Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Indonesia Rawan "Bullying": Waspadalah!

Kompas.com - 30/11/2023, 12:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Hariadi, Irni Prihardini, Desty Dwi Kayanti, Liuciana Handoyo Kirana, dan Riana Sahrani*

TAHUN 2023, masyarakat Indonesia dikejutkan viralnya sejumlah kasus anak yang jadi korban perundungan oleh teman-temannya.

Pertama, kasus di Cilacap, beredar video yang memperlihatkan sejumlah anak sekolah sedang berkumpul dan melakukan penganiayaan dan perundungan terhadap korban berusia 14 tahun.

Para pelaku memukul dan menendang korban berkali-kali hingga terjatuh. Tidak ada perlawanan dari korban yang sudah tidak berdaya.

Pihak kepolisian kemudian menetapkan temannya yang masih berusia 15 tahun dan 14 tahun menjadi tersangka.

Kedua, kasus bullying pada siswa di Masjid Darrussalam, Balikpapan. Pada video yang viral, pelaku memukul korban, kepalanya ditendang, korban tampak tidak berdaya dan tidak melakukan perlawanan.

Ketiga, kasus bullying pada anak Sekolah Dasar (SD) yang belum lama ini terjadi di Bekasi dan berujung fatal, yaitu amputasi kaki. Belakangan diketahui korban mengidap kanker tulang.

Berdasarkan ketiga kasus di atas, terlihat perilaku bullying terutama di lingkungan sekolah masih marak terjadi di Indonesia.

Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KEMENPPPA), bullying dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai “penindasan/risak” yang merupakan segala bentuk penindasan atau kekerasan yang dilakukan dengan sengaja oleh satu orang atau sekelompok orang yang lebih kuat atau berkuasa terhadap orang lain, dengan tujuan menyakiti dan dilakukan secara terus menerus.

Sebaiknya guru, orangtua dan orang di lingkungan sekitar mengetahui apa saja bentuk-bentuk bullying agar bullying tidak dianggap menjadi hal sepele atau dianggap sebagai candaan.

Berikut enam bentuk bullying dikutip dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

  1. Kontak fisik langsung: serangan fisik, mencubit, mencakar, mengunci seseorang dalam ruangan, termasuk memeras dan merusak barang yang dimiliki orang lain.
  2. Kontak verbal langsung: mengancam, merendahkan, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki dan menyebarkan gosip.
  3. Perilaku non-verbal langsung: Seperti tindakan melihat dengan sinis, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan; biasanya disertai bullying fisik atau verbal.
  4. Perilaku non-verbal tidak langsung: Seperti tindakan mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.
  5. Cyber Bullying: Seperti tindakan menyakiti orang lain dengan sarana media elektronik (rekaman video intimidasi, pencemaran nama baik lewat media sosial)
  6. Pelecehan seksual: Kadang tindakan pelecehan dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal.

Dampak bullying terhadap kesehatan mental anak

Dampak bullying pada anak tidak hanya mencakup aspek fisik yang dapat terlihat secara langsung, seperti luka fisik, berdarah, memar dan lain sebagainya. Bullying juga memberikan dampak luas pada kesehatan mental mereka.

Anak yang mengalami bullying seringkali mengalami penurunan harga diri, suasana hati yang cenderung cemas dan negatif, kesulitan mempertahankan konsentrasi, serta berbagai gejala psikosomatis seperti sakit perut atau sakit kepala.

Selain itu, dapat juga muncul dampak kesulitan tidur, gangguan pola makan, risiko tinggi terhadap depresi, bahkan potensi peningkatan risiko bunuh diri.

Semua dampak ini menciptakan beban signifikan pada kesejahteraan anak, memengaruhi perkembangan sosial, emosional, dan psikologis mereka secara keseluruhan.

