bisa mendapatkan jalur perdagangan dengan China.

Setelah itu mereka mengurangi kekuatan Borneo pada 1578 agar bisa menghancurkan hubungan dengan Malaka.

Di tahun yang sama, mereka melakukan langkah akhir yakni mengambil alih Sulu dan Mindanao pada 1579 sehingga Spanyol bisa menguasai kepulauan rempah yang ada di selatan Filipina alias Nusantara bagian timur.

Pecahnya komunitas lokal

Tak hanya menghancurkan jaringan perdagangan rempah antara China, Filipina, dan Nusantara, kolonialisme Eropa juga menyebabkan pecahnya komunitas lokal di Filipina dan Nusantara.

Pada 1660-an, Spanyol berhasil dikalahkan Belanda. Mereka pun diusir dari Maluku dan Sulawesi Utara pada 1680-an.

Dari sana Belanda berhasil mendapatkan status monopoli rempah.

“Hal itu sudah umum diketahui. Hal yang kurang diketahui adalah terjadi perpecahan komunitas lokal yang terjadi akibat kompetisi perdagangan rempah ini,” ujar Ariel.

Menurutnya, salah satu konsekuensi dari dikalahkannya Spanyol oleh Belanda ini adalah orang-orang Ternate yang sudah berpindah agama jadi Katolik seperti orang-orang Spanyol terpaksa pergi dari Ternate. Sebabnya, Belanda merupakan pemeluk Protestan bukan Katolik.

Mereka pun pergi ke Luzon, Filipina. Di sana mereka akhirnya menemukan dan mengembangkan kota mereka sendiri bernama Ternate Cavite. Para penduduk di sana disebut Ternatenos.

Di sana mereka berkembang dan bahkan punya bahasa lokal sendiri yang merupakan campuran antara bahasa lokal dan Spanyol.

Selain orang Ternate yang terusir ke Filipina, ternyata ada juga orang Filipina tepatnya orang Papango yang terpaksa terusir hingga ke Nusantara.

“Seperti Ternatenos, orang Papango ini direkrut sebagai tenaga kerja untuk orang Spanyol dan Belanda," kata Ariel. 

Ia menyebutkan hingga kini ada peninggalan berupa sub-distrik di Tanjung Priok yang disebut Papango di Jakarta.

Orang Papango ini awalnya direkrut untuk jadi tenaga kerja dan tentara. Mereka merupakan budak yang dibebaskan yang direkrut oleh orang-orang Spanyol.

Akhirnya mereka bekerja untuk Belanda setelah Spanyol ditaklukan. Mereka ditempatkan di sepenjuru Maluku, juga ada yang di Timor dan Batavia.

https://www.kompas.com/food/read/2020/09/24/190700875/kolonialisme-eropa-di-jalur-rempah-bikin-komunitas-nusantara-dan-filipina

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke