Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Prof. Dr. Ahmad M Ramli
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Invensi Baru dan Biaya Pemeliharaan Paten Perguruan Tinggi dan Lembaga Riset (Bagian I)

Kompas.com - 23/10/2023, 15:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam hal invensi berupa teknologi bukan proses, maka harus dapat dilaksanakan dan diproduksi. Paten juga identik dengan produk secara berulang dan massal dengan kualitas yang sama.

Bagaimana jika dalam penemuan baru itu justru berupa Artificial Intelligence (AI)?

Katarina Foss-Solbrekk dalam hasil risetnya “Three routes to protecting AI systems and their algorithms under IP law: The good, the bad and the ugly” Journal of Intellectual Property Law & Practice (3/3/2021) mengatakan bahwa sistem AI pada dasarnya dilindungi sebagai rahasia dagang.

Upaya untuk melindungi sistem AI berdasarkan undang-undang hak cipta dan paten selalu menimbulkan diskusi. Berdasarkan rezim hukum hak cipta, algoritma dikecualikan dari perlindungan, misalnya dalam EU Software Directive.

Mendaftarkan paten untuk sistem AI juga seringkali menjadi perdebatan, karena sistem ini mungkin gagal memenuhi karakter teknis dan persyaratan langkah inventif. Praktik menunjukan rezim rahasia dagang adalah cara paling umum untuk melindungi AI.

Dampak negatif jika AI dilindungi rezim Rahasia Dagang adalah terkait transparansi dan akuntabilitas.

Seperti diketahui, perlindungan rahasia dagang berlaku selama informasinya tetap bersifat rahasia dan mengharuskan para pelaku mengambil langkah-langkah untuk memastikan kerahasiaan agar tidak kehilangan pelindungannya.

Lebih lanjut Katarina Foss-Solbrekk, menyatakan bahwa perlindungan rahasia dagang memfasilitasi ketidakjelasan algoritmik. Hal ini mempunyai konsekuensi yang serius.

Apa yang disampaikan Katarina & Solbrekk menjadi logis mengingat berbagai negara termasuk Uni Eropa saat ini tengah mempersiapkan regulasi AI yang menekankan asesmen dan akuntabilitas serta transparansi AI.

Mengingat dalam perkembangan AI juga bisa diimplementasikan dalam industri melalui komnputer, dan adanya tuntutan model asesmen dan transparansi, maka saya menyarankan agar dibuat regulasi terkait invensi AI dalam UU Paten.

Sebagai catatan penting, invensi berupa AI, sudah pasti inventornya adalah orang--perseorangan. Sedangkan invensi baru berikutnya yang dihasilkan oleh AI, pada prinsipnya inventornya juga tetap harus berupa orang perseorangan atau manusia.

Fenomena AI sebagai subjek paten, saat ini sudah ditolak di berbagai negara. Saya sudah membahas hal ini dalam kolom Kompas.com berjudul Apakah Al Bisa Jadi Inventor Paten Layaknya Manusia?

Dengan demikian, sebagai solusi, jika AI ikut berperan menghasilkan invensi baru, maka dalam permohonan paten dapat dijelaskan peran AI dimaksud, tetapi dengan tetap mencantumkan orang-perseorangan sebagai inventornya.

Terkait dengan hal ini kantor paten tentu harus mengakomodasi, sudah saatnya dibuat regulasi paten yang bisa merespons perkembangan teknologi digital yang sangat masif ini.

Kenapa harus orang-perseorangan yang ditetapkan sebagai inventor? Hal ini tidak lain karena AI bukanlah manusia. AI tentu tidak memiliki nurani, yang bisa membedakan secara etik dan moral mana yang baik dan buruk.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com