Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Invensi Baru dan Biaya Pemeliharaan Paten Perguruan Tinggi dan Lembaga Riset (Bagian I)

Tulisan ini akan membahas dua hal, pertama terkait invensi paten, dan kedua terkait biaya pemeliharaan paten di perguruan tinggi dan lembaga penelitian.

Invensi baru

Paten identik dengan invensi baru yang dapat diterapkan dalam industri. Variabel terakhir ini menunjukan unsur pragmatis sains dan teknologi. Hal ini pula yang membedakan invensi paten dengan temuan teori sains dan teknologi.

Oleh karena itu, kesuksesan perolehan paten harus dibarengi dengan aplikasinya dalam industri dan sukses dikomersialisasikan.

Komersialisasi juga bentuk imbalan atas jerih payah inventor dan kontra prestasi yang dapat dinikmati inventor atas segala biaya riset yang telah dikeluarkan.

Berbeda dengan hak cipta, misalnya, yang menerapkan stelsel deklaratif, di mana pelindungan hukumnya lahir pada saat diumumkan tanpa melalui uji substantif, paten justru menerapkan stelsel konstitutif, yang mewajibkan uji substantif sebagai syarat untuk diberi paten (granted).

Berdasarkan stelsel konstitutif ini, Paten hanya dilindungi dan diakui setelah didaftarkan. Patent granted akan diberikan setelah melalui proses pemeriksaan substanstif oleh pemeriksa paten.

Dalam proses pemberian paten, invensi juga diumumkan kepada publik sebagai bentuk transparansi dan penilaian publik. Mereka yang terganggu haknya dapat mengajukan oposisi berupa keberatan atas akan diberikannya paten kepada inventor tersebut.

Lalu invensi seperti apa yang layak mendapat paten (patentable invention)? Mengacu pada Pasal 5 dan pengecualiannya pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.

Invensi hanya dapat diberi paten sepanjang memenuhi syarat merupakan invensi baru (new invention), dalam arti tidak memiliki kesamaan dari sisi fungsi dan ciri teknis (features) dibanding dengan prior art, yaitu yang telah diungkapkan sebelumnya.

Mengingat paten bersifat konstitutif, maka invensi juga harus memenuhi asas "first to file" di mana tanggal penerimaan pendaftarannya tidak sama atau lebih belakang dari invensi yang telah diungkap atau didaftarkan sebelumnya.

Di sinilah pentingnya asas kerahasiaan sebelum invensi dipublikasikan. Karena publikasi yang dilakukan atas invensi yang belum didaftarkan, justru akan menghilangkan sifat kebaruan yang dapat berakibat ditolaknya permohonan paten.

Invensi juga harus mengandung langkah inventif, dalam arti invensi merupakan hal “tak terduga” sebelumnya (non-obvious) bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang Teknik sekalipun (pasal 7 UU Paten).

Kesimpulannya langkah inventif identik dengan kelebihan dari penemuan yang sudah ada sebelumnya, atau sesuatu hal yang tidak terduga.

Invensi baru itu harus dapat diterapkan dalam industri. Jika invensi berupa proses, maka proses tersebut harus dapat diimplementasikan dalam praktik.

Dalam hal invensi berupa teknologi bukan proses, maka harus dapat dilaksanakan dan diproduksi. Paten juga identik dengan produk secara berulang dan massal dengan kualitas yang sama.

Bagaimana jika dalam penemuan baru itu justru berupa Artificial Intelligence (AI)?

Katarina Foss-Solbrekk dalam hasil risetnya “Three routes to protecting AI systems and their algorithms under IP law: The good, the bad and the ugly” Journal of Intellectual Property Law & Practice (3/3/2021) mengatakan bahwa sistem AI pada dasarnya dilindungi sebagai rahasia dagang.

Upaya untuk melindungi sistem AI berdasarkan undang-undang hak cipta dan paten selalu menimbulkan diskusi. Berdasarkan rezim hukum hak cipta, algoritma dikecualikan dari perlindungan, misalnya dalam EU Software Directive.

Mendaftarkan paten untuk sistem AI juga seringkali menjadi perdebatan, karena sistem ini mungkin gagal memenuhi karakter teknis dan persyaratan langkah inventif. Praktik menunjukan rezim rahasia dagang adalah cara paling umum untuk melindungi AI.