Miskonsepsi bullying

Ada beberapa hal yang masih salah kaprah mengenai perilaku bullying. Berikut miskonsepsi bullying yang harus diperbaiki:

Pertama, bullying adalah cara untuk menguatkan mental dan karakter peserta didik.
Pandangan ini tentunya kurang tepat. Mengutip dari Inspektorat Jenderal Kemenristek bahwa perundungan tidak boleh dianggap sebagai metode pendidikan.

Ada cara lain untuk menguatkan mental peserta didik dengan pendekatan positif, yaitu membangun lingkungan belajar yang aman dan mendukung perkembangan serta kesejahteraan peserta didik.

Kedua, ada guru yang menganggap bullying hanyalah candaan biasa. Guru seharusnya memahami dampak serius dari candaan yang merendahkan dan merugikan siswa, baik secara fisik maupun secara emosional.

Para guru harus bertindak tegas, cepat, dan proaktif untuk mencegah dan mengatasi bullying di lingkungan sekolah.

Selain itu, pihak sekolah juga diharapkan dapat memberikan edukasi tentang bullying kepada siswa dan orangtua untuk mencegah kejadian serupa terjadi pada masa depan.

Ketiga, bullying dianggap sebagai solidaritas pertemanan. Kepada anak-anak yang tidak paham akan bahaya bullying, maka akan ikut-ikutan temannya dalam mengeroyok korban bullying. Padahal mungkin mereka tidak paham mengapa ikut serta dalam perundungan tersebut.

Anak-anak pelaku bullying menganggap hal tersebut sebagai solidaritas dan kekompakan kelompok pertemanan dalam menganiaya si korban.

Keempat, merasa diri hebat. Sebagian anak-anak pelaku perundungan merasa diri mereka hebat seperti jagoan dan penguasa area tertentu, misalkan lingkungan sekolah. Dengan harapan disegani oleh teman-temannya dan merasa diri berkuasa.

Kelima, pelaku bullying menganggap perudungan sebagai prestasi. Anak-anak pelaku bullying yang tidak dibekali wawasan tentang bahaya perundungan oleh pihak sekolah maupun orangtua, akan salah kaprah dan menganggap perundungan adalah prestasi di luar akademis sekolah.

Mereka seperti merasa menang dan puas dalam perkelahian di mana si korban tidak berdaya ketika pengepungan terjadi.

Pola asuh orangtua

Mengapa perilaku bullying terus menerus terjadi? Apakah ada hubungannya dengan pola asuh orangtua di mana anak dididik di dalam keluarganya? Berikut penjelasannya.

Perundungan merupakan perilaku kompleks dan multi faktor penyebabnya. Ada berbagai faktor penyebab seorang anak bekembang menjadi pelaku bullying, di antaranya dapat dilihat bagaimana hubungan anak di dalam keluarganya.

Misalnya, faktor orangtua di rumah yang tipe suka memaki, membandingkan, atau melakukan kekerasan fisik.

Anak pun menganggap benar bahasa kekerasan, maka ia mempelajari bahwa bullying adalah suatu perilaku yang bisa diterima dalam membina suatu hubungan atau dalam mencapai apa yang diinginkannya (Diena Haryana dalam Sulisrudatin, 2018).

Hal ini juga sejalan dengan hasil penelitian Korua dkk. (2015) pada pelajar SMK dan Fauzi dan Mamnu’ah (2017) pada pelajar SMP, yang menunjukkan ada hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku bullying.

Orangtua dengan pola asuh otoriter (pola asuh yang terlalu keras, sehingga anak menjadi akrab dengan suasana yang mengancam) mengakibatkan anak dapat saja melakukan perilaku bullying kepada orang lain.

Hal yang perlu dilakukan ayah bunda agar anak kita terhindar menjadi pelaku bullying:

Pertama, berikan penanaman nilai dan norma yang baik sejak anak masih berusia kanak-kanak. Anak perlu sekali diberikan contoh konkret mengenai hal ini sejak kecil.

Misalnya, orangtua mencontohkan bagaimana caranya saling menghormati satu-sama lain, menerima pandangan atau pendapat berbeda berdasarkan mufakat, mencontohkan bagaimana mengikuti aturan yang ada dalam masyarakat atau pemerintahan, dan lain sebagainya.

Kedua, mengajarkan anak menjalankan agama dan beribadah dengan baik. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, semua agama mengajarkan kedamaian dan rasa hormat dengan orang lain.

Apabila anak menjalankan ajaran agama dengan baik, maka lebih kecil kemungkinan menjadi pelaku bullying.

Ketiga, evaluasi kelebihan anak dan perkuatlah. Perhatikan dengan baik apa yang dapat ia miliki dan dapat dikembangkan.

Misalnya, anak pandai dalam bidang olahraga, maka dapat dimasukan dalam klub olahraga tertentu, sehingga ia dapat melatih diri dan menunjukkan prestasi, serta terhindar dari pergaulan kurang baik.

Keempat, bimbing anak dalam bermedia sosial. Anak perlu dibekali dengan pengetahuan bagaimana menggunakan media sosial dengan baik, ajarkan anak cara memberikan pendapat, memberikan status, dan lainnya.

Orangtua sebaiknya mempunyai pengetahuan mengenai teknologi dan bagaimana bermedia sosial dengan baik. Pola asuh berdasarkan digital parenting sebaiknya diterapkan oleh orangtua, sehingga dapat memberikan arahan pada anak secara tepat.

Hal yang perlu dilakukan ayah bunda agar anak terhindar dari menjadi korban bullying:

Selain dari saran yang sama seperti di atas (saran untuk menghindari anak menjadi pelaku bullying), maka ada lagi tambahan saran lainnya sebagai berikut

Pertama, perkuat self-esteem dan self-confident anak. Anak sebaiknya mendapatkan contoh dan diarahkan orangtua agar mencapai rasa harga diri dan kepercayaan diri yang baik.

Misalnya, orangtua dapat membebaskan anak untuk mengutarakan pendapatnya secara percaya diri.

Anak dapat memberikan pendapatnya pada orang lain, terutama kalau ia menganggap dirinya benar, dengan dasar yang tepat.

Orangtua juga dapat mengevaluasi kelebihan dalam diri anak, sehingga anak dapat dikembangkan sesuai kelebihan tersebut, serta berprestasi dalam bidang tersebut.

Kedua, berani mengatakan tidak terhadap tindakan bullying dan mencari pertolongan orang dewasa. Anak dapat diajarkan agar mampu mengatakan ‘tidak’ kepada orang lain yang melakukan bullying.

Apabila ia belum mampu mengatasinya, maka ia dapat meminta bantuan dari orang dewasa yang kompeten, misalnya bantuan dari orangtua, guru di sekolah, konselor, dan sebagainya.

Apabila bullying tidak dapat dihindari dan anak mengalami tekanan secara psikologis, maka harus ada bantuan dari pihak profesional, misalnya dari psikolog.

Tekankan pada anak bahwa terjadinya tindakan bullying bukanlah atas kesalahan semata dari anak, sehingga anak yang menjadi korban tidak semakin terpuruk. Dukunglah anak secara maksimal.

Kesimpulannya adalah bullying merupakan masalah serius, masalah nasional Indonesia, yang tidak dapat dianggap ringan.

Perlu sekali kerja sama dari berbagai pihak untuk mengatasi hal ini, yaitu kerja sama anak, orangtua, sekolah, guru, pemerintah, dan pihak lain.

Selain itu, sebagai orangtua-Ayah dan Bunda- ingatlah bahwa mendidik anak adalah proses yang membutuhkan doa, usaha, waktu, dan kesabaran.

Janganlah berputus asa, tetap semangat dalam mendampingi anak-anak kita, sehingga menjadi pribadi yang lebih baik pada masa depan.

*Hariadi, Irni Prihardini, Desty Dwi Kayanti, Liuciana Handoyo Kirana adalah mahasiswa S2 Universitas Tarumanagara
Riana Sahrani adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com