Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tambah 2, Kini UII Sudah Punya 40 Guru Besar

Kompas.com - 28/11/2023, 17:33 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menambah cacah profesor untuk bidang ilmu hukum pidana serta bidang media dan jurnalisme.

Kali ini jabatan akademik tertinggi tersebut diraih oleh Hanafi Amrani dan Masduki.

Keduanya menerima Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia bersamaan pada Senin (27/11/2023) di Gedung Kuliah Umum, Prof. Dr. Sardjito Kampus Terpadu UII.

Baca juga: Status Guru Besar Eddy Hiariej Belum Bisa Dicabut

Prosesi serah terima SK profesor ini dihadiri oleh Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, Ketua Pengembangan Pendidikan Pengurus Yayasan Badan Wakaf (PYBW) UII, Prof. Allwar, Kepala Bagian Umum Lembaga Layanan Dikti (LLDikti) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta, Taufiqurrahman, serta Penyelia Sumber Daya LLDikti Wilayah V DIY, Rahman Hakim.

Prof. Fathul Wahid menyampaikan kesyukurannya akan capaian yang diraih oleh kedua dosen UII ini. Dengan tambahan 2, maka UII telah memiliki 40 guru besar.

Prof. Hanafi Amrani menjadi profesor ke-12 di Program Studi Hukum, sedangkan Prof. Masduki adalah yang pertama meraih jabatan akademik tertinggi ini pada studi Ilmu Komunikasi.

"Capaian ini tentu semakin menggenapi kesyukuran bersama keluarga besar UII, terutama sebagai bentuk prestasi institusional bagi perguruan tinggi ini," kata dia dilansir dari laman UII, Selasa (28/11/2023).

Pada kesempatan itu, Prof. Fathul Wahid menyoal kebebasan saintifik sebagai bahan refleksi bersama untuk para hadirin, terutama bagi dua orang profesor baru.

Kebebasan, menurut dia, merupakan pilar utama dalam kemajuan ilmu pengetahuan.

"Dengannya lah para ilmuan mampu menjelajahi ide, mencari dan menemukan kebenaran, serta berinovasi dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan," jelas dia.

Prof. Fathul juga mengutip beberapa pemikiran filsafat klasik tentang ilmu pengetahuan serta kebebasannya.

Dari kontemplasinya, ditarik nilai bahwa kebebasan saintifik erat kaitannya dengan kemandirian individu dalam berpikir, sehingga buah pikirnya adalah murni untuk kepentingan pengetahuan universal, bukan untuk ihwal pribadi atau kalangan tertentu semata.

Baca juga: Unika Atma Jaya Punya 28 Guru Besar Tetap

"Kebebasan saintifik, ketika dipandu oleh prinsip etis, berkontribusi pada pengejaran pengetahuan yang universal, memberikan manfaat bagi kemanusiaan secara keseluruhan," ungkap Prof. Fathul.

Tentunya, kebebasan saintifik juga menemui beragam hambatan dan tantangan. Etika yang menjadi landasan pada mulanya, dapat berubah muka menjadi tantangan yang perlu dimitagasi. Karena hasil penelitian mungkin saja berdampak pada Masyarakat serta lingkungan.

Selain itu, independensi yang menjadi nilai untuk kemandirian intelektual juga kerap terjegal dengan ketergantungan ilmuan akan finansial dan politik. Hal-hal semacam ini yang menurut Fathul perlu dimitigasi demi mengentaskan ketimpangan dalam kebebasan saintifik.

Baca juga: Unud Sudah Punya 222 Guru Besar Tetap dari Berbagai Fakultas

"Tanpa ketaatan terhadap koridor etika, Kebebasan saintifik dapat disalahgunakan, seperti dalam kasus riset yang dapat membahayakan keamanan publik. Karenanya, konsekuensi sosial dari kebebasan saintifik harus dikelola dengan bijak dan bertanggung jawab," pungkas Prof. Fathul Wahid.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com