Dampak negatif jika AI dilindungi rezim Rahasia Dagang adalah terkait transparansi dan akuntabilitas.

Seperti diketahui, perlindungan rahasia dagang berlaku selama informasinya tetap bersifat rahasia dan mengharuskan para pelaku mengambil langkah-langkah untuk memastikan kerahasiaan agar tidak kehilangan pelindungannya.

Lebih lanjut Katarina Foss-Solbrekk, menyatakan bahwa perlindungan rahasia dagang memfasilitasi ketidakjelasan algoritmik. Hal ini mempunyai konsekuensi yang serius.

Apa yang disampaikan Katarina & Solbrekk menjadi logis mengingat berbagai negara termasuk Uni Eropa saat ini tengah mempersiapkan regulasi AI yang menekankan asesmen dan akuntabilitas serta transparansi AI.

Mengingat dalam perkembangan AI juga bisa diimplementasikan dalam industri melalui komnputer, dan adanya tuntutan model asesmen dan transparansi, maka saya menyarankan agar dibuat regulasi terkait invensi AI dalam UU Paten.

Sebagai catatan penting, invensi berupa AI, sudah pasti inventornya adalah orang--perseorangan. Sedangkan invensi baru berikutnya yang dihasilkan oleh AI, pada prinsipnya inventornya juga tetap harus berupa orang perseorangan atau manusia.

Fenomena AI sebagai subjek paten, saat ini sudah ditolak di berbagai negara. Saya sudah membahas hal ini dalam kolom Kompas.com berjudul Apakah Al Bisa Jadi Inventor Paten Layaknya Manusia?

Dengan demikian, sebagai solusi, jika AI ikut berperan menghasilkan invensi baru, maka dalam permohonan paten dapat dijelaskan peran AI dimaksud, tetapi dengan tetap mencantumkan orang-perseorangan sebagai inventornya.

Terkait dengan hal ini kantor paten tentu harus mengakomodasi, sudah saatnya dibuat regulasi paten yang bisa merespons perkembangan teknologi digital yang sangat masif ini.

Kenapa harus orang-perseorangan yang ditetapkan sebagai inventor? Hal ini tidak lain karena AI bukanlah manusia. AI tentu tidak memiliki nurani, yang bisa membedakan secara etik dan moral mana yang baik dan buruk.

Keberadaan inventor orang-perseorangan sekaligus menjadi bagian tanggung jawab hukum dan moral atas invensi yang dihasilkannya itu. Invensi yang dipatenkan dan diproduksi akan berhubungan dengan manusia dan ketertiban umum.

Invensi menurut UU Paten akan ditolak diberi paten jika bertentangan dengan agama, ketertiban umum, atau kesusilaan. Di sinilah pentingnya hanya manusia yang secara hukum layak menjadi inventor.

Invensi yang ditolak

Tidak semua invensi dapat diberi paten. Pasal 9 UU Paten menyatakan terdapat invensi yang akan ditolak sebagai paten.

Pertama, seperti telah diuraikan di muka, proses atau produk yang pengumuman, penggunaan, atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, agama, ketertiban umum, atau kesusilaan.

Kedua, invensi dalam bentuk metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan.

Ketiga, invensi berupa teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika, juga invensi yang berkaitan dengan makhluk hidup, kecuali jasad renik.

Kelima, invensi tentang proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau proses mikrobiologis.

Semua invensi yang telah diberi paten (patent granted) diwajibkan untuk membayar biaya pemeliharaan tahunan paten.

Besarnya biaya pemeliharaan paten tergantung pada beberapa hal, misalnya, jumlah klaim atas invensi yang dipatenkan. Mengenai biaya pemeliharaan akan dibahas pada bagian kedua tulisan ini.

Baca artikel selanjutnya: Invensi Baru dan Biaya Pemeliharaan Paten (Bagian II- Habis)

https://www.kompas.com/edu/read/2023/10/23/154827171/invensi-baru-dan-biaya-pemeliharaan-paten-perguruan-tinggi-dan-lembaga-riset

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke