Retorika Sukarno dalam satu pertanyaan, apakah Mustafa Kemal Ataturk seorang pahlawan atau pengkhianat?
Pembaca Indonesia, para priyayi dan beamte (pegawai Belanda) pada awal abad dua puluh waktu itu tentu penasaran dibuatnya. Kenapa?
Dalam banyak tulisan, Sukarno mengupas soal bagaimana kekhalifahan sudah tidak relevan, tidak mampu menjawab tantangan zaman masyarakat modern.
Soal mahalnya ongkos perang demi mempertahankan kekuasaan kekhalifahan yang luas. Para khalifah yang tidak kompeten dalam mengatur negara yang sudah tidak lagi memperhatikan kehidupan rakyatnya.
Matinya simbol-simbol keagamaan untuk kenegaraan, karena tantangan sesudah perang Dunia I jauh lebih nyata. Kekhalifahan Turkiye Utsmani kalah dan mati.
Sementara itu, para sultan tidak bisa menangkap ruh zaman. Birokrasi dan administrasi kekhalifahan lemah dan korupsi di mana-mana, dari atas sampai bawah. Negara tidak jalan, rakyat tidak terurus secara masif dan sistematik.
Turkiye waktu itu membutuhkan reformasi. Mustafa Kamal Ataturk datang tepat pada waktunya.
Para elite priyayi baru Indonesia mengikuti perkembangan Turkiye dengan cermat. Para pemimpin kita mengambil mana yang bisa dikembangkan untuk kemerdekaan Indonesia.
Turkiye merdeka dari orthodoksi kekhalifahan Sunni dan sekaligus dari musuh-musuh Turkiye Utsmani. Begitu memahaminya.
Di Nusantara waktu itu, politik etis Belanda menghasilkan elite baru, priyayi yang melek huruf dan saling tukar informasi dalam menulis dan membaca.
Patut dicatat kerajaan-kerajaan Nusantara dari Aceh hingga Ternate sejak abad-abad sebelum kolonialisasi Belanda mempunyai hubungan politik dan diplomasi dengan Turkiye Ustmani.
Begitu juga saat terjadi pemberontakan seperti Diponegoro, inspirasi penataan pasukan dan simbol-simbol Turkiye hadir.
Ketika kemerdekaan begitu juga, Sukarno dan kawan-kawan menulis banyak tentang modernisasi, sekularisasi, sistem hukum Eropa, dan langkah-langkah berani Ataturk dalam meninggalkan orthodoksi Sunni Islam dalam bernegara.
Pendidikan menjadi prioritas gerakan Republik Turkiye. Sekolah-sekolah modern dan baru didirikan di mana-mana, menggantikan peran pendidikan agama tradisional.
Peran pendidikan agama dikembalikan ke masjid-masjid, tidak bisa mengurus negara.